Ijma' Pada Masa Kontemporer
Dalam menjalankan syari’at islam, umat islam perlu mengetahui
dalil-dalil yang menjelaskan tentang syari’at tersebut. Baik tata cara,
larangan maupun perintah tertulis untuk melakukannya. Alqur’an dan Hadits merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dalam menjelaskan syari’at islam. Keduanya merupakan dalil nash yang
kehujjahannya diakui dan disepakati oleh umat islam di seluruh penjuru dunia sebagai ajaran dasar mereka.
Untuk mencapai kesejahteraan ataupun kemaslahatan baik di
dunia dan di akhirat manusia harus mempunyai pedoman sebagai landasan hidup,
yaitu Al-Quran dan Al-Hadits yang diturunkan oleh Allah dan disampaikan oleh
Rosulullah untuk umat manusia. Seiring
dengan perkembangan zaman dan bertambah banyaknya manusia maka bertambah pula
masalah-masalah ataupun persoalan di dalam kehidupan sosial. Dari masalah
tersebut yang belum ada nashnya kemudian dimasukkannya hukum-hukum yang
disepakati oleh para sahabat Nabi (di ijma) sebagai salah satu sumber syariat
islam. Karena syariat adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan
Allah maka kita sebagai umat manusia harus mengimani, mengetahui dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui hal tersebut maka
kita perlu mengetahui beberapa hal tentang ijma sebagai penetapan hukum dasar.
Masalah yang timbul dalam masyarakat modern seperti saat ini tidak
semua dapat
cukup
teratasi dengan kedua dalil tersebut. Perkembangan teknologi dan pola pikir manusia
jugalah yang mempengaruhi munculnya berbagai perkembangan masalah dalam masyarakat. Dari uraian ini, ijma’
merupakan sumber hukum alternatif yang
dapat diambil kehujjahannya. Lalu bagaimana ijma’ itu sendiri kami akan
membahasnya secara terperinci.
A.
Pengertian Ijma’
1.
Etimologi
Secara etimologi, ijma’ dapat dibagi menjadi dua arti[1],
yakni :
a.
Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Yunus ayat 71 :
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ
إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيرِ
بِآَيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى
اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ
أَمْرُكُمْ
عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ
اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُون
Artinya :
“dan bacakanlah kepada mereka
berita tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya, “hai kaumku, jika
terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan
ayat-ayat allah, maka kepada allah-lah aku bertawakkal, karena itu bulatkanlah
keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian itu dirahasiakan. Lalu lakukanlah terhadap
diriku dan janganlah kamu member tangguh kepadaku.”
b.
Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan
telah ber-ijma’ bila mereka sepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman allah
dalam Q.S. Yusuf ayat 15 :
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ
الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ
لَا يَشْعُرُون
Artinya :
“maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkanya
ke dasar sumur (lalu mereka memasukkan dia), dan dia (di waktu dia sudah ada di
dalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf, “sesungguhnya kamu akan menceritakan
kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.”
2.
Terminologi
Para Ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’ menurut
istilah, diantaranya :
a.
Pengarang Kitab Fushulul Bada’i berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua
mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW. dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
b.
Pengarang Kitab Tahrir, al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu
masa dari ijma’ Muhammad SAW. Terhadap masalah syara’.
c.
Pengarang kitab Ushul Al-Fiqh, Abdul
Wahhab Khallaf, ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa di
kalangan umat islam atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian setelah wafatnya
Rasulullah saw.
B.
Dasar Hukum Ijma'
Dasar hukum ijma' ialah aI-Qur'an, al-Hadits.
1.
Al-Qur’an
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 59 yang artinya:[2]
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟
ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ
وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perkataan Ulil Amri yang
terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan yang bersifat umum
meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah
raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan
agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu
telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka
kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
2.
Hadist
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari
suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka
tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi
kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
لاَتَجْمَعْ اُمَّتِي عَلَى ضَلاَلَةٍ
Artinya: "umatku
tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan
Tirmidzi).
C.
Rukun-Rukun Ijma’
Ulama-ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut:
1.
ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para
mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan.
2.
Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah semua mujtahid yang ada
dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang
ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum bisa dikatakan
suatu ijma'.
3.
Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid
bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara')
dari suatu peristiwa (permasalahan) yang terjadi pada masa itu.
4.
Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari
seluruh mujtahid. jika terjadi suatu kesepakatan oleh sebagian besar mujtahid
yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'.
D.
Syarat-syarat ijma’
Menurut jumhur Syarat Ijma’ yaitu:
1.
Disepakati para Mujtahid
Para ulama berselisih paham
mengenai pengertian mujtahid, Namun diantara perbedaan pendapat itu sebenarnya
mempuyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang islam yang
baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari
sumbernya. Kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka belum mencapai derajat
mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’, begitu pula penolakannya.
2.
Disepakati oleh seluruh Mujtahid
Sebagian ulama berpandangan bahwa
ijma’ itu sah apabila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang
dimaksud ijma’ termasuk juga kesepakatan sebagian besar dari mereka. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu adalah hujjah,
meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma’. Karena kesepakatan sebagian besar
mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil shahih yang mereka jadikan
landasan penetapan hukum.
3.
Para mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW
Kesepakatan yang dilakukan oleh ulama selain umat Muhammad SAW tidak bisa dikatakan ijma’. Hal itu
menunjukkan adanya umat para nabi lain yang ber-ijma’ . Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-ijma’
untuk melakukan suatu kesalahan.
4.
Dilakukan setelah wafatnya nabi
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi
masih hidup, karena nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para
sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syari’at.
5.
Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at
Kesepakatan yang ada harus berkaitan dengan syari’at,
seperti wajib, sunah, makruh, haram, dan lain-lain.
Syarat kedua berkenaan dengan mujtahid, ada tiga syarat yang harus
terpenuhi bagi seorang untuk menjadi mujtahid yakni:
1.
Memiliki pengetahuan tentang Al-Quran, Sunnah dan
persoalan-persoalan yang telah menjadi obyek Ijma’ sebelumnya.
2.
Mengetahui pengetahuan tentang Ilmu Ushul Fiqh.
3.
Memiliki pengetahuan kebahasaan (Arab).
4.
Syarat ketiga adalah bahwa yang melakukan ijma’ haruslah berasal
dari umat Muhammad, bukan orang kafir dan bukan pula umat terdahulu.
5.
Ijma’ mesti berlangsung sesudah wafat Nabi saw.
E.
Macam-macam Ijma’
Adapun Ijma’ ditinjau dari segi
cara menghasilkany, terbagi menjadi dua macam:
1.
Ijma’ Sharih
Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka
masing-masing kemudian menyepakati salah satunya. Hal ini bisa terjadi bila
semua mujtahid berkumpul di suatu tempat, kemudian masing-masing mengeluarkan
pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu
mereka menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarkan tersebut.
2.
Ijma’ Sukuti
Adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah
yang diketahui oleh para mujtahid, tetapi mereka diam, tidak menyepakati
ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas.
Ijma’ Sukuti dikatakan sah apabila memenuhi beberapa kriteria di bawah ini :
a.
Diamnya para mujtahid benar-benar tidak menunjukkan kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya
kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian mujtahid, maka tidak dikatakan ijma’
sukuti melainkan ijma’ sharih.
b.
Keadaan diamnya mujtahid itu cukup lama yang bisa
dipakai untuk memikirkan permasalahannya dan biasanya dipandang cukup untuk
mengemukakan pendapatnya.
c.
Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut
adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat
dhanni.
Adapun ijma’ ditinjau dari segi dalalah
qath’i terhadap hukumnya atau dalalah zhanni, maka dibagi menjadi
dua:
1. Ijma’ Qath’i
Ijma’ yang dzanni dalalahnya
terhadap hukumnya, yaitu ijma’ sharih. Maksudnya bahwa hukumnya telah
dipastikan dan tidak perlu memutuskan hukum yang lain mengenai kasus tesebut,
serta tidak membutuhkan ijtihad setelah ditetapkanya ijma’ sharih atas hukum
syara’ mengenai suatu kasus.
2. Ijma’ Dzanni
Ijma’ yang dzanni dalalahnya atas
hukumnya, yaitu ijma’ sukuti, ini berarti bahwa hukum yang ditetapkan
didalamnya besumber dari dugaan yang kuat dan menutup kemungkinan adnanya
ijtihad, sebab hasil ijtihad tersebut bukan merupakan pendapat seluruh
mujtahid.
F.
Kedudukan dan Kehujjahan Ijma’
Pada prinsipnya Jumhur ulama ushul fiqih menyatakan bahwa
ijma sebagai upaya para mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam nash harus
mempunyai landasan. Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma menempati salah satu
sumber atau dalil hukum
sesudah Al Quran dan Sunnah. [3]
Kehujjahan ijma’ dilandasi oleh sejumlah ayat
al-Qur’an[4], diantaranya :
1.
Surat al-baqarah 2 : 143
وَكَذَالِكَ
جَعَلْنَاكُمْ اُمٌةً وَسَطًا لٍتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنُ
الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat
islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu.
2.
Surat luqman 31 : 15
وَاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ اِلَيَّ ...
Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku (Allah)
3.
Surat al-a’raf 7
: 181
وَ مِمَّنْ خَلَقْنَا اُمَّةً يَهْدُوْنَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُوْنَ
Dan diantara orang-orang yang kami cciptakan, ada umat
yang memberi petunjuk dengan kebenaran, dan dengan kebenaran itu (pula) mereka
menjalankan keadilan.
Disamping itu dilandasi pula oleh sejumlah hadits,
yakni :
1.
Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi
لاَ تَجْتَمِعْ أُمَّتِيْ عَلَى الْخَطَاءِ
Umatku tidak mungkin bersepakat terhadap sesuatu yang
keliru.
2.
Hadits mu’awiyah ibn abi sufyan yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ
لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ
Senantiasa segolongan umatku membela/menegakkan
kebenaran, dan tidak akan membahayakan mereka, orang-orang yang menentang
mereka.
3.
Hadits al-Nu’man bin Basyir yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani
مَا رَاهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ
عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
Persatuan itu mendatangkan rahmat dan perpecahan itu
mendatangkan adzab.
1.
Kehujjahan Ijma’ Sharih
Jumhur ulama telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu
merupakan hujjah secara qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya.
Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ia menjadi hukum qath’i
yang tidak boleh ditentang, san menjadi masalah yang tidak boleh di-ijtihadi
lagi. Namun, sebagian dari golongan Syi’ah dan Khawarij berpendapat bahwa ijma’ itu tidak termasuk hujjah.
2.
Kehujjahan Ijma’ Sukuti.
Ijma’ sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di
kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai
hujjah, bahkan tidak menyatakan sebagai ijma’. Diantara mereka adalah pengikut Imam Maliki dan Imam Syafi’i. Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati
sebagian atau bisa juga tidak sama sekali. Jika demikian adanya, tidak bisa
dikatakan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa
dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah yang qath’i
seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid
untuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan
oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai
dalil tentang kesepakatan mereka sehingga bisa dikatakan sebagai ijma’ karena
kesepakatan mereka terhadap hukum.
G.
Ijma’ pada Masa Kotemporer
Apabila terjadi ijma’ pada suatu masa, maka ijma’
tersebut tidak boleh dibatalkan dan dihapus (dinasakh) oleh orang-orang yang
telah berijma’ kepadanya. Sebab, ijma’ mereka yang pertama menjadi hujjah
syar’iyah qath’iyah, yang wajib mereka amalkan dan tidak boleh mereka langgar.
Ini merupakan pendapat ulama’ yang beranggapan bahwa ijma’ itu terjadi karena
kesepakatan para mujtahid dalam masa hidup mereka, bukan ketika mereka sudah
wafat.
Namun,
sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa para mujtahid diperbolehkan
membetulkan pendapatnya yang telah lalu, jika menurut mereka pendapatnya yang
lalu itu terdapat.kesalahan. ini adalah pendapat ulama yang mensyaratkan tetap
terjadi ijma’, meskipun para mujtahidnya sudah wafat.
Dan telah jelas bahwa pendapat yang tidak membolehkan
perubahan hukum yang telah diijma’kan, adalah jika ijma’ itu disandarkan pada
kitab Al-qur’an, Sunah, dan Qiyas. Adapun ijma’ yang ditegakkan di atas maslahat, menurut yang
berpendapat demikian, maka mungkin dinasakh oleh hukum yang lebih kuat dan
mungkin diganti dengannya, jika maslahat yang dipakai itu berubah. Dengan
demikian,melanggar dan menyalahi ijma’ sama juga dengan menyalahi hukum Allah yang wajib diikuti.[5]
Ada sebagian
ulama’ yang menganggap bahwa ijma’ itu tidak mungkin terjadi. Mengingat wilayah
islam yang begitu luas serta tersebarnya para ulama’ di berbagai kota yang
berjauhan. Suatu masalah tidak mungkin sampai kepada setiap ulama’ sehingga
tidak mungkin ada kesatuan pendapat diantara mereka. Kemudian, perbedaan latar
belakang kepentingan, dan tingkat kecerdasan mereka, tidak memungkinkan mereka
bersepakat mengenai suatu masalah yang zhanni(tidak pasti). Hal yang
menguatkan bahwa ijma’ tidak mungkin diwujudkan yaitu jika ijma’ itu diwujudkan
, tentu harus disandarkan kepada dalil, karena mujtahid syar’i harus
menyandarkan hasil ijtihadnya kepada dalil. Dan bila dalil yang dijadikan
sandaran itu qoth’i, maka diantara hal yang mustahil menurut adat, jika
dalil itu disembunyikan. Dan jika berupa dalil zhonni tentu mustahil menurut
kebiasaan ijma’, karena dalil zhonni tentu menjadi objek pertentangan.[6]
Imam
Al-Haramain mengatakan bahwa ijma’ itu dapat saja terjadi, khususnya mengenai
hal-hal penting yang disertai dengan faktor-faktor tertentu. Yang mendorong
pembahasan dan terwujudnya kesepakatan itu. Misalnya, persoalan-persoalan yang
mendasar dalam agama., sehingga setiap orang seolah-olah terikat dan tidak
terlepas dari dirinya. Untuk masalah-masalah kecil yang kurang penting atau
kurang menarikperhatian ijma’ itu tidak mudah tercapai setelah para ulama’
tersebar ke berbagai penjuru. Jadi, untuk masa sekarang tidak mudah mengatakan
adanya kesepakatan tentang hal-hal yang zanni. Ijma’ telah ada sejak masa
sahabat ketika tempat mereka masih belum terlalu berjauhan. Jumhur
ulama’ berpendapat bahwa ijma’ tidak mungkin dapat terwujudkan secara adat,
apabila persoalannya diserahkan kepada masing-masing umat dan kelompok-kelompoknya.
Ijma’ itu dapat terwujudkan apabila dipimpin oleh pelbagai pemerintahan islam.
Jadi setiap pemerintahan islam bisa menentukan syarat-syarat yang dengan
syarat-syarat itu seseorang dapat sampai ke derajat ijtihad, dan bisa
memberikan izin ijtihad kepada orang yang telah memenuhi syarat-syarat
tersebut.[7]
Ijma’ yang
terjadi pada zaman sekarang ini, tidak berbeda dengan ijma’ dari keputusan
musyawarah yang diambil oleh para ulama’ yang mewakili segala lapisan
masyarakatnya untuk membicarakan kepentingan-kepentingan mereka. Mereka itulah yang dinamai ulil amri atau ahlul
halli wal’aqdi. Mereka diberi hak oleh syariat islam untuk membuat
undang-undang yang belum terdapat dalam syara’. Keputusan mereka wajib ditaati
dan dijalankan selama tidak bertentangan dengan nash syariat yang jelas,
tetapi kalau berlawanan dengan nash syari’at betapa dan bagaiman pun juga
keputusan itu tetap batal. [8]
[1]Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2010) hlm. 68
[2] Abdul Wahab Khallaf, Terjemah Ilmu Usul Fiq. Cet. kedua (Semarang,PT. Karya Toha Putra) hlm. 69.
[3] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), hlm. 25.
[4] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (jakarta : Amzah, 2011) hlm. 86-88
[5] Khairul Umam, Uhul Fiqh-1 (Bandung : Pustaka Setia, 1998) hlm. 91
[6] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1989) hlm. 71
[7] Ibid., hlm. 72
[8] Moh. Rifai. Ushul Fiqh. (Bandung: PT Al-Ma’arif. 1973). Hal. 132-133.
Post a Comment for "Ijma' Pada Masa Kontemporer"
komentar di sini
Post a Comment