Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Eksistensi Budaya Jawa Pada Era Globalisasi


BAB I
PENDAHULUAN
A. Kata Pengantar
Gencarnya Amerika Serikat (AS) dan bangsa – bangsa barat sekutunya menyebarkan ideologi liberal ke seluruh Negara di dunia pada abad ke 20 membawa dampak yang begitu besar bagi kelangsungan seluruh sendi kehidupan. Tersebarnya paham Liberal tersebut dibarengi dengan terbukanya sebuah era yang disebut dengan Globalisasi. Lahirnya era globalisasi ini menandai dimulainya kebebasan seluruh umat manusia untuk mengakses berbagai informasi secara tak terbatas dari berbagai belahan dunia. Negara – Negara dunia ketiga termasuk Indonesia dengan mudahnya terbawa oleh arus globalisasi dalam berbagai sendi kehidupan, mulai politik, ekonomi, social, sampai kebudayaan.
Meskipun sebenarnya sudah sejak 4 abad yang lalu Indonesia telah terinfeksi “virus barat akibat dari penjajahan Belanda selama kurang lebih 3,5 abad. Namun gelombang besar globalisasi mulai kentara ketika memasuki abad 20 saat segala bentuk alat komunikasi tersedia. Indonesia yang notabennya merupakan Negara ketimuran dengan kekayaan budaya realitanya sekarang sedikit demi sedikit mulai tenggelam. Masyarakat justru sekarang menuhankan Barat sebagai peradaban budaya terbaik saat ini. Segala sesuatu mengacu kepada kiblat budaya yakni barat. Padahal jika kita telisik, etika dan estetika dalam kebudayaan barat sering bertolak belakang dengan kebudayaan Timur.
Banyak masyarakat Indonesia saat ini mulai menghilangkan nilai budaya mereka. Salah satu budaya yang mulai tenggelam yakni Jawa. Mulai dari bahasanya, keseniannya sampai gaya hidupnya mereka seakan lupa bahwa mereka adalah Jawa dan bukan seorang Londo. Tenggelamnya Jawa di era globalisasi ini sebagai akibat dari anak muda yang dimanjakan dengan berbagai fasilitas komunikasi jejaring sosial sehingga mereka lebih memilih seharian suntuk dengan gadget nya daripada bersosialisasi dengan orang lain secara langsung, maupun mempelajari kebudayaan mereka dan masih banyak lagi yang sangat bertolak belakang dengan kita.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian eksistensi?
2. Apa yang dimaksud dengan budaya Jawa?
3. Apa saja macam-macam tradisi Jawa?
4. Bagaimana eksistensi budaya Jawa?
5. Apa penyebab lunturnya Budaya Jawa?
6. Bagaimana pergeseran nilai-nilai budaya Jawa diera globalisasi?
7. Bagaimana upaya mengembangkan budaya jawa?
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui apa yang dimaksud eksistensi.
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan budaya Jawa.
3. Mengetahui apa saja macam-macam tradisi Jawa.
4. Memahami bagaimana eksistensi budaya Jawa.
5. Mengetahui apa sebab-sebab yang mengakibatkan lunturnya budaya Jawa.
6. Mengetahui bagaimana pergeseran nilai-nilai budaya Jawa di era globalisasi.
7. Mengetahui apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan budaya jawa.
____________________________________________________
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Eksistensi dan Globalisasi
1. Pengertian eksistensi
Eksistensi di artikan sebagai keberadaan. dimana keberadaan yang di maksud adalah adanya pengaruh atas ada atau tidak adanya kita. eksistensi ini perlu “diberikan” orang lain kepada kita, karena dengan adanya respon dari orang di sekeliling kita ini membuktikan bahwa keberadaan atau kita diakui. Masalah keperluan akan nilai eksistensi ini sangat penting, karena ini merupakan pembuktian akan hasil kerja atau performa di dalam suatu lingkungan. 
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa : “Eksistensi artinya keberadaan, keadaan, adanya” (Idrus, 1996 : 95). Selain itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa : “Eksistensi ; kebendaan, adanya” (Tim Penyusun, 2005 ; 288).
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan eksistensi adalah suatu keberadaan atau keadaan. Mendefinisikan apa sebenarnya yang terkandung dalam eksistensi tersebut memang amat sulit. Kata-kata dan bahasa sesungguhnya tidak sempurna, sehingga tidak dapat secara persis menyatakan pemikiran maupun gagasan. Apalagi kata eksistensi demikian luas cakupannya.
Jadi, yang dimaksud eksistensi budaya Jawa yaitu keadaan budaya Jawa yang mana semakin bekembangnya zaman dan masuknya era globalisasi budaya Jawa semakin terkikis keberadaanya.
2. Pengertian Globalisasi
Globalisasi adalah proses masuknya keruang lingkup dunia,dari Abudin Nata globalisasi merujuk kepada suatu keadaan dimana antara satu negara dengan negara lainnya sudah menyatu. Pengaruh globalisasi dapat menghilangkan berbagai halangan dan rintangan yang menjadikan dunia semakin terbuka dan saling bergantung satu sama lain. Globalisasi akan membawa pengaruh perkembangan budaya dan membawa perubahan baru. Menurut Selo Soemardjan, “Globalisasi adalah terbentuknya sistem organisasi dan komunikasi antar masyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti sistem dan kaidah-kaidah yang sama”. 
Globalisasi akan memberikan corak budaya baru, dan memberi dampak yang luas terhadap kebebasan budaya setempat dan mengukuhkan dominasi budaya barat dalam budaya masyarakat di negara-negara berkembang melalui penjajahan baru, yaitu kebudayaan.([1])
Salah satu penyebab terjadinya era globalisasi adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi komunikasi, seperti teknologi media cetak dan media elektronik.
B. Budaya Jawa
Masyarakat Jawa dapat digolongkan menjadi dua kriteria, yaitu masyarakat Jawa berdasarkan etnis dan masyarakat berdasarkan letak geografis. Namun pembahasan tentang budaya Jawa ini lebih bersifat keseluruhan, karena di manapun orang Jawa berada maka mereka akan sulit lepas dari berpikir Jawa.
Asal usul masyarakat Jawa sendiri berdasarkan keilmuan sejarah sarjana barat akan sulit sekali ditemukan dengan secara pasti dan kredibel. Namun jejak perjalanan masyarakat Jawa akan banyak ditemui dengan cerita-cerita yang secara turun temurun yang dibungkus dengan mistis dan kesakralan tertentu. Hal inilah yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa, walaupun bagi keilmuan barat hal tersebut dibantah, namun keunikan tersebut adalah sebuah kebenaran bagi masyarakat Jawa dan di  pertahankan sampai zaman modern ini.
Bila berbicara tentang budaya Jawa maka harus diketahui terlebih dahulu dengan yang dimaksud dengan budaya. Budaya adalah semua tindakan manusia dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan.([2]) Koentjoroningrat menyatakan bahwa unsur-unsur universal sebuah kebudayaan meliputi tujuh sistem, yaitu sistem religi atau keagamaan, sistem dan organisasi masyarakat, sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem kesenian, sistem mata pencaharian, sistem teknologi dan peralatan. Semua sistem kebudayaan tersebut terdapat dalam masyarakat dari tingkatan primitif hingga masyarakat dalam tingkatan modern, dan sistem budaya tersebut mengalami dinamika sebagai akibat pergaulan antar masyarakat pendukungnya dengan kebudayaan lain.([3])
Masyarakat Jawa memiliki karakteristik budaya yang khas sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Pada garis besarnya, budaya Jawa dapat dibagi menjadi dua, yaitu budaya lahir dan budaya batin. Budaya lahir adalah segala hal yang terkait dengan kedudukan masyarakat Jawa sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hal ini budaya Jawa memiliki kaidah-kaidah yang dapat dengan mudah diidentifikasi berdasarkan ungkapan-ungkapan budaya sebagai manifestasi nilai-nilai budaya yang didukung oleh masyarakatnya. Sedangkan budaya batin adalah segala sesuatu yang terkait dengan persoalan-persoalan yang bersifat supranatural dan kekuatan-kekuatan adikodrati yang tidak dapat di empriskan dan objektifkan.
Dalam sistem budaya Jawa, terdapat tuntutan yang mengharuskan masyarakat Jawa untuk menjaga harmonitas dalam kehidupan mereka. Karena dengan hidup harmoni masyarakat Jawa akan dapat melakukan segala hal yang membuat mereka bahagia dalam kehidupan mereka.([4]) Dengan demikian masyarakat Jawa cenderung meminimalisir segala bentuk kepentingan-kepentingan yang bersifat individu dan lebih mementingkan sistem budaya yang bersifat komunal atau kebersamaan demi terciptanya harmonitas sosial. Hal ini seperti peribahasa orang Jawa rame ing gawe sepi ing pamrih, mangan ora mangan sing penting kumpul, dan lain sebagainya.
Selain masyarakat Jawa menjaga eksistensi diri dalam kehidupan sosialnya, masyarakat Jawa juga memiliki orientasi utama dalam membangun seorang insan yang berbudi luhur. Untuk mencapai derajat yang berbudi luhur maka dibutuhkan berbagai macam bentuk pengendalian diri, seperti pentingnya seseorang menghindari tindakan srei, drengki, panas aten, wedi isin, serta pentingnya memiliki sikap mental (attitude) eling lan waspada dengan dilandasi kesabaran. Semua hal itu perlu dilakukan bagi masyarakat Jawa untuk mencapai kasumpurnaning urip (kesempurnaan hidup) sebagai manifestasi insan budi luhur yang di idam-idamkan masyarakat Jawa. Maka dari itu masyarakat Jawa dituntut sikap dahwen (suka mencela orang lain), open(pamrih pribadi) dan jail (suka membuat susah orang lain) yang semua itu harus dilandasi sikap ngono yo ngono ning ojo ngono (begitu ya begitu tapi ya jangan begitu).
Dalam hubungan sikap hidup masyarakat Jawa dengan statusnya sebagai manusia ciptaan Tuhan. Manusia Jawa memiliki sikap mental yang menyatakan kuatnya hubungan antara dirinya dengan Tuhan sebagai sang khalik. Dalam pandangan Jawa, Tuhan atau disebut Gusti Allah atau pangeran diidentifikasikan sebagai sang penentu, pemberi pertolongan dan tempat berserah diri. Selain itu orang Jawa yang memiliki hidup falsafatik, yang mengakui bahwa kehidupannya di dunia ini pada hakikatnya adalah sebuah jeda waktu untuk kembali lagi kepada Tuhan. Sesuai dengan keyakinan tersebut maka masyarakat Jawa memiliki keyakinan bahwa kehidupan ini dinamis (cakra manggilingan atau owah gingsir) sesuai dengan kehendak Tuhan sebagai sang penentu. Sikap yang bersifat falsafatik tersebut tampak sekali pada kuatnya kesadaran masyarakat Jawa dalam keyakinan bahwa hidup hanya sekedar menjalani kehendak Tuhan seperti yang dinyatakan oleh orang Jawa, urip mung sadremo nglakoni (hidup itu hanya sekedar menjalani) dan gumantung karsane pangeran (tergantung kehendaknya Tuhan), hal ini menunjukan bahwa nasib manusia Jawa dalam kehidupan ini sudah ditentukan oleh Tuhan sejak ia lahir hingga matinya.([5])
Sedangkan dalam prinsip etika, masyarakat Jawa menitikberatkan kepada pentingnya menghindari konflik dan menciptakan kerukunan dalam kehidupannya. Kedua sikap tersebut harus dilakukan dengan dilandasi sikap hormat yang diabdikan pada terciptanya hubungan sosial yang harmoni. Dengan demikian, maka kerukunan selalu diusahakan dalam setiap situasi guna menciptakan kehidupan yang selaras, tenang dan tentram. Kondisi tersebut menjadi tanggung Jawab moral bagi komunitas sebuah masyarakat Jawa.([6])
Kehidupan rukun masyarakat Jawa dapat dikatakan sebagai ajaran pokok dalam budaya Jawa. Untuk memiliki jiwa rukun, maka seorang masyarakat Jawa harus memiliki semangat  hidup yang dilandasi tepa slira danojo dumeh. Tepa slira adalah sikap hidup yang mengukur perlakuan dirinya terhadap orang lain, diukur dengan perlakuan pada dirinya sendiri. Sikap tepa slira ini sendiri ditopang dengan sikap ojo dumeh atau jangan sombong, karena kehidupan ini menurut masayakat Jawa selalu berputar (owah gingsir) sesuai dengan roda kehidupan yang telah ditentukan Tuhan (cakra manggilingan).[7]
C. Macam-Macam Tradisi Jawa
1. Bahasa Jawa
Ada pepatah ajining diri saka lathi, berarti harga diri seseorang diantaranya tergantung dengan segala ucapan dan bahasa yang keluar dari mulutnya. Kata-kata yang fasih, manis dan empan papan (sesuai dengan kondisi dan situasi) akan menyenangkan hati, sedangkan perkataan yang kasar, jorok, rusak akan menyakitkan hati. Diyakini bahwa Sumber malapetaka bagi orang Jawa dan kebanyakan manusia di dunia ini adalah berasal dari lidah (perkataan)yang tidak terkendali.
Bahasa Jawa mengenal stratifikasi sosial yang rumit yang terkait denganunggah-ungguh (tata krama). Bahasa yang digunakan dalam karya-karya sastra zaman kerajaan mataram pada akhir abad ke-19 dan dipergunakan sebagai bahasa pergaulan abad ke 20 ini, ditandai oleh suatu sistem tingkat-tingkat yang sangat rumit, terdiri dari paling sedikit sembilan gaya bahasa. Sistem ini menyangkut perbedaan-perbedaan yang wajib digunakan, mengingat perbedaan pangkat, umur serta tingkat keakraban diantara yang menyapa dan yang disapa. Dalam konsepsi orang Jawa, berbagai gaya ini menyebabkan adanya tingkat-tingkat bahasa yang berbeda-beda tinggi-rendahnya.
Sedangkan dalam terbentuknya huruf Jawa, sangat kental sekali dengan cerita mitos dan legenda tentang Ajisaka, yang bermula sebagai sebuah cerita untuk menerangkan arti dari kalimat susunan abjad Jawa yang terdiri dari dua puluh huruf, yakni “hanacaraka datasawala padhajayanya magabathanga” sebuah pemaknaan terhadap abjad Jawa sekaligus dapat memberikan informasi tentang kesaktian mistik pada orang-orang Jawa pada awalnya dan sekaligus pertengkarannya dengan Dewata Cengkar. Pertengkaran dan mistik Jawa yang mendasari cerita huruf Jawa tersebut merupakan problematika konteks kehidupan harmoni masyarakat Jawa dianggap semu dan penuh kepura-puraan.([8])
2. Orang Keramat, Roh Dan Slametan
Diantara kepercayaan dalam kehidupan agama orang Jawa adalah tokoh-tokoh agama yang di keramatkan. Hal ini tidak lepas dari budaya kepercayaan asli masyarakat Jawa kuno yang menganut agama animisme dan dinamisme, yang mengkeramatkan suatu tokoh yang dianggap mampu menghubungkan diri mereka dengan Tuhan (Gusti Allah atau Pangeran) baik tokoh tersebut masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. ([9])
Sebagai bagian dari pemahaman terhadap orang keramat yang sudah meninggal, masyarakat Jawa meyakini bahwa ada roh halus yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya semula atau arwah leluhur. Roh nenek moyang dianggap masih bisa berhubungan dengan dunia material ini untuk memberi nasehat ataupun menghubungkan manusia di dunia meterial ini dengan Tuhan yang di alam ghaib. Makam nenek moyang adalah suatu tempat komunikasi dengan  dunia arwah dengan dunia material, maka dari itu tempat tersebut sakral dan dihormati. Komunikasi dengan arwah nenek moyang dilakukan dengan upacara atau ritual tertentu nyekar dengan membakar kemenyan, bersemedi dan slametan atau wilujengan. Hal ini bagi masyarakat Jawa merupakan unsur terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam system religi orang Jawa pada umumnya dan penganut agama jawi pada khususnya.
Budaya dan kepercayaan masyarakat Jawa terhadap tokoh keramat, roh dan slametan tersebut masih tetap ada dan berkembang pada zaman modern ini di kalangan masyarakat Jawa meski sudah tidak menganut agama jawi. Hanya bentuk eksistensi dan ritualnya sedikit berubah namun esensinya masihlah tetap sama dengan yang masyarakat Jawa kuno.
3. Panata Wara
Sejak dahulu masyarakat Jawa kuno memiliki ilmu panata wara yang meliputi pasaran, hari, bulan,  wuku, tahun danpranata mangsa. Berdasarkan panata wara tersebut berkembanglah ngelmu petung (perhitungan). Perhitungan tersebut meliputi baik dan buruknya pasaran, hari, bulan dan lain sebagainya. Mengenai asal mula masyarakat Jawa mengenal hari, pasaran dan pranata mangsa sebagai berikut. Pertama, Batara Surya turun ke bumi menjelma menjadi Brahmana Radhi di gunung Tasik. Ia mengubah hitungan yang disebut panca wara atau sekarang disebut pasaran dari nama kunonya manis, pethak, abrit, jene, cemeng dan kasih menjadi legi, pahing,pon, wagedan kliwon.
Kedua, Brahmana Radhi diboyong dijadikan penasehat Prabu Silacala di Gilingwesi. Sang Brahmana mengajari cara membuat sesaji, yakni sajian untuk dewa-dewa selama tujuh hari berturut-turut dan setiap kali habis diberi nama sebagai berikut. Sesaji emas yang dipuja dewa matahari diberi nama radite atau dalam hari arab ahad, sesaji perak yang di puja bulan di beri nama soma atau dalam hari arab senin, sesaji gangsa (perunggu) yang dipuja api diberi namaanggara atau setara dengan hari selasa, sesaji besi yang dipuja bumi diberi nama budha atau setara dengan hari rabu, sesaji perunggu yang dipuja petir di beri nama respati atau setara dengan hari kamis, sesaji tembaga yang dipuja air diberi nama sukra atau setara dengan hari  jumat, sesaji timah yang dipuja angin diberi nama sanicara setara dengan hari sabtu. Semua hari yang tujuh tersebut disebut sapta wara dan akhirnya digabungkan dengan lima panca wara yang mana hingga sekarang masih dipakai oleh sebagian besar masyarakat Jawa.([10])
D. Eksistensi Budaya Jawa
Di balik kekayaan dan keagungan budaya Jawa, kelangsungan budaya Jawa kini semakin terancam punah. Semakin sedikit pula masyarakatnya yang sadar akan kebudayaan itu sendiri. Sebagian besar dari mereka juga kurang  mengenal dengan baik  budayanya tersebut, hal ini mengakibatkan semakin rendahnya kesadaran mereka akan budaya serta keinginan untuk menjaganya juga semakin rendah.
Hal ini terbukti, karena banyak dari mereka yang tidak mengerti dan tidak mau tahu akan budayanya sendiri, lebih senang dengan budaya asing yang dianggap “keren”.Banyak dari kalangan masyarakat yang lebih suka mengenakan produk asing, mengembangkan pemikiran asing yang dianggap modern, dan hal ini juga melanda pada bahasa yang mereka pergunakan dalam berkomunikasi. Kenyataan yang terjadi sekarang ini adalah, banyak dari pemuda daerah yang lupa akan budaya mereka. Banyak dari remaja yang tidak lagi menguasai bahasa Jawa dengan baik.
Semakin lama Budaya Jawa semakin tergerus oleh zaman , terlihat dari sebuah fakta bahkan atau mungkin kita mengalami sendiri saat guru mengajari tembang Jawa justru ditertawakan oleh murid-muridnya.Sebagian orang menganggap menguasai budaya bukanlah hal yang penting, mereka menganggap ini adalah hal yang usang dan kuno , dan menghambat kemajuan.
E. Penyebab Lunturnya Budaya Jawa
Globalisasi berjalan seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping membawa kemajuan di dalam pribadi pemuda dan setiap elemen masyarakat, globalisasi juga memberikan dampak buruk pada budaya. Eksistensi budaya menjadi terancam, karena masyarakat yang merasakan kemajuan zaman selalu beranggapan bahwa budaya daerah tidaklah penting karena yang ada dalam otak mereka adalah bagaimana caranya dapat terus mengikuti kemajuan iptek yang terjadi.
Ironisnya bukan hanya sekedar memberi dampak buruk terhadap sikap masyarakat, namun juga merasuk ke dalam jiwa mereka kemudian tertanam kukuh dan kemudian menguasai mereka. Sehingga mengalahkan kesadaran mereka dalam berbudaya.
Salah satu penyebab utama yang lainnya adalah karena pemerintah tidak lagi memasukkan pendidikan bahasa Jawa ke dalam kurikulum pendidikan 1975. Barulah sepuluh tahun kemudian terasa mengapa pemuda tidak dapat menguasai budaya Jawa dan tata krama Jawa.Namun, di sisi lain tidak sedikit warga negara asing yang kagum akan budaya Jawa dan sangat antosias serta berlomba-lomba untuk bisa dan belajar budaya Jawa.
Memang sebuah kenyataan pahit yang harus diterima. Namun hal tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja. Rasa bangga tidak cukup hanya diucapakan di bibir saja, namun harus dibuktikan dengan tindakan nyata, yaitu kita wajib menjaga dan melestarikan budaya kita.
Rupanya karena eksistensi budaya Jawa yang semakin menhawatirkan keadannya ini, digelar dua buah kongres untuk mengembalikan kejayannya. Kongres yang pertama, kongres sastra Jawa (KSJ) diadakan di Solo (6-7 Juli 2009) . Meskipun belum dapat menghasilkan hasil-hasil yang lebik kongkrit, delapan puluh sastrawan Jawa yang hadir nampak cukup puas. Kongres kedua , Kongres Bahasa Jawa (KBJ) digelar di jantung peradaban  Jawa, Yogyakarta (15-21 Juli 2009).
Budaya adalah sebuah identitas yang akan membuat kita bertahan. Bertahan bukan dengan melawan tetapi dengan menerima. Menerima beragam berbedaan yang akan selalu hadir dalam perputaran jaman. Dan masih ada harapan , karena masih banyak anak-anak yang belajar tentang budaya mereka.Dan mereka akan belajar banyak melalui kisah-kisah heroic yang akan mempengaruhi keputusan mereka kelak.
Banyak cara yang dapat kita tempuh.Memang tidak sedikit dana yang dibutuhkan dalam hal ini, tetapi jika harus dibayar mahal dengan musnahnya sebuah budaya itu tidaklah akan sepadan. Dengan mendirikan sanggar-sanggar akan sangat membantu dalam menjaga kelangsun gan budaya ini. Menumbuhkan minat masyarakat adalah langkah awal yang harus kita kerjakan. Selanjutnya akan menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, yakni turut ambil bagian di dalamnya.Bagi yang memiliki kemampuan lebih dapat menyumbangkan tenaganya sebagai pelatih dalam sanggar tari misalnya. Sebagai guru vokal, kita juga dapat melestarikan budaya dengan cara mengajarkan tembang-tembang Jawa dalam kelas.
Di dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melestarikan budaya ini dengan cara menerapkan bahasa Jawa dengan baik dan benar.Di dalam lingkungan sekolah dengan cara menyisipkan mata pelajaran Bahasa Jawa adalah sebuah langkah yang tepat. Karena mau tidak mau seorang siswa akan dituntut untuk belajar budaya Jawa ini. Kita jangan mau kalah dengan orang-orang asing yang antosias mempelajari budaya kita, karena kalau kita sampai terlena maka hal ini justru akan menjadi bumerang bagi kita semua. Sebuah fakta Reog Ponorogo kebudayaan asli Jawa Timur dihak patenkan oleh Malaysia, dan masih banyak hal-hal kecil lainnya yang seharusnya ini menjadi suatu kebanggaan bagi kita.
Dulu kita harus kehilangan yaitu tempe yang diakui oleh Jepang, Reog oleh Malaysia, dan masih banyak identitas kita yang terampas.  Ini adalah suatu hinaan dan pukulan keras bagi kita. Oleh karena itu kita harus menjaga jangan sampai hal ini terulang lagi untuk kedua kalinya. Dan jangan sampai bahasa apalagi budaya adat sikap masyarakat jawa untuk tetap dipertahankan karena banyak meliputi kebaikan estetika kehidupan.
Ada peribahasa  “ Tak ada gading yang tak retak “, ini adalah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan keadaan budaya kita sekarang ini. Namun jika dirawat gading yang retakpun dapat dipakai sebagai hiasan, Begitu pula dengan budaya, jika kita penuh kesadaran dan keikhlasan menjaga kelangsungannya maka budaya ini akan tetap terjaga kelestariannya, keindahan, serta  kekhasanahannya sehingga dapat kita nikmati  hingga akhir nanti.
Jadikan budaya Jawa untuk terus dan tetap eksis, sehingga generasi penerus kita akan tetap dapat menikmati budaya yang elok, agung, dan mempesona ini. Kita harus bangga  memiliki budaya ini, karena budaya tidak hanya tersohor hingga ke penjuru dunia, tetapi juga merupakan aset yang begitu luar biasa. Setiap kebudayaan tanpa ditopang oleh kekuasaan politik tidak akan bertahan. Sebaliknya kekuasaan politik membutuhkan identas. Dengan memanfaatkan kebudayaan tertentu , sebuah rezim kekuasaan memiliki identitas . Di sini kebudayaan menjadi alat kekuasaan.Sehingga campur tangan dari pemerintah sangat dibutuhkan dalam hal ini.
F. Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Jawa di Era Globalisasi
Sesuai dengan kodratnya, kebudayaan tidaklah statis tetapi akan berkembang dan mengalami perubahan menyesuaikan dengan tata kehidupan manusia menurut jamannya. Jadi kebudayaan itu tidak dapat menutup diri dari pengaruh luar dan akan mengalami pergeseran kebudayaan yang disebut dengan pergeseran nilai-nilai budaya.
Dewasa ini, di era globalisasi atau yang sering disebut dengan era pasar bebas, keadaannya sudah menghawatirkan terkait dengan terbukanya koridor-koridor budaya lokal akibat pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan jati diri dan kepribadian bangsa meliputi bidang teknologi, komunikasi, transportasi dan pariwisata. Adanya hal ini mengancam eksistensi budaya lokal salah satunya budaya jawa.
Kedudukan budaya jawa sebagai warisan leluhur yang adiluhung saat ini seakan tidak ada nilainya, bahkan bagi masyarakat jawa sendiri. Generasi jawa seringnya tidak memiliki pengetahuan tentang budaya jawa, terlebih menerapkan nilai-nilai budaya jawa dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga terdapat ungkapkan “wong Jawa wis ora nJawani, wong Jawa wis ilang Jawane”. Hal ini dapat kita lihat melalui fenomena yang terjadi saat ini, bahwa umumnya masyarakat telah dibutakan oleh gemerlapnya dunia. Sehingga dalam hidupnya lebih disibukkan menimbun kekayaan dan mencari kedudukan atau jabatan.
Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa budaya jawa kini semakin luntur dan mingsed, dapat dilihat dari orang jawa saat ini melalui cara berpakaian, bercengkrama, tata krama dan budi pekertinya semakin tidak diperhatikan  atau bahkan sekarang tidak bisa dikendalikan lagi, bahwa orang jawa sekarang lebih terkesan seperti bukan orang jawa.
G. Upaya Mengembangkan Budaya Jawa
Pergeseran nilai-nilai budaya Jawa di era globalisasi dapat diatasi dengan cara memadukan kebudayaan Jawa dengan program pemerintah yang berbunyi “Tri Karsa Budaya”, yaitu dengan melanjutkan menggali, membongkar dan mengembangkan kebudayaan Jawa sebagai warian generasi bangsa. Adapun tujuan tersebut dapat dicapai jika:
Masyarakat senantiasa membudidayakan budaya Jawa dengan menjunjung derajat bangsa dengan menumbuhkan semangat supaya generasi muda bangsa Indonesia bersama-sama mencari ilmu yang bermanfaat bagi diri pribadi dan kemajuan bangasa yang pada akhirnya menjadi generasi yang tanggap, terampil, semangat dan maju dalam bidang pengetahuan dan teknologi, yang senantiasa setia kepada nusa bangsa dan kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa.
Masyarakat bersama-sama dengan pemerintah mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia supaya bisa bermanfaat bagi kemajuan bangsa dan negara dengan menyeleksi dan menolak masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan jatidiri dan keperibadian bangsa dan tidak sesuai dengan kemajuan jaman.
______________________________________________________
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa : “Eksistensi artinya keberadaan, keadaan, adanya”, sedangkan Globalisasi adalah proses masuknya keruang lingkup dunia,dari Abudin Nata globalisasi merujuk kepada suatu keadaan dimana antara satu negara dengan negara lainnya sudah menyatu. . Budaya adalah semua tindakan manusia dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan dan Masyarakat Jawa memiliki karakteristik budaya yang khas sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Pada garis besarnya, budaya Jawa dapat dibagi menjadi dua, yaitu budaya lahir dan budaya batin.
Budaya jawa yang paling terlihat dalm kemunduranya yaitu, seperti bahasa dan tradisi jawa, karena banyak hal diantaranya kurangnya minat masyarakat untuk megetahui dan belajar bahasa dan tradisi jawa, hal lain juga mengalami pergeseran yaitu akan nilai-nilai budaya jawa yang semakin luntur di era globalisasi, Hal ini dapat kita lihat melalui fenomena yang terjadi saat ini, bahwa umumnya masyarakat telah dibutakan oleh gemerlapnya dunia. Sehingga dalam hidupnya lebih disibukkan menimbun kekayaan dan mencari kedudukan atau jabatan.
Upaya untuk mengembangkan budaya jawa antara lain; memadukan kebudayaan Jawa dengan program pemerintah yang berbunyi “Tri Karsa Budaya”, yaitu dengan melanjutkan menggali, membongkar dan mengembangkan kebudayaan Jawa sebagai warian generasi bangsa, menyeleksi dan menolak masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan jatidiri dan keperibadian bangsa.
B. Saran
Demikian makalah ini kamui susun pastinya banyak kekurangan, yang kami harap bimbingan dari pihak pengampu, sebagai penilaian dan evaluasi kami untuk kedepan agar lebih baik, dan semoga makalah ini berguna bagi kita, amin.
_____________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Damami, Muhammad.  Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa. (Yogyakarta, LESFI, 2002).
Hadisutrisno, Budiono. Islam Kejawen.(Yogyakarta, Eule Book, 2009).
Priyo Prabowo , Dhanu. dkk, Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya Ronggo Warsito. (Yogyakarta, Narasi,2003)
Roqib, Moh. Harmoni Dalam Budaya Jawa. (Purwokerto, Stain Purwokerto Press, 2007)

[1] http://agungcahyono8888.blogspot.com/2013/10/upaya-pelestarian-kebudayaan-indonesia.html 5.49, 03-01-2018
[2] Dhanu Priyo Prabowo. dkk, Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya Ronggo Warsito.Yogyakarta, Narasi,2003. Hal., 23
[3] Muhammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta, LESFI, 2002. Hal., 11-12.
[4] Dhanu Priyo Prabowo. Ibid. Hal.,24-25.
[5] Budiono Hadisutrisno, Islam Kejawen. Yogyakarta, Eule Book, 2009. Hal., 24-25.
[6] Moh. Roqib, Harmoni Dalam Budaya Jawa. Purwokerto, STAIN Purwokerto Press, 2007. Hal., 227.
[7] Dhanu Priyo Prabowo. Ibid., Hal., 33
[8] Moh. Roqib. Ibid. Hal., 42
[9] Ibid. Hal., 54-55
[10] Budiono Hadisutrisno, Islam Kejawen. Yogyakarta, Eule Book, 2009. Hal., 33-34

Post a Comment for "Eksistensi Budaya Jawa Pada Era Globalisasi"