Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ijma' Pada Masa Kontemporer


Dalam menjalankan syari’at islam, umat islam perlu mengetahui dalil-dalil yang menjelaskan tentang syari’at tersebut. Baik tata cara, larangan maupun perintah tertulis untuk melakukannya. Alqur’an dan Hadits merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam menjelaskan syari’at islam. Keduanya merupakan dalil nash yang kehujjahannya diakui dan disepakati oleh umat islam di seluruh penjuru dunia sebagai ajaran dasar mereka.
Untuk mencapai kesejahteraan ataupun kemaslahatan baik di dunia dan di akhirat manusia harus mempunyai pedoman sebagai landasan hidup, yaitu Al-Quran dan Al-Hadits yang diturunkan oleh Allah dan disampaikan oleh Rosulullah untuk umat manusia. Seiring dengan perkembangan zaman dan bertambah banyaknya manusia maka bertambah pula masalah-masalah ataupun persoalan di dalam kehidupan sosial. Dari masalah tersebut yang belum ada nashnya kemudian dimasukkannya hukum-hukum yang disepakati oleh para sahabat Nabi (di ijma) sebagai salah satu sumber syariat islam. Karena syariat adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan Allah maka kita sebagai umat manusia harus mengimani, mengetahui dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui hal tersebut maka kita perlu mengetahui beberapa hal tentang ijma sebagai penetapan hukum dasar.
Masalah yang timbul dalam masyarakat modern seperti saat ini tidak semua dapat cukup teratasi dengan kedua dalil tersebut. Perkembangan teknologi dan pola pikir manusia jugalah yang mempengaruhi munculnya berbagai perkembangan masalah dalam masyarakat. Dari uraian ini, ijma’ merupakan sumber hukum alternatif  yang dapat diambil kehujjahannya. Lalu bagaimana ijma’ itu sendiri kami akan membahasnya secara terperinci.


A.      Pengertian Ijma’
1.    Etimologi
Secara etimologi, ijma’ dapat dibagi menjadi dua arti[1], yakni :
a.    Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Yunus ayat 71 :
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيرِ
بِآَيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ
عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُون
Artinya :
“dan bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya, “hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat allah, maka kepada allah-lah aku bertawakkal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian itu dirahasiakan. Lalu lakukanlah terhadap diriku dan janganlah kamu member tangguh kepadaku.”
b.    Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah ber-ijma’ bila mereka sepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman allah dalam Q.S. Yusuf ayat 15 :

فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُون
Artinya :
“maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkanya ke dasar sumur (lalu mereka memasukkan dia), dan dia (di waktu dia sudah ada di dalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf, “sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.”
2.    Terminologi
Para Ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’ menurut istilah, diantaranya :
a.    Pengarang Kitab Fushulul Bada’i berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW. dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
b.    Pengarang Kitab Tahrir, al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. Terhadap masalah syara’.
c.    Pengarang kitab Ushul Al-Fiqh, Abdul Wahhab Khallaf, ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa di kalangan umat islam atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian setelah wafatnya Rasulullah saw.

B.       Dasar Hukum Ijma'
Dasar hukum ijma' ialah aI-Qur'an, al-Hadits.
1.    Al-Qur’an
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 59 yang artinya:[2]
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perkataan Ulil Amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
2.    Hadist
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
لاَتَجْمَعْ اُمَّتِي عَلَى ضَلاَلَةٍ
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
C.       Rukun-Rukun Ijma’
Ulama-ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut:
1.    ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan.
2.    Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah semua mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum bisa dikatakan suatu ijma'.
3.    Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa (permasalahan) yang terjadi pada masa itu.
4.    Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. jika terjadi suatu kesepakatan oleh sebagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'.

D.      Syarat-syarat ijma’
Menurut jumhur Syarat Ijma’ yaitu:
1.    Disepakati para Mujtahid
Para ulama berselisih paham mengenai pengertian mujtahid, Namun diantara perbedaan pendapat itu sebenarnya mempuyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya. Kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’, begitu pula penolakannya.
2.    Disepakati oleh seluruh Mujtahid
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah apabila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud ijma’ termasuk juga kesepakatan sebagian besar dari mereka. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu adalah hujjah, meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma’. Karena kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil shahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum.
3.    Para mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW
Kesepakatan yang dilakukan oleh ulama selain umat Muhammad SAW tidak bisa dikatakan ijma’. Hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang ber-ijma’ . Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.
4.    Dilakukan setelah wafatnya nabi
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syari’at.
5.    Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at
Kesepakatan yang ada harus berkaitan dengan syari’at, seperti wajib, sunah, makruh, haram, dan lain-lain.
Syarat kedua berkenaan dengan mujtahid, ada tiga syarat yang harus terpenuhi bagi seorang untuk menjadi mujtahid yakni:
1.    Memiliki pengetahuan tentang Al-Quran, Sunnah dan persoalan-persoalan yang telah menjadi obyek Ijma’ sebelumnya.
2.    Mengetahui pengetahuan tentang Ilmu Ushul Fiqh.
3.    Memiliki pengetahuan kebahasaan (Arab).
4.    Syarat ketiga adalah bahwa yang melakukan ijma’ haruslah berasal dari umat Muhammad, bukan orang kafir dan bukan pula umat terdahulu.
5.    Ijma’ mesti berlangsung sesudah wafat Nabi saw.

E.       Macam-macam Ijma’
Adapun Ijma’ ditinjau dari segi cara menghasilkany, terbagi menjadi dua macam:
1.    Ijma’ Sharih
Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing kemudian menyepakati salah satunya. Hal ini bisa terjadi bila semua mujtahid berkumpul di suatu tempat, kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu mereka menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarkan tersebut.
2.    Ijma’ Sukuti
Adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid, tetapi mereka diam, tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas.
Ijma’ Sukuti dikatakan sah apabila memenuhi beberapa kriteria di bawah ini :
a.    Diamnya para mujtahid benar-benar  tidak menunjukkan kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian mujtahid, maka tidak dikatakan ijma’ sukuti melainkan ijma’ sharih.
b.    Keadaan diamnya mujtahid itu cukup lama yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukakan pendapatnya.
c.    Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat dhanni.
Adapun ijma’ ditinjau dari segi dalalah qath’i terhadap hukumnya atau dalalah zhanni, maka dibagi menjadi dua:
1.    Ijma’ Qath’i
Ijma’ yang dzanni dalalahnya terhadap hukumnya, yaitu ijma’ sharih. Maksudnya bahwa hukumnya telah dipastikan dan tidak perlu memutuskan hukum yang lain mengenai kasus tesebut, serta tidak membutuhkan ijtihad setelah ditetapkanya ijma’ sharih atas hukum syara’ mengenai suatu kasus.
2.    Ijma’ Dzanni
Ijma’ yang dzanni dalalahnya atas hukumnya, yaitu ijma’ sukuti, ini berarti bahwa hukum yang ditetapkan didalamnya besumber dari dugaan yang kuat dan menutup kemungkinan adnanya ijtihad, sebab hasil ijtihad tersebut bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid.
F.        Kedudukan dan Kehujjahan Ijma’
Pada prinsipnya  Jumhur ulama ushul fiqih menyatakan bahwa ijma sebagai upaya para mujtahid dalam  menetapkan hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam nash harus mempunyai landasan. Jumhur  ulama berpendapat bahwa kedudukan  ijma menempati salah  satu  sumber  atau  dalil hukum  sesudah Al Quran dan Sunnah. [3]

Kehujjahan ijma’ dilandasi oleh sejumlah ayat al-Qur’an[4], diantaranya :
1.    Surat al-baqarah 2 : 143
وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ اُمٌةً وَسَطًا لٍتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنُ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

2.    Surat luqman 31 : 15
وَاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ اِلَيَّ ...
Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku (Allah)

3.    Surat al-a’raf  7 : 181
وَ مِمَّنْ خَلَقْنَا اُمَّةً يَهْدُوْنَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُوْنَ
Dan diantara orang-orang yang kami cciptakan, ada umat yang memberi petunjuk dengan kebenaran, dan dengan kebenaran itu (pula) mereka menjalankan keadilan.
Disamping itu dilandasi pula oleh sejumlah hadits, yakni :
1.    Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi
لاَ تَجْتَمِعْ أُمَّتِيْ عَلَى الْخَطَاءِ
Umatku tidak mungkin bersepakat terhadap sesuatu yang keliru.
2.    Hadits mu’awiyah ibn abi sufyan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ
Senantiasa segolongan umatku membela/menegakkan kebenaran, dan tidak akan membahayakan mereka, orang-orang yang menentang mereka.
3.    Hadits al-Nu’man bin Basyir yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani
مَا رَاهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
Persatuan itu mendatangkan rahmat dan perpecahan itu mendatangkan adzab.

1.    Kehujjahan Ijma’ Sharih
Jumhur ulama telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secara qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ia menjadi hukum qath’i yang tidak boleh ditentang, san menjadi masalah yang tidak boleh di-ijtihadi lagi. Namun, sebagian dari golongan Syi’ah dan Khawarij berpendapat bahwa ijma’ itu tidak termasuk hujjah.
2.    Kehujjahan Ijma’ Sukuti.
Ijma’ sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah, bahkan tidak menyatakan sebagai ijma’. Diantara mereka adalah pengikut Imam Maliki dan Imam Syafi’i. Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa juga tidak sama sekali. Jika demikian adanya, tidak bisa dikatakan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah yang qath’i seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan  adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka sehingga bisa dikatakan sebagai ijma’ karena kesepakatan mereka terhadap hukum.

G.      Ijma’ pada Masa Kotemporer
Apabila terjadi ijma’ pada suatu masa, maka ijma’ tersebut tidak boleh dibatalkan dan dihapus (dinasakh) oleh orang-orang yang telah berijma’ kepadanya. Sebab, ijma’ mereka yang pertama menjadi hujjah syar’iyah qath’iyah, yang wajib mereka amalkan dan tidak boleh mereka langgar. Ini merupakan pendapat ulama’ yang beranggapan bahwa ijma’ itu terjadi karena kesepakatan para mujtahid dalam masa hidup mereka, bukan ketika mereka sudah wafat.
     Namun, sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa para mujtahid diperbolehkan membetulkan pendapatnya yang telah lalu, jika menurut mereka pendapatnya yang lalu itu terdapat.kesalahan. ini adalah pendapat ulama yang mensyaratkan tetap terjadi ijma’, meskipun para mujtahidnya sudah wafat.
Dan telah jelas bahwa pendapat yang tidak membolehkan perubahan hukum yang telah diijma’kan, adalah jika ijma’ itu disandarkan pada kitab Al-qur’an, Sunah, dan Qiyas. Adapun ijma’ yang ditegakkan di atas maslahat, menurut yang berpendapat demikian, maka mungkin dinasakh oleh hukum yang lebih kuat dan mungkin diganti dengannya, jika maslahat yang dipakai itu berubah. Dengan demikian,melanggar dan menyalahi ijma’ sama juga dengan menyalahi hukum Allah yang wajib diikuti.[5]
Ada sebagian ulama’ yang menganggap bahwa ijma’ itu tidak mungkin terjadi. Mengingat wilayah islam yang begitu luas serta tersebarnya para ulama’ di berbagai kota yang berjauhan. Suatu masalah tidak mungkin sampai kepada setiap ulama’ sehingga tidak mungkin ada kesatuan pendapat diantara mereka. Kemudian, perbedaan latar belakang kepentingan, dan tingkat kecerdasan mereka, tidak memungkinkan mereka bersepakat mengenai suatu masalah yang zhanni(tidak pasti). Hal yang menguatkan bahwa ijma’ tidak mungkin diwujudkan yaitu jika ijma’ itu diwujudkan , tentu harus disandarkan kepada dalil, karena mujtahid syar’i harus menyandarkan hasil ijtihadnya kepada dalil. Dan bila dalil yang dijadikan sandaran itu qoth’i, maka diantara hal yang mustahil menurut adat, jika dalil itu disembunyikan. Dan jika berupa dalil zhonni tentu mustahil menurut kebiasaan ijma’, karena dalil zhonni tentu menjadi objek pertentangan.[6]
Imam Al-Haramain mengatakan bahwa ijma’ itu dapat saja terjadi, khususnya mengenai hal-hal penting yang disertai dengan faktor-faktor tertentu. Yang mendorong pembahasan dan terwujudnya kesepakatan itu. Misalnya, persoalan-persoalan yang mendasar dalam agama., sehingga setiap orang seolah-olah terikat dan tidak terlepas dari dirinya. Untuk masalah-masalah kecil yang kurang penting atau kurang menarikperhatian ijma’ itu tidak mudah tercapai setelah para ulama’ tersebar ke berbagai penjuru. Jadi, untuk masa sekarang tidak mudah mengatakan adanya kesepakatan tentang hal-hal yang zanni. Ijma’ telah ada sejak masa sahabat  ketika tempat mereka masih belum terlalu berjauhan. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa ijma’ tidak mungkin dapat terwujudkan secara adat, apabila persoalannya diserahkan kepada masing-masing umat dan kelompok-kelompoknya. Ijma’ itu dapat terwujudkan apabila dipimpin oleh pelbagai pemerintahan islam. Jadi setiap pemerintahan islam bisa menentukan syarat-syarat yang dengan syarat-syarat itu seseorang dapat sampai ke derajat ijtihad, dan bisa memberikan izin ijtihad kepada orang yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut.[7]
Ijma’ yang terjadi pada zaman sekarang ini, tidak berbeda dengan ijma’ dari keputusan musyawarah yang diambil oleh para ulama’ yang mewakili segala lapisan masyarakatnya untuk membicarakan kepentingan-kepentingan mereka. Mereka itulah yang dinamai ulil amri atau ahlul halli wal’aqdi. Mereka diberi hak oleh syariat islam untuk membuat undang-undang yang belum terdapat dalam syara’. Keputusan mereka wajib ditaati dan dijalankan selama tidak bertentangan  dengan nash syariat yang jelas, tetapi kalau berlawanan dengan nash syari’at betapa dan bagaiman pun juga keputusan itu tetap batal. [8]




[1]Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2010) hlm. 68
[2] Abdul Wahab Khallaf, Terjemah Ilmu Usul Fiq. Cet. kedua (Semarang,PT. Karya Toha Putra) hlm. 69.
[3] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), hlm. 25.
[4] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (jakarta : Amzah, 2011) hlm. 86-88
[5] Khairul Umam, Uhul Fiqh-1 (Bandung : Pustaka Setia, 1998) hlm. 91
[6] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1989) hlm. 71
[7] Ibid., hlm. 72
[8] Moh. Rifai. Ushul Fiqh. (Bandung: PT Al-Ma’arif. 1973). Hal. 132-133.

Post a Comment for "Ijma' Pada Masa Kontemporer"