Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pendidikan dan Paradigma Sosiologi - Sosiologi Pendidikan


Sejak kecil setiap individu sudah harus mengerti bahwa dalam berperilaku tidak boleh berbuat sekehendaknya, melainkan harus selalu melakukan adaptasi dengan masyarakat di sekitarnya. Namun kadangkala terjadi perilaku yang menyimpang yang dilakukan secara sadar atau tidak sadar yang sering disebut sebagai penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat. Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. dengan kata lain penyimpangan adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri terhadap kehendak masyarakat. Seseorang yang melakukan tindak penyimpangan oleh masyarakat akan dicap sebagai penyimpang. Di pihak lain, seorang pelaku penyimpangan senantiasa berusaha mencari kawan yang sama untuk bergaul bersama, dengan tujuan melegalkan tindak penyimpangan yang dilakukan. Maka lama-kelamaan berkumpullah berbagai individu pelaku penyimpangan dalam bentuk penyimpangan kelompok yang akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap norma masyarakat. Dampak yang ditimbulkan dari penentangan norma inilah yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik dalam masyarakat.

A. Pengertian Pendidikan

Secara bahasa pendidikan berasal dari bahasa Yunani, paedagogy, yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar oleh seorang pelayan. Pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan Paedagogos. Dalam bahasa Romawi pendidikan diistilahkan sebagai educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual (Muhajir, 2000:20). Banyak pendapat yang berlainan tentang pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan berjalan terus tanpa menunggu keseragaman arti.[1]

Menurut Crow and crow, seperti yang dikutip oleh Fuad Ihsan dalam bukunya “Dasar-dasar Kependidikan”, mengatakan bahwa pendidikan adalah proses yang berisikan berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan social dari generasi ke generasi.[2]

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.[3]

Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Paulo Freire ia mengatakan, pendidikan merupakan jalan menuju pembebasan yang permanen dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah masa dimana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka, damana melalui praksis mengubah keadaan itu. Tahap kedua dibangun atas tahap yang pertama, dan merupakan sebuah proses tindakan kultural yang membebaskan.[4]

Sebenarnya esensi dari pendidikan itu sendiri adalah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide, etika dan nilai-nilai spiritual serta estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa.[5]

B. Pengertian Paradigma Sosiologi

Paradigma berasal dari bahasa Inggris paradigm yang berarti: model pola, contoh. Dalam kamus ilmiah populer, paradigma dapat diartikan sebagai contoh, tasrif, teladan, pedoman, dipakai untuk menunjukkan gugusan sistem pemikiran bentuk kasus dan pola pemecahannya. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia paradigma diartikan sebagai kerangka berpikir, model teori ilmu pengetahuan.

Pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah:

1. Cara memandang sesuatu.

2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan.

3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.

4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.

Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh fisikawan Amerika Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs dalam bukunya Sociology of Sociology (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Menurut Khun yang dikutip George Ritzer, Paradigma adalah gambaran fundamental dari pokok bahasan dalam ilmu pengetahuan.Dia menentukan apa yang harus dipelajari,pertanyaan apa yang harus diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit terluas dari konsensus dalam ilmu pengetahuan dan membedakan satu komunitas ilmiah dari yang lain. Ia memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan sejumlah contoh, teori dan metode serta instrument yang ada didalamnya.[6]

Di dalam masyarakat banyak sekali permasalahan yang dihadapi, baik berupa masalah yang ringan sampai yang paling berat. Dalam menghadapi masalah yang ada dalam masyarakat tersebut, masyarakat biasanya menggunakan cara atau pola pikir tertentu ketika memandang suatu fakta atau keadaan yang terjadi dalam masayarakat. Pola pikir masyarakat dalam memandang suatu fakta sosial itulah yang di sebut dengan paradigma sosiologi. Di dalam paradigma sosiologi, ada beberapa unsur ilmu sehingga paradigma sosiologi dipandang sebagai suatu disiplin ilmu yang bisa dijadikan sebagai acuan atau landasan dalam penelitian mengenai problem-problem sosial.

C. Macam-Macam Paradigma Sosiologi

Thomas Samuel Kuhn mengemukakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam. Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan bahwa pengetahuan yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan berbeda pula dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1980), perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut. Terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; Pertama, pandanganfilsafat yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus dipelajari sudah berbeda; Kedua, pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda; Ketiga, karena obyek berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda.

Perbedaan paradigma itu khususnya terjadi dalam keilmuan sosiologi. Perbedaan itu terjadi pada dimensi obyek kajian atau what is the subject matter of sociology. Dengan adanya perbedaan pandangan ini, Geoger Ritzer menilai bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm). Setiap paradigma memiliki obyek kajian, teori, metode analisa yang berbeda. Meskipun masih banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi, namun menurut George Ritzer,[7] secara garis besar ada tiga paradigma yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni:

1. Paradigma fakta sosial

Paradigma ini merupakan sumbangsih dari pemikiran Durkheim yang didasarkan atas karyanya The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Paradigma fakta sosial dirintis Durkheim sebagai antitesis atas tesis Comte dan Herbert Spencer. Comte dan Herbert Spencer berpendapat bahwa dunia ide adalah pokok bahasan dalam sosiologi. Dengan tegas pendapat ini ditolak oleh Durkheim. Menurut Durkheim, dunia ide bukanlah obyek riset dalam sosiologi. Sebab dunia ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi pikiran dan bukan sesuatu yang dapat dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte dan Herbert Spencer ini menjerumuskan sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri sendiri. Padahal sosiologi adalah ilmu yang berdiri sendiri dan lepas dari bidang filsafat. Berangkat dari kritik ini, akhirnya Durkheim membangun konsep fakta sosial sebagai dinding pemisah antara obyek kajian sosiologi dengan filsafat. Durkheim mengklaim bahwa fakta sosial adalah barang yang nyata dan bukanlah ide. Fakta sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan spekulatif yang dilakukan dalam pemikiran manusia. Sebaliknya fakta sosial dipahami melalui kegiatan penyusunan data nyata yang dilakukan di luar pemikiran manusia.

Menurut Durkheim, pokok bahasan sosiologi haruslah mengenai studi fakta sosial. Pembahasan mengenai paradigma fakta sosial terdiri dari struktur sosial, dan institusi sosial seperti norma-norma, nilai, adat-istiadat, dan segala aturan yang bersifat memaksa diluar kehendak manusia. Berarti struktur dan institusi sosial beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu menjadi subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para teoritisi yang menganut paradigma fakta sosial memusatkan pada relasi antara struktur sosial dengan individu, dan relasi institusi sosial dengan individu. Dengan kata lain, pendorong tindakan individu pada analisis fakta sosial antara struktur dan institusi sosial bersifat terpisah.

Pada studi fakta sosial, Durkheim tidak hanya melihat sesuatu dalam konteks yang nyata (material) saja,melainkan juga berkaitan dengan sesuatu diluar materi. Untuk mempermudah memahaminya, Durkheim membagi ranah fakta sosial menjadi dua bentuk, yaitu:

a. Fakta sosial material, yang terdiri dari sesuatu yang dapat dipahami, dilihat dan diamati. Inti dari fakta sosial material ini adalah sesuatu yang ada dunia nyata dan bukanlah imajinatif. Misalnya, bentuk bangunan, hukum dan peraturan.

b. Fakta sosial non-material, sebenarnya dapat dikatakan suatu ekspresi atau fenomena yang terkandung dalam diri manusia sendiri atas fakta sosial materialnya, dan ini hanya muncul dalam kesadaran manusia. Misalnya, moralitas, kesadaran, egoisme, altruisme dan opini.

Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari teori ini yang biasa digunakan oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural, dan teori konflik.

2. Paradigma Definisi Sosial

Paradigma ini dilandasi analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action). Perbedaan analisa Weber dengan Durkheim terlihat jelas. Jika Durkheim memisahkan struktur dan institusi sosial, sebaliknya Weber melihat ini menjadi satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau makna. Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan sosial.[8]

Menurut Weber, mempelajari perkembangan pranata haruslah juga melihat tindakan manusia. Sebab tindakan manusia merupakan bagian utama dari kehidupan sosial. Bagi Weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta berbagai hubungan sosial sampai kepada penjelasan kausal. Untuk itu, paradigma ini disebut juga sebagai sosiologi interpretatif. Paradigma definisi sosial didukung oleh beberapa teori, seperti teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, dan teori etnometodologi.

3. Paradigma Perilaku Sosial

Paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan antar individu dan hubungan individu dengan lingkungannya. Paradigma ini menyatakan bahwa obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis adalah perilaku manusia atau individu yang tampak dan kemungkinan perulangannya.

Menurut paradigma ini, tingkah laku seorang individu mempunyai hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhinya dalam bertingkah laku. Tingkah laku manusia atau individu di sini lebih ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya seperti norma-norma, nilai-nilai atau struktur sosialnya. Jadi dalam hal ini individu kurang sekali memiliki kebebasan.

Paradigma ini mengacu pada karya psikolog Amerika Burrhus Frederic Skinner, salah satunya Beyond Freedom And Dignity. Menurut George Ritzer, Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi. Karyanya meliputi spektrum yang sangat luas. Teori, gagasan dan praktik yang dilakukannya telah memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behavior.

Pada paradigma perilaku sosial, Skinner mencoba mengkritik apa yang menjadi obyek dari paradigma fakta sosial dan definisi sosial. Obyek dari kedua paradigma itu seperti struktur dan institusi sosial adalah sesuatu yang bersifat mistik atau obyek hanya terjadi dalam pemikiran manusia. Dengan tegas Skinner menolak obyek kedua paradigma ini. Bagi Skinner, obyek mistik itu justru menjauhkan sosiologi dari obyek studi yang sebenarnya yaitu sesuatu yang bersifat konkrit dan realistis. Skinner mengklaim bahwa obyek perilaku manusia adalah obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis. Teori yang tergabung dalam paradigma ini adalah teori behavioral sociology dan teori pertukaran (exchange).



4. Paradigma Integratif/Multi Paradigma

Seiring perkembangan analisis tiga paradigma di atas dengan berbagai macam perdebatannya mengenai subject matter dari sosiologi, maka menurut George Ritzer, perlu adanya paradigma yang mengakomodasi penyatuan dari ketiga paradigma tersebut, sebab teramat sulit untuk memahami fenomena sosialyang begitu kompleks. Maka George Ritzer berusaha mengetengahkan masalah ini dengan mengajukan konsep paradigma integratif yakni dengan menggabungkan subject matter dari ketiga paradigma ini, yang meliputi semua tingkatan realitas, baik tingkat makro-obyektif seperti masyarakat, hukum, birokrasi dan bahasa, tingkat makro-subyektif seperti nilai, norma dan budaya, tingkat mikro-obyektif seperti pola perilaku, tindakan, dan interaksi, serta tingkat mikro-subyektif seperti persepsi dan keyakinan.

Ketiga paradigma ini memang berbeda subject matter-nya, namun sesungguhnya saling memperkaya analisis. Masing-masing paradigma yang ada menjelaskan satu tingkat realitas sosial tertentu, dan paradigma integratif berusaha menjelaskan semua tingkat realitas sosial yang ada. Kelemahan paradigma integratif terletak pada tingkat kedalaman analisisnya. Paradigma integratif dalam menjelaskan tingkat realitas tidak sedalam analisis pada masing-masing paradigma yang ada. Untuk itu, dalam menentukan suatu paradigma ditentukan dari pertanyaan penelitian yang diajukan. Hal ini berarti bahwa tidak semua masalah sosiologi memerlukan pendekatan integratif, namun bisa juga fokus pada salah satu paradigma.

Paradigma integratif ini dikembangkan lebih lanjut oleh Peter L. Berger, Thomas Luckman dan Anthony Giddens. Ketiga sosiolog ini berusaha menjembatani ketegangan antara subyektivisme dan obyektivisme, antara makro dan mikro, dan antara voluntarisme dan determinisme. Ketiganya berusaha mencari pertautan antara mentalitas dan struktur. Kiranya inilah pandangan paradigma integratif yang dapat juga dikatakan sebagai paradigma “jalan tengah”. Paradigma ini berusaha menawarkan perpaduan berbagai paradigma sesuai dengan tingkat kebutuhan analisis dari ilmuwan sosial tersebut.[9]

fn:
[1] Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm.39.
[2] Ibid.,hal.40
[3] Ibid.,hal.41
[4] Ibid.,hal.3.3
[5] Ibid.,hal.3.20
[6] https://www.terraveu.com/pengertian-paradigma/ diakses, 19 Februari 2021
[7] George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 38.
[8] Ibid.,hal.40-41
[9] Anthony Giddens, dan Jonathan H. Turner (ed), Social Theory Today; Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial, diterjemahkan oleh Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.127.

Post a Comment for "Pendidikan dan Paradigma Sosiologi - Sosiologi Pendidikan"