Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ekspansi Bani Umayyah


Islam merupakan agama monoteis yang paling benar dan terjamin keasliannya, sehingga dapat tersebar ke seluruh pelosok dunia. Proses penyebaran ajaran Islam tersebut berjalan melalui serangkaian proses yang sangat panjang. Sejarah mencatat bahwasanya perluasan wilayah atau ekspansi Islam terjadi dalam dua gelombang. Ekspansi gelombang pertama dimulai pada masa Nabi Muhammad saw, yang kemudian diteruskan oleh para sahabat Khulafa’ Rasyidin, sepeninggalnya Nabi saw pada tanggal 8 Juni 632 M. Pada periode ini, hampir seluruh Jazirah Arab dapat ditaklukkan di bawah kekuasaan Islam, dan pada periode ini pula ekspansi di mulai.

Adapun ekspansi gelombang kedua, dilakukan pada masa Dinasti Umayyah (661-750 M) setelah berakhirnya masa Khulafa’ Rasyidin. Mu’awiyah bin Abu Sufyan, sebagai pendiri sekaligus khalifah pertama dinasti ini, melanjutkan ekspansi Islam ke luar Jazirah Arab yang sempat terhenti selama bertahun-tahun pada akhir kekuasaan khalifah Utsman bin Affan hingga tumbangnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib.

Pada kali ini, kami akan membahas ekspansi Islam pada gelombang kedua, yakni pada masa Dinasti Umayyah. Selain membahas bagaimana proses atau kronologi terjadinya ekspansi ke berbagai wilayah . kami juga akan mencoba menganalisis faktor-faktor apa yang melatarbelakangi kesuksesan berbagai ekspansi yang dilakukan oleh Dinasti Umayyah.

Sebagaimana disinggung pada latar belakang masalah di atas, bahwa proses ekspansi Islam terbagi kepada dua gelombang. Ekspansi gelombang pertama, dimulai pada masa Nabi saw yang lalu diteruskan oleh khalifah Abu Bakar Shiddiq. Setelah Abu Bakar wafat pada tahun 13 H karena sakit, ekspansi tetap dilanjutkan oleh khalifah berikutnya, yakni Umar bin Khattab. Pada masa khalifah Umar ini gelombang ekspansi pertama lebih mendapat perhatian. Wilayah demi wilayah di luar jazirah dapat ditaklukkan. Pada tahun 14 H, Abu Ubaidah bin al-Jarrah bersama Khalid bin Walid dengan pasukan mereka berhasil menaklukkan kota Damaskus dari tangan kekuasaan Bizantium.Kemudian, dengan menggunakan kota Suriah sebagai basis pangkalan militer, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan Amr bin al-Ash. Sedangkan ke wilayah Irak, Umar bin Khattab mengutus Sa’ad bin Abi Waqqash untuk menjadi gubernur di sana.

Di masa gelombang ekspansi pertama ini, al-Qadisiyah, sebuah kota yang terletak dekat al-Hirah di Irak, dapat dikuasai oleh imperium Islam pada tahun 15 H. Dari kota itulah, ekspansi Islam berlanjut ke al-Madain (Ctesiphon), hingga ibukota Persia ini dapat dikuasai. Karena al-Madain telah jatuh ke tangan pasukan Islam, Raja Sasan Yazdagrid III akhirnya menyelamatkan diri ke sebelah Utara. Pada tahun 20 H, kota Mosul yang notabene masih dalam wilayah Irak juga dapat diduduki.

Gelombang ekspansi pertama di masa Umar bin Khattab menjadikan Islam sebagai sebuah imperium yang tidak hanya menguasai Jazirah Arab, tapi juga Palestina, Suriah, Irak, Persia, dan Mesir. Saat pemerintahan Umar bin Khattab berakhir karena wafat terbunuh pada tahun 23 H,Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga tetap meneruskan kebijakan ekspansi ke berbagai wilayah di luar jazirah Arab. Meski pada zaman Umar bin Khattab telah dikirim balatentara ke Azerbaijan dan Armenia, pada masa Utsman bin Affanlah, kedua wilayah itu baru berhasil dikuasai saat ekspansi dipimpin oleh al-Walid bin Uqbah.

Ketika Utsman bin Affan menghadapi turbulensi politik di dalam negeri sehingga akhirnya ia terbunuh pada tahun 35 H, Ali bin Abi Thalib pun naik ke tampuk kekuasaan sebagai khalifah keempat. Namun, suhu politik di pusat kekuasaan Islam semakin tinggi sehingga terjadi beberapa pemberontakan, seperti yang dipimpin oleh Aisyah dalam Perang Jamal, tahun 36 H. Khalifah Ali bin Thalib mau tak mau harus menumpas pemberontakan tersebut. Akan tetapi, hal itu menguras kekuatan militer Islam sehingga akhirnya gelombang pertama ekspansi ke luar jazirah Arab pun berhenti. Dengan demikian, gelombang ekspansi kedua ini dilanjutkan oleh Dinasti Umayyah yang akan dibahas selanjutnya.

Ekspansi di Masa Dinasti Umayyah

Sebagai pendiri sekaligus khalifah pertama Dinasti Umayyah, Muawiyah dinobatkan sebagai khalifah di Iliya’ (Yerussalem), tahun 40 H/ 660 M. Dengan penobatannya itu, ibu kota provinsi Suriah, yaitu Damaskus, berubah menjadi ibu kota kerajaan Islam. Meskipun telah resmi dinobatkan sebagai khalifah, Muawiyah memiliki kekuasaan yang terbatas karena beberapa wilayah tidak mengakui kekhalifahannya. Selama proses tahkim berlangsung, ‘Amr bin al-‘Ash, tangan kanan Muawiyah, telah merebut Mesir dari tangan pendukung ‘Ali. Meskipun demikian, para penduduk di wilayah Irak mengangkat al-Hasan, putra tertua ‘Ali, sebagai penerus ‘Ali yang sah, sedangkan penduduk di Mekkah dan Madinah tidak memiliki loyalitas yang kokoh kepada penguasa dari keturunan Sufyan, karena mereka baru mengakui kenabian Muhammad pada saat penaklukan Mekkah. Selain itu, pengakuan keislaman mereka lebih merupakan upaya menyelamatkan kehormatan, bukan didasari keyakinan yang jujur.

Seiring berjalannya waktu, Muawiyah berhasil meredam perlawanan dari kaum yang menolaknya. Pemerintahan Muawiyah ini tidak hanya ditandai dengan terciptanya konsolidasi internal, tetapi juga perluasan wilayah Islam. Pada masa pemerintahannya, peta kekuasaan Islam melebar ke arah Timur sampai Kabul, Kandahar, Ghazni, Balakh, bahkan sampai kota Bukhara. Selain itu, Kota Samarkand dan Tirmiz menjadi wilayah kekuasaannya. Di Selatan tentaranya sampai ke tepi sungai Sindus. Sementara itu, di front Barat panglima Uqbah ibn Nafi’ berhasil menaklukkan Carthage (Kartagona), ibu kota Bizantium di Ifriqiyah.

Mengenai ekspansi pada masa Dinasti Umayyah, Ahmad Syalabi mengatakan dalam kitabnya, Mausu’at al-Tarikh al-Islami, bahwa ekspansi yang dilakukan pada masa Dinasti Umayyah meliputi tiga front penting, yaitu:

1) Front pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia Kecil. Di masa pemerintahan Bani Umayyah, pertempuran di front ini telah meluas sampai kepada pengepungan terhadap kota Konstantinopel dan penyerangan terhadap beberapa pulau di sekitar Laut Tengah.

2) Front Afrika Utara. Front ini meluas sampai ke pantai Atlantik dan kemudian menyeberangi selat Jabal Thariq (Gibraltar) sampai ke Spanyol (Andalusia).

3) Front Timur. Front ini meluas mulai dari Irak menuju timur yang kemudian terbagi kepada dua cabang, yang satu menuju ke utara, ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun, serta yang kedua menuju ke selatan, meliputi daerah Sind, wilayah India di bagian Barat.


Pertempuran Pasukan Muslim melawan Imperium Romawi di Asia Kecil dan sekitar Konstantinopel

Tidak diragukan lagi bahwa front ini menjadi front ekspansi terpenting bagi Dinasti Umayyah, di mana kota Damaskus dijadikan sebagai ibu kota Daulah Islamiyyah. Secara geografis, kota Damaskus berdekatan pada batas-batas kota Bizantium, yang mana saat itu Muawiyah menjadi gubernur Suriah sejak masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Sejak saat itu, ia merasa bertanggungjawab atas keamanan dan ketentraman penduduk Suriah. Maka tak heran, jika Umayyah (Muawiyah) berkewajiban untuk mempertahankan wilayahnya sekaligus menghalau para musuh agar menjauh darinya.

Selama terjadinya fitnah sebelum eranya Muawiyah, yang mana mencakup beberapa tahun terakhir masa kekhalifahan Utsman bin Affan dan juga kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, berbuah positif bagi bangsa Romawi, yang kemudian mereka mendapatkan kembali sebagian wilayah dari Armenia yang sebelumnya telah ditaklukkan tentara Islam. Ketika Muawiyah melihat kesiapan tentara Romawi untuk menyerang—masih pada saat terjadinya fitnah yang menyebabkan terbunuhnya Utsman—Muawiyah terpaksa sebelum menghadapi tentaranya Ali bin Abi Thalib, ia melakukan gencatan senjata dengan Kerajaan Romawi dan sekutunya dari Jarajimah, dengan syarat membayar upeti demi menjamin keselamatan negaranya.

Selanjutnya, ketika fitnah tersebut menghilang, Muawiyah lalu bergegas untuk lebih meningkatkan kekuatan pertahanan tentaranya. Sehingga jumlah angkatan lautnya mencapai 1700 buah perahu yang dilengkapi dengan senjata dan keahlian individual para tentaranya. Ia lalu melancarkan serangan ke bagian timur Laut Mediterania (Mediterranean Sea), sehingga berhasil merebut kota Rhodes (53 H) dan Crete (54 H), sebagaimana mereka telah menyerang pulau Sicilia dan pulau kecil bernama Arwad, dekat Konstantinopel, selanjutnya pulau Cyprus yang telah Muawiyah taklukkan pada masa khalifah Utsman. Adapun pimpinan pasukan yang berperan dalam penyerbuan tersebut adalah Janadah bin Abi Umayyah.

Setelah Muawiyah dan pasukannya berhasil menguasai daratan di Konstantinopel, mereka pun bergegas menuju wilayah perairan dengan maksud untuk menaklukkannya juga. Muawiyah lalu mempersiapkan sekitar 100 buah kapal perang yang memuat berbagai senjata lengkap dengan pasukannya, tujuannya adalah untuk mengepung sebuah kota dekat dengan Konstantinopel. Kemudian, pasukan Muslimin pun berlayar menuju laut Marmarah (Sea of Marmara) dengan mendapatkan banyak kemenangan yang gemilang. Pada ekspansi kali ini, pasukan Muslimin dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah, yang juga didampingi oleh beberapa pejuang muslim lainnya, seperti: Abu Ayyub al-Anshari, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar dan Ibnu Abbas. Peperangan ini terjadi selama hampir 7 tahun yang mengakibatkan terbunuhnya sahabat Abu Ayyub al-Anshari, jenazahnya lalu dimakamkan di sekitar dinding pertahanan kota Konstantinopel.

Selanjutnya, pasukan Muslimin mengalami masa-masa kemunduran. Sebuah riwayat menyatakan bahwa kemunduran tersebut terjadi pada akhir masa kekhalifahan Muawiyah atau permulaan dari kekhalifahan Yazid bin Muawiyyah. Hal ini penting untuk dicermati bahwa masa transisi dari peralihan kekuasaan tersebut secara tidak langsung berpengaruh kepada stabilitas kebijakan perpolitikan (khususnya politik ekspansi) yang sedang berjalan.

Kemunduran ekspansi pada masa ini terjadi akibat tersebarnya fitnah dan serangan dari dalam yang menyebabkan terbunuhnya khalifah Muawiyyah. Kemunduran itu berlanjut sampai masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan. Bangsa Romawi pun menyadari hal itu dan tidak menyianyiakan kesempatan tersebut. Mereka kemudian melakukan serangan hingga berhasil menguasai sebagian besar wilayah taklukkan pasukan Muslimin. Di antara kota-kota yang berpindah ke tangan mereka, yaitu: Armenia, Suriah, ‘Asqalan, Lebanon dan Acre. Demi menjaga keselamatan jiwa, kaum Muslimin terpaksa harus membayar upeti kepada mereka. Melihat kondisi tersebut, khalifah Abdul Malik lalu melakukan konsiliasi dengan Kaisar Romawi, bahwa setiap hari Jum’at ia akan memberikan uang 1000 dinar kepada kekaisaran Romawi, sebagai ganti dari penarikan upeti terhadap umat Muslimin.

Ketika stabilitas perpolitikan di wilayah kekhalifahan Islam kembali normal, khalifah Abdul Malik kembali melakukan serangan balasan terhadap kekaisaran Romawi, sehingga ia berhasil mengambil kembali beberapa wilayah yang pernah ditaklukkan pasukan Romawi, semisal kota Armenia. Pada tahun 84 H, khalifah Abdul Malik mengirim pasukan ke Romawi di bawah komando Abdullah bin Abdul Malik dan berhasil menaklukkan kota Mashishah.

Kemudian masuk pada masa kekhalifahan Walid bin Abdul Malik yang dikenal dengan ‘ahd al-zafr al-wasi’ (era kemenangan yang gemilang). Akan tetapi, pada masa Walid wilayah Romawi kurang mendapat perhatian hingga tidak mengalami perluasan sedikitpun. Namun di sisi lain, Walid beserta pasukannya berencana untuk menaklukkan kota-kota yang berada di wilayah Asia Kecil, dan berhasil mendobrak benteng-benteng pertahanan musuh. Seiring waktu, khalifah Walid pun meninggal dunia sebelum sempat mengirim pasukannya ke Romawi, karena lebih sibuk untuk menaklukkan wilayah-wilayah lain.

Setelah kematian Walid, tampuk kekhalifahan diteruskan oleh Sulaiman bin Abdul Malik yang melakukan penyerangan ke wilayah kekaisaran Bizantium. Kemudian, serangan secara besar-besaran di darat dan perairan pun dilakukan di bawah komando Maslamah bin Abdul Malik. Berbagai kemenangan pun berhasil diraihnya sampai kemudian melakukan pengepungan kembali atas Konstantinopel. Namun pengepungan tersebut tidak membuahkan hasil, hingga Konstantinopel gagal untuk ditaklukkan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 717 M. Akhirnya pada tahun 1543 H, pasukan Muslimin berhasil menaklukkan ibu kota Bizantium tersebut di bawah pimpinan Muhammad al-Fatih.

Peperangan Pasukan Muslimin di Wilayah Afrika Utara dan Andalusia

a) Afrika Utara

Wilayah pesisir Afrika Utara adalah wilayah yang tunduk di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi, yang mana diperintah oleh bangsa Romania. Di samping wilayah pesisir itu, wilayah Kekasisaran Romawi mencakup hutan belantara dan persawahan di bagian selatan sampai ke negara Sudan.

Sebagaimana sejarah mencatat, bahwa ekspansi Islam pada masa khalifah Utsman membentang sampai ke Burqah dan Tripoli. Sebenarnya, tujuan utama dari penaklukkan kota Burqah dan Tripoli adalah untuk menguasai Mesir. Bangsa Romawipun mulai memperbarui benteng-benteng pertahanan mereka di pesisir laut dan mengirim bala tentara untuk berjaga-jaga. Penyerangan ini dibebankan oleh khalifah Utsman kepada Muawiyah. Dalam hal ini, Muawiyyah mempercayakan kepada Uqbah bin Nafi al-Fahri yang tinggal di Burqah pasca ditaklukkan pasukan Islam. Uqbah bin Nafi ini sangat berjasa dalam mengajak kaum Barbar untuk memeluk Islam.

Ahmad Syalabi menyatakan, bahwa ekspansi Islam di bawah Dinasti Umayyah ini mendapatkan perlawanan sengit, yang mana berlangsung sekitar 60 tahun sejak takluknya kota Burqah sampai tunduknya bangsa Romawi pada tahun 83 H. Pada masa peperangan di wilayah Afrika Utara dan Maroko, Muawiyah bin Abi Sufyan mengganti gubernur Mesir saat itu, Muawiyah bin Khudaiz, dengan Maslamah bin Makhlad al-Anshari pada tahun 50 H. Menurut al-Thabari, peran Maslamah sangat penting dalam mempersatukan antara wilayah Maroko, Mesir, Burqah, Afrika dan Tripoli. Akan tetapi, pada masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah tampuk kepemimpinan Mesir diserahkankan kepada Uqbah bin Nafi, yang mana ia berhasil menguasai Samudera Atlantik.[

Kesadaran politik Dinasti Umayyah kembali muncul pada masa Abdul Malik, yang mana ia mengirim pasukan dengan jumlah besar di bawah panglima Hassan bin Nu’man. Pasukan tersebut berhasil menaklukkan tentara Romawi dan mengusir mereka keluar dari Afrika Utara. Selanjutnya, Musa bin Nushair pun didaulat untuk menggantikan Hassan bin Nu’man sebagai gubernur Afrika Utara dan Maroko. Pengangkatan tersebut terjadi pada akhir kekhalifahan Abdul Malik atau permulaan kekhalifahan Walid. Pada masa kepemimpinannya, Musa bin Nushair berhasil menaklukkan kota Tangier yang sebelumnya belum pernah ditaklukkan, lalu kota Sabtah yang terletak di pesisir pantai Afrika. Kota Sabtah merupakan pengikut dari kerajaan Ghotic.

b) Andalusia

Andalusia (kawasan Spanyol dan Portugis sekarang) mulai ditaklukan oleh umat Islam pada masa khalifah al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M), di mana tentara Islam sebelumnya telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu provinsi dari dinasti Bani Umayyah. Proses penaklukan ini dimulai dengan kemenangan pertama yang dicapai Thariq bin Ziyad dengan cara membuat jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Kemudian pasukan Islam di bawah pimpinan Musa bin Nushair juga berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville dan Merida, serta mengalahkan kerajaan Gothic, Theodomir di Orihuela, yang kemudian ia bergabung dengan Thariq di Toledo. Keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol termasuk bagian utaranya, mulai dari Zaragoza sampai Navarre.

Gelombang perluasan wilayah berikutnya dilanjutkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tahun 99 H/ 717 M, di mana sasarannya ditujukan untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pirenia dan Perancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan kepada al-Samah, tetapi usahanya itu gagal sehingga ia terbunuh pada tahun 102 H. Selanjutnya, pimpinan pasukan diserahkan kepada Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Dengan pasukannya, ia menyerang kota Bordeaux, Poitiers dan dari sini ia mencoba menyerang kota Tours. Pertempuran ini dikenal dengan nama Pertempuran Tours. Di kota inilah al-Ghafiqi ditahan oleh Charles Martel. Ia pun meninggal, sehingga penyerangan ke Perancis gagal dan tentara muslim ditarik mundur kembali ke Spanyol.

Pada masa penaklukkan Spanyol oleh pasukan Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, terlebih kepada penganut agama lain seperti Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol, dipaksa untuk dibaptis menurut agama Kristen. Adapun yang tidak bersedia, disiksa dan dibunuh

Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan Raja Roderic, Raja Gothic terakhir yang dikalahkan pasukan Muslimin. Awal kehancuran kerajaan Visigoth adalah ketika Roderic memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo. Sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa wilayah Toledo diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderic. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum Muslimin. Sementara itu terjadi pula konflik antara Raja Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol. Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Thariq dan Musa.

Hal yang menguntungkan tentara Islam lainnya adalah bahwa tentara Roderic yang terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang. Selain itu, orang Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan kepada pasukan Muslimin. Sewaktu penaklukan itu, para pemimpin penaklukan tersebut terdiri dari tokoh-tokoh yang kuat dan mempunyai tentara yang kompak serta penuh percaya diri. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu: toleransi, persaudaraan dan tolong menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum Muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana. 

Peperangan Pasukan Muslimin di Transoxiana dan Sungai Sind

a) Transoxiana

Negara Transoxiana (ma wara’a al-nahr) adalah negara yang terletak di antara Sungai Jihun dan Sungai Syr-Darya. Di antara kerajaan yang pernah berjaya di wilayah ini adalah:

1) Kerajaan Tukhristan, di samping Sungai Jihun dan ibu kotanya adalah Balkh.
2) Kerajaan Shafaniyan, sebelah utara Sungai Jihun dan ibu kotanya, Schumann.
3) Kerajaan Shind, dari Sungai Jihun sampai Sungai Sihun dan ibu kotanya adalah Samarkand, dengan Bukhara sebagai salah satu kota pentingnya.
4) Kerajaan Farghanah, di sebelah Sungai Sihun dan ibu kotanya adalah Kasyan.
5) Kerajaan Khawarizm, di dataran paling atas Sungai Sihun dan ibu kotanya adalah Jurjaniyah.
6) Kerajaan Asyrusinah, sebelah timur kerajaan Farghanah, dll.

Peperangan melawan negara-negara ini dimulai sejak masa khalifah Muawiyah di bawah panglima perang Qais ibn al-Haitsam yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Khurasan. Diceritakan bahwa penduduk Badghis, Hirrah dan Balkh, telah merusak suasana perdamaian dengan saling berperang. Qais pun pergi ke Balkh untuk menghancurkan kuil mereka, hingga penduduk Balkh pun meminta perdamaian, dan itu disetujui oleh Qais. Saat penduduk Badghis dan Hirrah tahu apa yang terjadi kepada penduduk Balkh, kedua kota tersebut akhirnya meminta perdamaian lebih dulu sebelum diserang dengan syarat-syarat tertentu.

Selanjutnya, Muawiyah mengutus Ziyad bin Abihi menuju Irak, yang kemudian digantikan oleh anaknya, Ubaidullah. Di bawah pimpinan Ubaidullah, serangan pasukan Muslimin sampai ke Bukhara dan Samarkand. Serangan pasukan Muslimin pun berhenti di sini disebabkan oleh banyaknya pemberontakan di dunia Islam. Saat itu, wilayah Irak dan Khurasan telah disandarkan kepada Hajjaj bin Yusuf. Hajjaj pun lalu mempersiapkan para pemimpin untuk menyerang kota-kota ini, di antaranya: Mahlab bin Abi Shafrah, Yazid bin Mahlab (anaknya Mahlab), al-Mufadhal (saudara Hajjaj), dan Qutaibah.

Peperangan yang dipimpin Qutaibah terjadi pada permulaan masa khalifah Walid bin Abdul Malik sampai masa khalifah Sulaiman. Di bawah kepemimpinan Qutaibah inilah pasukan Muslimin berhasil menguasai kota-kota yang berada di wilayah Nahrain (dua Sungai: Sungai Jihun dan Sungai Syr-Darya). Qutaibah tidak hanya menaklukkan kota-kota tersebut, namun juga mengajak penduduknya memeluk Islam dan meninggalkan dari menyembah berhala.

Setelah berakhir peperangan di Nahrain yang berdekatan dengan China, Qutaibah pun berencana untuk menaklukkan negara tersebut. Kalau bukan karena kematian Walid dan munculnya perselisihan antara Sulaiman dengan Qutaibah, mungkin sejarah Islam di China akan berubah. Al-Thabari menceritakan bahwa Qutaibah mengirim surat kepada raja Negara China yang berisikan 3 pilihan: masuk Islam, membayar Jizyah atau berperang. Pada awalnya, sang raja menolaknya. Namun setelah tahu akan kebesaran dan kekuatan pasukan yang dibawa Qutaibah, sang raja memberikan hadiah kepada Qutaibah beberapa wilayah. Jikalau pada saat itu kekhalifahan tidak dipimpin oleh Sulaiman, maka ia akan terus menyerang Negara China. Selain beberapa tokoh penting yang telah disebutkan sebelumnya, ada dua orang tokoh lagi, yaitu Asad bin Abdullah dan Nashr bin Sayyar, keduanya menjabat sebagai gubernur Khurasan pada masa Hisyam bin Abdul Malik. Keduanya dikenal telah banyak melakukan penyerbuan di Negara ini.

b) Wilayah Sind


Negara Sind adalah negara yang dikelilingi oleh Sungai Sindus, memanjang dari arah barat mulai dari Iran sampai gunung Himalaya di sebelah timur laut, berbatasan dengan benua Amerika di sebelah selatan. Negara Sind merupakan bagian dari Negara India sebelum penaklukkan Islam. Adapun Negara India terdiri dari beberapa kerajaan, baik yang kuat maupun yang lemah. Namun, masing-masing kerajaan memiliki kewajiban dalam menghalau serangan dari luar, khususnya dari Iran, Turki, China yang dekat dengan benua Amerika. Sejak penaklukkan pasukan Muslimin terhadap Persia, mereka lalu melanjutkan ekspansi menuju Khurasan sampai ke negeri Sind.

Faktor-Faktor Kesuksesan Ekspansi Dinasti Umayyah

Di antara faktor-faktor yang melatarbelakangi ekspansi Islam ke luar Jazirah Arabia demikian cepat dan sukses adalah sebagai berikut:

1) Ajaran Islam untuk selalu berdakwah. Hal tersebut banyak diungkapkan dalam al-Qur’an dan hadits, bahwa mereka akan mendapatkan pahala melimpah.
2) Ajaran Islam untuk berjihad di ajalan Allah. Dengan tujuan berjihad dalam membela agama Allah, para pasukan Islam menjadi tidak takut akan mati karena jika matipun mereka mati dengan syahid.
3) Negara-negara yang menjadi target ekspansi Islam telah mengalami kelemahan, hingga memudahkan pasukan Islam untuk mengalahkan mereka. 
4) Kebijakan Kerajaan Bizantium yang memaksakan aliran keagamaan membuat rakyat merasa kehilangan kemerdekaan untuk beragama. 
5) Rakyat dibebani dengan pajak yang tinggi guna menutupi anggaran perang Kerajaan Bizantium dengan Kerajaan Per­sia. 
6) Kondisi rakyat yang tertindas memudahkan Islam untuk diterima sebagai agama dan penguasa alternatif yang diharapkan mampu membebaskan mereka. 
7) Tradisi bangsa Arab yang gemar berperang yang lalu dijadikan mata pencaharian.
8) Islam tidak memaksakan agama kepada siapapun.
9) Tidak ada sikap fanatisme baik di kalangan pejabat tinggi Negara maupun di antara masyarakatnya.
10) Sistem kemiliteran pasukan Islam sudah semakin lengkap dan maju, terlebih orang-orang Barbar banyak yang masuk Islam.
11) Antara satu khalifah dengan khalifah lain tidak ada perselisihan yang menyebabkan terjadinya kudeta kekuasaan.
12) Bantuan militer dari luar Islam yang mana mereka memiliki tujuan yang sama untuk menaklukkan suatu Negara.
13) Harta hasil peperangan (ghanimah) digunakan untuk kepentingan pasukan Muslimin dan melengkapi persenjataan.

DAFTAR PUSTAKA

Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Nabi Muhammad, terj. Ali Audah. Jakarta: Litera Antar Nusa, 2006.

Suyuthi, Abdur Rahman bin Abu Bakar al-. Tarikh al-Khulafa`. Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah, 1952.

Khayyath, Khalifah bin. Tarikh Khalifah bin Khayyath. Damaskus: Dar al-Qalam, 1397 H.

Thabari, Muhammad bin Jarir al-. Tarikh al-Umam wa al-Mulk. Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 1407 H.

Fida, Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi Abu al-. al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz VII. Beirut: Maktabah al-Ma’arif, tt.

Khaldun, Abd al-Rahman bin. Tarikh ibn Khaldun, Juz II. Beirut: Dar al-Fikr, 2000.

Hitti, Philip K. History of the Arabs, terj. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006.

Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Bagaskara, 2012.


Post a Comment for "Ekspansi Bani Umayyah"