Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Akidah Wahabi & Sepak Terjangnya


Akidah Wahabi & Sepak Terjangnya



       Muhamad Ibnu Abdul Wahhab mempunyai akidah atau keyakinan bahwa tauhid itu terbagi dua 
macam yaitu; Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah. Adapun mengenai tauhid rububiyyah, baik orang Muslim maupun orang kafir mengakui itu. Adapun tauhid uluhiyyah, dialah yang menjadi pembeda antara kekufuran dan Islam. Dia berkata: 
“Hendaknya setiap Muslim dapat membedakan antara kedua jenis tauhid ini, dan mengetahui 
bahwa orang-orang kafir tidak mengingkari Allah swt. sebagai Pencipta, Pemberi rezeki dan 
Pengatur”. 
Dia dengan berdalil firman-firman Allah swt. berikut ini: 
 “Katakanlah, 'Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah 
yang kuasa (menciptakan)pendengaran dan penglihat an, dan siapakah yang mengeluarkan yang 
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur 
segala urusan?' Maka katakanlah, 'Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?”(S.Yunus [10] 
;31). 
 “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, 'Siapakah yang menjadikan langit dan 
bumi dan menundukkan matahari dan bulan? 'Tentu mereka akan menjawab, 'Allah', maka 
betapakah mereka dapat dipalingkan (dari jalan yang benar)” (S. Al ‘Ankabut [29] ; 61) 
Selanjutnya Ibnu Abdul Wahhab berkata: Jika telah terbukti bagi Anda bahwa orang-orang kafir 
mengakui yang demikian, niscaya anda mengetahui bahwa perkataan anda yang mengatakan 
"Sesungguhnya tidak ada yang menciptakan dan tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah, 
serta tidak ada yang mengatur urusan kecuali Allah", tidaklah menjadikan diri anda seorang 
Muslim sampai anda mengatakan, 'Tidak ada Tuhan selain Allah' dengan mengikuti/disertai 
melaksanakan artinya." (Fi ‘Aqaid al-Islam, Muhmmad bin Abdul Wahhab, hal. 38) .Dengan pemahaman Muhammad Abdul Wahhab yang sederhana dan salah mengenai ayat-ayat 
Allah swt. ini dia mudah mengkafirkan masyarakat muslim dengan mengatakan, "Sesungguhnya 
orang-orang musyrik zaman kita yaitu orang-orang Muslim lebih keras kemusyrikannya 
dibandingkan orang-orang musyrik yang pertama. Karena, orang-orang musyrik zaman dahulu 
(yang pertama), mereka hanya menyekutukan Allah disaat lapang, sementara disaat genting 
mereka mentauhidkan-Nya. 
Hal ini sebagaimana firman Allah swt. yang berbunyi, 'Maka apabila mereka naik kapal mereka 
berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah 
menyelamatkan mereka sampai kedarat, tiba-tiba mereka (kembali)mempersekutukan (Allah)." 
(Risalah Arba’ah Qawa’id, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.4) 
Dia juga mengatakan setiap orang yang bertawassul kepada Rasulallah saw. dan para Ahlul- 
Baitnya (keluarganya), atau menziarahi kuburan mereka, maka dia itu kafir dan musyrik; dan 
bahkan kemusyrikannya jauh lebih besar daripada kemusyrikanpara penyembah Lata, 'Uzza, 
Mana dan Hubal. Dibawah naungan keyakinan inilah mereka membunuh orang-orang Muslim yang 
tidak berdosa dan merampas harta benda mereka, pedoman yang sering mereka kumandangkan 
ialah: 
“Masuklah ke dalam ajaran Wahabi. Dan jika tidak, niscaya Anda terbunuh, istri Anda menjadi 
janda, dan anak Anda menjadi yatim”.
Dapat dibaca dalam kitab al-Radd `ala al-Akhna’i oleh Ibnu Taimiyyah bahwa dia menganggap 
hadits-hadits yang diriwayatkan tentang kelebihan ziarah Rasulallah saw. sebagai hadits mawdu` 
(palsu). Dia juga turut menjelaskan ‘orang yang berpegang kepada akidah bahwa Nabi saw. masih 
hidup walaupun sesudah mati seperti kehidupannya semasa baginda masih hidup, dia telah 
melakukan dosa yang besar’. Inilah juga yang sering di-iktiqadkan oleh Muhamad Abdul Wahhab 
dan para pengikutnya, bahkan mereka menambahkan kebatilan mengenai masalah tersebut.
Memonopoli ajaran Tauhid dan pengkafiran terhadap para ulama 
     Sekte Wahabi mengaku sebagai satu-satunya pemilik ajaran Tauhid yang bermula dari 
pendirinya, Muhamad bin Abdul Wahhab. Dengan begitu akhirnya mereka tidak mengakui konsep 
Tauhid yang dipahami oleh ulama muslimin selain sekte Wahabi dan pengikutnya. Kini kita akan 
melihat beberapa tekts yang dapat menjadi bukti atas pengkafiran Muhamad bin Abdul Wahhab 
terhadap para ulama, kelompok dan masyarakat muslim selain pengikut sekte- nya. Kita akan 
menjadikan buku karyaAbdurrahman bin Muhammad bin Qosim al-Hanbali an-Najdi yang berjudul 
“Ad-Durar as-Saniyah” sebagai rujukan kita . 
Beberapa ungkapan Muhamad bin Abdul Wahhab berikut ini yang berkaitan dengan dakwaannya 
atas monopoli kebenaran konsep Tauhid versinya, dan menganggap selain apa yang dipahami 
sebagai kebatilan yang harus diperangi: 
 “…Dahulu, aku tidak memahami arti dari ungkapan Laailaaha Illallah. Kala itu, aku juga tidak 
memahami apa itu agama Islam. (Semua itu) sebelum datangnya anugerah kebaikan yang Allah 
berikan (kepadaku). Begitu pula para guru (ku), tidak seorangpun dari mereka yang 
mengetahuinya. Atasa dasar itu, setiap ulama ’al-Aridh’ yang mengaku memahami arti Laailaaha 
Illallah atau mengerti makna agama Islam sebelum masa ini (anugerah kepada Muhamad bin 
Abdul Wahhab, red) atau ada yang mengaku bahwa guru-gurunya mengetahui hal tersebut, maka 
ia telah melakukan kebohongan dan penipuan. Ia telah mengecoh masyarakat dan memuji diri 
sendiri yang tidak layak bagi dirinya.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 51 ) 
Dengan ungkapannya itu Muhamad Abdul Wahhab mengaku hanya dirinya sendiri yang 
memahami konsep tauhid dari kalimat Laailaaha Illallah dan telah mengenal Islam dengan 
sempurna. Dia menafikan pemahaman ulama dari golongan manapun berkaitan dengan konsep 
Tauhid dan pengenalan terhadap Islam, termasuk guru-gurunya sendiri dari mazhab Hanbali, 
apalagi dari madzhab lain. Dia menuduh para ulama lain yang tidak memahami konsep Tauhid dan 
Islam –ala versinya- telah melakukan penyebaran ajaran batil, ajaran yang tidak berlandaskan ilmu 
dan kebenaran. 
 ‘Mereka (ulama Islam) tidak bisa membedakan antara agama Muhammad dan agama ‘Amr bin 
Lahyi yang dibuat untuk di ikuti orang Arab. Bahkan menurut mereka, agama ‘Amr adalah agama 
yang benar.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 51) 
Siapakah gerangan ‘Amr bin Lahyi itu? Dalam kitab sejarah karya Ibnu Hisyam disebutkan bahwa: 
“ Ia adalah pribadi yang pertama kali pembawa ajaran penyembah berhala ke Makkah dan sekitarnya.Dahulu ia pernah bepergian ke syam.Di sana ia melihat masyarakat Syam menyembah berhala.Melihat hal itu a bertanya dan lantas dijawab: ‘Berhala-berhala inilah yang kami sembah. Setiap kali kami menginginkan hujan dan pertolongan maka merekalah yang 
menganugerah- kannya kepada kami, dan memberi kami perlindungan”. Lantas Amr bin Lahy 
berkata kepada mereka: ‘Apakah kalian tidak berkenan memberikan patung-patung itu kepada 
kami sehingga kami bawa ke tanah Arab untuk kami sembah?’. Kemudian ia mengambil patung 
terbesar yang bernama Hubal untuk dibawa ke kota Makkah yang kemudian diletakkan di atas 
Ka’bah. Lantas ia menyeru masyarakat sekitar untuk menyembahnya” (Lihat: as-Sirah an- 
Nabawiyah karya Ibnu Hisyam jilid 1 halaman 79) 
Dengan demikian Muhamad bin Abdul Wahhab telah menyamakan para ulama Islam selain dia 
dan pengikutnya dengan ‘Amr bin Lahy pembawa ajaran syirik dan menuduh para ulama 
mengajarkan ajaran syirik serta para pengikut- nya sebagai penyembah berhala yang dibawa oleh 
ulama-ulama Islam itu. Siapapun yang memahami ajaran Tauhid ataupun pemahaman Islam yang 
berbeda dengan versi Muhamad Ibnu Abdul-Wahhab dan pengikutnya, maka ia masih tergolong 
sesat karena tidak mendapatanugerah khusus Ilahi. Tidak lain karena, para ulama Islam selain 
sekte Wahabi meyakini legalitas ajaran seperti Tabarruk, Tawassul…dsb.nya.
  
Muhammad bin Abdul Wahhab Mengkafirkan Beberapa Tokoh Ulama 

     Di sini, kita akan mengemukakan beberapa pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap 
beberapa tokoh ulama Ahlusunah yang tidak sejalan dengan pemikiran sektenya: 
a)    Dalam sebuah surat yang dilayangkan kepada        Syeikh Sulaiman bin Sahim seorang tokoh 
madzhab Hanbali pada zamannyaIa (Muhamad Abdul Wahhab) menuliskan: ‘Aku mengingatkan 
kepadamu bahwa engkau bersama ayahmu telah dengan jelas melakukan perbuatan kekafiran, 
syirik dan kemunafikan !….engkau bersama ayahmu siang dan malam sekuat tenagamu telah 
berbuat permusuhan terhadap agama ini !…engkau adalah seorang penentang yang sesat di atas 
keilmuan. Dengan sengaja melakukan kekafiran terhadap Islam. Kitab kalian itu menjadi bukti 
kekafiran kalian!” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 31) 
b).    Dalam surat yang dilayangkan kepada Ahmad bin Abdul Karim yang mengkritisinya. Ia 
(Muhamad Abdul Wahhab) menuliskan:“Engkau telah menyesatkan Ibnu Ghonam dan beberapa 
orang lainnya. Engkau telah lepas dari millah (ajaran) Ibrahim. Mereka menjadi saksi atas dirimu 
bahwa engkau tergolong pengikut kaum musyrik” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 64) 
c).   Dalam sebuah surat yang dilayangkannya untuk Ibnu Isa yang telah melakukan argumentasi 
terhadap pemikirannyaMuhamad bin Abdul Wahhab lantas memvonis sesat para pakar fikih 
(fuqoha’) secara keseluruhan. Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menyatakan: (Firman Allah); “Mereka 
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Rasul dan 
para imam setelahnya telah mengartikannya sebagai ‘Fikih’ dan itu yang telah dinyatakan oleh 
Allah sebagai perbuatan syirik. Mempelajari hal tadi masuk kategori menuhankan hal-hal lain 
selain Allah. Aku tidak melihat terdapat perbedaan pendapat para ahli tafsir dalam masalah ini.” 
(Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 halaman 59) 
d). Berkaitan dengan Fakhrur Razi pengarang kitab Tafsir al-Kabir, yang bermadzhab Syafi’i 
Asy’ary, ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengatakan: “Sesungguhnya Razi tersebut telah mengarang sebuah kitab yang membenarkan para penyembah bintang” (Lihat: Ad-Durar as- 
Saniyah jilid 10 halaman 355). 

Betapa kedangkalan ilmu Muhamad bin Abdul Wahhab terhadap karya Fakhrur Razi. Padahal 
dalam karya tersebut, Fakhrur Razi menjelaskan tentang beberapa hal yang menjelaskan tentang 
fungsi gugusan bintang dalam kaitan- nya dengan fenomena yang berada di bumi, termasuk 
berkaitan dengan bidang pertanian. Namun Muhamad bin Abdul Wahhab dengan keterbatasan 
ilmu dan kebodohannya terhadap ilmu perbintangan telah menvonisnya dengan julukan yang tidak 
layak, tanpa didasari ilmu yang cukup. 

Setelah adanya makalah-makalah diatas, lantas apakah layak ia disebut ulama pewaris akhlak dan 
ilmu Nabi, apalagi pembaharu (mujaddid) sebagaimana yang diakui oleh kaum Wahhabi? Dari 
berbagai pernyataan di atas maka jangan kita heran jika lantas Muhammad bin Abdul Wahhab pun 
mengkafirkan –yang lantas diikuti oleh para pengikutnya (Wahhabi)– para pakar 
teologi(mutakallimin) Ahlusunnah secara keseluruhan (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 
53), bahkan ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengaku-ngaku bahwa kesesatan para pakar teologi 
tadi merupakan konsensus (ijma’) para ulama dengan mencatut nama para ulama seperti adz- 
Dzahabi, Imam Daruquthni dan al-Baihaqi. 

Padahal jika seseorang meneliti apa yang ditulis oleh seorang seperti adz-Dzahabi –yang konon 
kata Ibnu Abdul Wahhab juga mengkafirkan para teolog dalam kitabnya ‘Siar A’lam an-Nubala’ 
dimana beliau (Adz-Dzahabi) banyak menjelaskan dan memperkenalkan beberapa tokoh teolog, 
tanpa terdapat ungkapan pengkafiran dan penyesatan. 

Walaupun kalaulah umpama terdapat beberapa teolog yang menyimpang namun tentu bukan hal 
yang bijak jika hal itudigeneralisir. Jika kita teliti dari konteks yang terdapat dalam ungkapan 
Muhamad bin Abdul Wahhab, jelas sekali yang ia maksud bukanlah para teolog non muslim atau 
yang menyimpang saja, tetapi semua para teolog muslim seperti Abul Hasan al-Asy’ari –pendiri 
mazhab ‘Asy’ariyah- dan selainnya sekalipun. 

Jangankan terhadap orang yang berlainan madzhab ─konon Muhamad bin Abdul Wahhab yang 
mengaku sebagai penghidup ajaran dan metode (manhaj) Imam Ahmad bin Hanbal sesuai dengan 
pemahaman Ibnu Taimiyah─ dengan sesama madzhab pun turut disesatkan. Kita akan melihat 
contoh dari penyesatan pribadi-pribadi tersebut: “Adapun Ibnu Abdul Lathif, Ibnu ‘Afaliq dan Ibnu 
Mutlaq adalah orang-orang yang pencela ajaran Tauhid…namun Ibnu Fairuz dari semuanya lebih 
dekat dengan Islam” (Lihat:Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 78). 

Apa makna lebih dekat pada tekts diatas? Berarti mereka bukan Islam (baca: kafir) dan di luar 
Islam namun mendekati ajaran Islam. Padahal Muhamad bin Abdul Wahhab juga mengakui bahwa 
Ibnu Fairuz adalah pengikut dari mazhab Hanbali, penjunjung ajaran Ibnu Taimiyah dan Ibnu 
Qoyyim al-Jauziyah. Bahkan di tempat lain, Muhammad Abul Wahhab berkaitan dengan Ibnu 
Fairuz mengatakan: “Dia telah kafir dengan kekafiran yang besar dan telah keluar dari millah 
(agama Islam)” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 63) 

Bagaimana Muhamad bin Abdul Wahhab tega mengkafirkan orang yang se-manhaj dengannya? 
Jika rasa persaudaraan terhadap orang yang se-manhaj saja telah sirna, lantas bagaimana  mungkin ia memiliki jiwa persaudaraan dengan pengikut manhaj lain yang di luar manhajnya? 
Niscaya pengkafirannya akan menjadi-jadi dan lebih menggila !! 
mungkin ia memiliki jiwa persaudaraan dengan pengikut manhaj lain yang di luar manhajnya? 
Niscaya pengkafirannya akan menjadi-jadi dan lebih menggila !! 

Kita akan kembali melihat apa yang diungkapkannya kepada pengikut ajaran lain. Jika para ulama 
pakar fikih (faqoha’) dan ahli teologi (mutakklim) telah di sesatkannya, maka jangan heran pula jika 
pakar ilmu mistik modern (baca: tasawwuf falsafi) seperti Ibnu ‘Arabi pun dikafirkan sekafir- 
kafirnya. Bahkan dinyatakan bahwa kekafiran Ibnu Arabi yang bermadzhab Maliki itu 
dinyatakanlebih kafir dari Fir’aun. Bahkan bukan hanya sebatas pengkafiran dirinya terhadap 
pribadi Ibnu Arabi saja, tetapi Muhamad Abdul Wahhab telah memerintahkan (baca: mewajibkan) 
orang lain untuk mengkafirkannya juga. Dia menyatakan: “Barangsiapa yangtidak 
mengkafirkannya (Ibnu Arabi) maka iapun tergolong orang yang kafir pula”. 

Dan bukan hanya orang yang tidak mau mengkafirkan yang divonis Muhamad bin Abdul Wahhab 
sebagai orang kafir, bahkanyang ragu dalam kekafiran Ibnu Arabi pun divonisnya sebagai orang 
kafir. Ia mengatakan: “Barangsiapa yang meragukankekafirannya (Ibnu Arabi) maka ia tergolong 
kafir juga”. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 25) 

Kini, kita akan melihat satu contoh saja, berkaitan dengan pengkafiran Syiah, madzhab Islam di 
luar Ahlusunnah. Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi pernah menyatakan: “Barangsiapa yang 
meragukan kekafiran mereka maka iapun tergolong orang kafir”(Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 
halaman 369). 

M. bin Abdul Wahhab ‘mengaku’ bahwa ungkapan ini berasal dari al-Muqoddasi yang 
diterima oleh pemikirannya. Padahal Ibnu Taimiyah yang juga tidak suka terhadap Syiah –dilihat 
dari berbagai buku karyanya- tidak pernah sampai mengeluarkan Syiah dari Islam (pengkafiran), 
paling maksimal ia telah menvonis Syiah sebagai ahli Bid’ah saja. Atas dasar pengkafiran itulah 
maka jangan heran jika para pengikut Wahhabi hingga hari ini sangat menentang segala usaha 
untuk persatuan antara madzhab-madzhab Islam, terkhusus persatuan Sunni-Syiah. Bahkan 
mencela ulama-ulama Ahlusunnah –apalagi ulama Syiah– yang melakukan usaha tersebut. 
Jadi jelaslah dari sini, jangankan Syiah –yang di luar Ahlusunnah– ataupun Tasawwuf, para ulama 
pakar teologi dan fikih dari Ahlusunnah pun ia kafirkan, terhadap sesama penghidup ajaran Ibnu 
Taimiyah pun divonisnya sebagai kafir. Mungkinkan sekte pengkafiran ini mampu mewakili sebagai 
ajaran suci Rasulallah saw. yang dinyatakan sebagai “Rahmatan lil Alaminin”? 

Mari kita lanjutkan lagi pengkafiran terhadap kaum muslimin yang tidak mengikuti ajaran sekte 
Syeikh Pendiri Wahhabi yang berasal dari Najd itu: 
1.  Pengkafiran Penduduk Makkah 
Dalam hal ini Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan: “Sesungguhnya agama yang dianut 
penduduk Makkah (pada zamannya .red) sebagaimana halnya agama yang karenanya Rasulullah 
diutus untuk memberi peringatan” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 86, dan atau pada 
jilid 9 halaman 291) 
2. Pengkafiran Penduduk Ihsa’ Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan: ‘Sesungguhnya penduduk Ihsa’ di 
zaman (nya) adalah para penyembah berhala (baca: Musyrik)” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 
halaman 113) 
3.  Pengkafiran Penduduk ‘Anzah.
Berkaitan dengan ini, Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan: ‘Mereka telah tidak meyakini 
hari akhir ’ (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 113) 
4.  Pengkafiran Penduduk Dhufair. 
Penduduk Dhufair merasakan hal yang sama seperti yang dialami oleh penduduk wilayah ‘Anzah, 
dituduh sebagai “pengingkar hari akhir (kiamat)”. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 113) 
5.  Pengkafiran Penduduk Uyainah dan Dar’iyah. 
Hal ini sebagaimana yang pernah kita singgung pada kajian-kajian terdahulu bahwa, para ulama 
wilayah tersebut terkhusus Ibnu Sahim al-Hanbali beserta para pengikutnya telah dicela, dicaci 
dan dikafirkan. Dikarenakan penduduk dua wilayah itu (Uyainah dan Dar’iyah) bukan hanya tidak 
mau menerima doktrin ajaran sekte Muhamad bin Abdul Wahhab, bahkan ada usaha meng- 
kritisinya dengan keras. Atas dasar ini maka Muhamad bin Abdul Wahhab tidak segan-segan 
mengkafirkan semua penduduknya, baik ulama’nya hingga kaum awamnya. (Lihat: Ad-Durar as- 
Saniyah jilid 8 halaman 57) 
6.    Pengkafiran Penduduk Wasym. 
Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab telah menvonis kafir terhadap semua 
penduduk Wasym, baik kalangan ulama’nya hingga kaum awamnya. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah 
jilid 2 halaman 77) 
7.    Pengkafiran Penduduk Sudair. 
Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab telah melakukan hal yang sama sebagaimana 
yang dialami oleh penduduk wilayah Wasym. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 halaman 77) 
Dari contoh-contoh di atas telah jelas dan tidak mungkin dapat dipungkiri oleh siapapun ─baik 
yang pro maupun yang kontra terhadap sekte Wahabisme─ bahwa Muhamad bin Abdul Wahhab 
telah mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sepaham dengan keyakinan-keyakinanya yang 
merupakan hasil inovasi (baca: Bid’ah) pikirannya. Baik bid’ah tadi berkaitan dengan konsep tauhid 
sehingga muncul vonis pensyirikan Muhamad bin Abdul Wahhab terhadap kaum muslimin yang 
tidak sejalan, maupun keyakinan lain ─seperti masalah tentang pengutusan Nabi, hari akhir/kiamat 
dsb.nya─ yang menyebabkan munculnya vonis kafir. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 
43).

Marilah kitaperhatikan ungkapan Muhamad bin Abdul Wahhab pendiri sekte Wahabisme berkaitan 
dengan kaum muslimin di zamannya secara umum. Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan: 
“Banyak dari penghuni zaman sekarang ini yang tidak mengenal Tuhan Yang seharusnya 
disembah, melainkan Hubal, Yaghus, Ya’uq, Nasr, al-Laata, al-Uzza dan Manaat. Jika mereka 
memiliki pemahaman yang benar niscaya akan mengetahui bahwa kedudukan benda-benda yang 
mereka sembah sekarang ini seperti manusia, pohon, batu dan sebagainya seperti matahari, 
rembulan, Idris, Abu Hadidah ibarat menyembah berhala ” (Lihat:Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 
halaman 117).

Pada kesempatan lain Muhamad bin Abdul Wahhab mengatakan: ‘Derajat kesyirikan kaum kafir 
Quraisy tidak jauh berbeda dengan mayoritas masyarakat sekarang ini ’ (Lihat: Ad-Durar as- 
Saniyah jilid 1 halaman 120). Dan pada kesempatan lain dia juga mengatakan: ‘Sewaktu masalah 
ini (tauhid dan syrik .red) telah engkau ketahui niscaya engkau akan mengetahui bahwa mayoritas 
masyarakat lebih dahsyat kekafiran dan kesyirikannya dari kaum musyrik yang telah diperangi oleh 
Nabi’ (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 160). 

Namun, setelah kita menela’ah dengan teliti konsep tauhid versi pendiri sekte tersebut (Muhamad bin Abdul Wahhab dalam kitab Tauhid-nya) ternyata banyak sekali kerancuan dan ketidakjelasan 
dalam pendefinisan dan pembagian, apalagi dalam penjabarannya. Bagaimana mungkin konsep 
tauhid rancu semacam itu akan dapat menjadi tolok ukur keislaman bahkan keimanan seseorang, 
bahkan dijadikan tolok ukur pengkafiran? 
Ya, konsep tauhid rancu tersebut ternyata dijadikan tolok ukur oleh Muhamad bin Abdul Wahhab 
yang mengaku paling paham konsep tauhid pasca Nabi sebagai neraca kebenaran, keislaman 
dan keimanan seseorang sehingga dapat menvonis kafirbahkan musyrik setiap ulama (apalagi 
orang awam) yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Sebagai dalil dari ungkapan tadi, Muhamad 
bin Abdul Wahhab pernah menyatakan: “Kami tidak mengkafirkan seorang pun melainkan dakwah 
kebenaran yang sudah kami lakukan telah sampai kepadanya. Dan ia telah menangkap dalil kami 
sehingga argumen telah sampai kepadanya. Namun jika ia tetap sombong dan menentangnya dan 
bersikeras tetap meyakini akidahnya sebagaimana sekarang ini kebanyak- an dari mereka telah 
kita perangi, dimana mereka telah bersikeras dalam kesyirikan dan mencegah dari perbuatan 
wajib, menampakkan (men- demonstrasikan) perbuatan dosa besar dan hal-hal haram…” (Lihat: 
Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 234) 
Di sini jelas sekali bahwa, Muhamad bin Abdul Wahhab telah menjatuhkan vonis kafir dan syirik di 
atas kepala kaum muslimin dengan neraca kerancuan konsep Tauhid-Syirik versinya maka ia telah 
‘memerangi’ mereka. Bid’ah dan kebiasaan buruk Muhamad bin Abdul Wahhab an-Najdi semacam 
ini yang hingga saat ini ditaklidi dan dilestarikan oleh pengikut Wahabisme, tidak terkecuali di 
Tanah Air. 
Lantas apakah kekafiran dan kesyirikan yang dimaksud oleh Muhamad bin Abdul Wahhab dalam 
ungkapan tersebut? Dengan singkat kita nyatakan bahwa yang ia maksud dari kesyirikan dan 
kekafiran tadi adalah; “pengingkar- an terhadap dakwah Wahabisme”. Dan dengan kata yang lebih 
terperinci; “Meyakini terhadap hal-hal yang dinyatakan syirik dan kafir oleh Wahabisme seperti 
Tabarruk, Tawassul, Ziarah Kubur…dsb.nya”. Padahal, hingga sekarang ini, para pemuka Wahabi 
–baik di Indonesia maupun di negara asalnya sendiri– masih belum mampu menjawab banyak 
kritikan terhadap ajaran Wahabisme berkaitan dengan hal-hal tadi. ]] (dikutip dari kumpulan yang 
ditulis oleh saudara Sastro H dari website Abusalafy apr/mei 2008): 
Para pengikut faham Wahabi/Salafi memberikan tanggapan kepada para pengkaji yang melakukan 
penyelidikan mengenai Islam meneliti kitab-kitab mereka hingga menyebabkan mereka akhirnya 
beranggapan bahwa Islam adalah agama yang kaku, beku, terbatas dan tidak dapat beradaptasi 
pada setiap masa dan zaman. 
Umpamanya seorang berkebangsaan Amerika Lothrop Stodard mengatakan: “Kesan dari 
semua itu, kritikan-kritikan telah timbul karena ulah Wahabi berpegang kepada dalil tersebut 
dalam ucapan mereka hingga dikatakan bahwa Islam dari segi jauhar dan tabiatnya tidak mampu 
lagi berhadapan dengan perubahan menurut kehendak dan tuntutan zaman, tidak dapat berjalan 
seiringan dengan keadaan kemajuan dan proses perubahan serta tidak lagi mempunyai kesatuan 
dalam perkembangan kemajuan zaman dan perubahan masa ...” [ 15 Hadir al-`Alam al-Islami, 
Vol.I, hal. 264]. 
Untuk menjelaskan kesalahan yang dilakukan secara sengaja oleh Muhamad bin Abdul Wahhab 
serta pengikutnya, dan juga menjelaskan kekeliruan yang menimpa banyak para pengikutnya, 
yang atas dasar itu kemudian mereka mengkafirkan mayoritas kaum Muslimin hingga zaman kita 
sekarang ini, mau tidak mau para ulama pakar berbagai madzhab meletak-an pemikiran- 
pemikirannya diatas meja pembahasan dan pengkajian.

#akidah #wahabi #refrensi

Post a Comment for "Akidah Wahabi & Sepak Terjangnya "