Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Urgensi Ijtihad, Macam-Macam Ijtihad dan Syarat-Syarat Mujtahid

Urgensi Ijtihad 

Islam mengatur segala aspek kehidupan dari mulai hal yang terkecil sampai pada hal yang diluar jangkauan manusia (gaib dan metafisik). Maka dapat dipastikan, manusia muslim, terutama para ulamanya senantiasa berusaha menjelaskan kepada siapa saja bahwa Islam adalah agama yang tepat untuk dianut. Munculnya permasalahan-permasalahan baru yang menuntut legalitas hukum selalu dicarikan solusinya dalam al Quran dan Sunah. Kalaupun tidak didapatkan di dalamnya, mereka akan berusaha dengan keras mencarikan jalan keluarnya, dan tentu dengan metode-metode sistematis yang telah disepakati (ijma). Inilah yang dimaksud dengan ijtihad, yaitu usaha seorang muslim untuk menentukan hukum pada sebuah realitas dengan mengambil dalil-dalil syar’i atau dengan kata lain (menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah) ijtihad yaitu mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan hukum Islam baik dalam bidang akidah, filsafat, tasawuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu. 

Dalam Islam, ijtihad merupakan bahasan yang tak henti-hentinya dan menjadi kajian ramai para ulama zaman klasik hingga sekarang, sebut saja misalnya Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa-nya. Demikian juga dengan Imam as-Syaukani dalam bukunya Irsyad al-Fukhul sampai pada ulama-ulama kontemporer semisal Abdul Wahab Khalaf, Yusuf Qaradhawi, Wahbah Zuhaili, dan Ali Jum'ah. Bahkan hampir di setiap buku-buku ushul fikih selalu disisakan ruang pembahasan resmi tentang ijtihad. Adapun sandaran teks-teks keagamaan yang mengatakan bahwa ijtihad masih relevan sampai zaman sekarang diantaranya adalah Firman-Nya: “Fain tanβza’tum fξ syaiin farudduhu ilalLβh wa al-Rasuli inkuntum tu’minu bilLahi wal-yaumu al-βkhir” (QS:4:59). 

Adanya kalimat “al-rad” dalam ayat tersebut mengindikasikan akan adanya ijtihad yang harus dilakukan oleh manusia. Selain itu, ayat lain menyebutkan “wa amruhum syurβ bainahum”, kata “syura” dalam ayat tersebut mengandung arti pembahasan segala sesuatu untuk menentukan hukum syar’i pada setiap permasalahan dengan merujuk pada dalil yang terdapat pada nash ataupun tidak. Hal ini tidak lain merupakan suatu ijtihad. Begitu juga dengan perkataan Rasul yang menyebutkan bahwa Allah akan mengutus seorang pembaharu agama pada umat Islam dalam setiap seratus tahunnya. Pembaharu (mujaddid) tersebut sudah barang tentu adalah orang yang memiliki pengetahan yang luas dan kafa’ah dalam ilmu syariah sehingga mampu menghidupkan Sunah dan menghindari bidah. Tidak lain adalah ijtihad itu sendiri. Dalam hadis lain, Nabi mengatakan bahwa apabila seseorang berijtihad dan dia benar maka baginya dua pahala, namun bila dia salah maka baginya satu pahala. Begitu juga dengan perizinan Nabi kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra. ketika mengutusnya ke Yaman untuk tidak mengapa berijtihad ketika di dalam al-Quran dan Sunah tidak didapati legalitas sebuah obyek. 

Definisi Ijtihad  

Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada, yang berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat atau mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh. Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at. Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari`at”. Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas.

Macam-Macam Ijtihad 

Ad-Dualibi, sebagaimana dikatakan Wahbah (h. 594), membagi ijtihad kepada tiga macam : Al-Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah dari nash-nash syar`i, Al-Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i, Al-Ijtihadul Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/ peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar-ra`yu yang disandarkan atas isthishlah. 

Mujtahid dan Syarat-Syaratnya 

Pada dasarnya jika membicarakan syarat-syarat mujtahid, maka berarti juga membicarakan syarat-syarat ijtihad. Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat : 

  • Mengetahui dan menguasai ilmu syara’, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang syara dan mendahulukan yang wajib. 
  • Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah). 

Sedangkan menurut Asy-Syatibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua sifat : 

  • Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh. 
  • Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut. 

Menurut Wahbah az Zuhaili mujtahid mempunyai beberapa syarat, yaitu : 

1. Mengetahui apa yang ada pada Tuhan, mengetahui/percaya adanya Rasul dan apa yang dibawanya, juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat-Nya. 

2. Hendaknya seorang yang pandai (`alim) dan bijaksana (arif) tentang keseluruhan hukum-hukum syari`at dan pembagian-pembagiannya, jalan-jalan menetapkannya, segi-segi dalil atas yang didalilinya, perbedaan-perbedaan tingkatnya, syarat-syarat yang tepat untuk itu dan tahu arah pentarjihannya ketika terdapat kontradiksi di dalamnya dan tahu pula cara menghasilkan daripadanya, mampu pula membebaskan maupun menetapkan dan tahu pula memisahkan keberatan-keberatan yang terdapat di dalamnya. Hafal al Qur`an dan Sunnah yang diperlukan. 

3. Mengetahui nasih dan mansuh, baik yang terdapat dalam al Qur`an maupun Sunnah, agar tidak keliru berpegang kepada yang mansuh yang sudah ditinggalkan padahal ada nasihnya, sehingga menyebabkan ijtihadnya batal. 

4. Mengetahui masalah-masalah ijma` dan kedudukan-kedudukannya, sehingga fatwanya tidak bertentangan dengan ijma` itu. 

5. Mengetahui segi-segi dan syarat qiyas yang mutabaroh dan `illat hukum serta jalan istimbath qiyas terhadap nash-nash, kemaslahatan-kemaslahatan manusia, dan pokok-pokok syari`at yang umum, menyeluruh, sebab qiyas itu kaidah ijtihad dan di dalamnya banyak terdiri dari hukum-hukum tafsili (terperinci). 

6. Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab, nahwu, shorof, ma`ani, bayan, dan uslub-uslub. 

7. Alim dalam ilmu ushul fiqh. 

8. Memahami tujuan-tujuan syari`at yang umum dalam meletakkan hukum-hukum, sebab memahami nash-nash dan menerapkannya kepada peristiwa-peristiwa tertentu tergantung kepada pemahaman terhadap tujuan-tujuan ini. 

Melihat syarat-syarat yang berat di atas, timbul pertanyaan apakah pada masa sekarang apabila ditemukan permasalahan yang tidak ditemukan hukumnya, tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, karena syarat-syarat diatas sangat sulit dipenuhi oleh ulama’ pada masa sekarang. Pada akhirnya munculah apa yang disebut dengan ijtihad jama’i, yaitu mengumpulkan para ahli dalam bidangnya untuk mencari hukum suatu masalah yang belum terjawab. Melihat realitas problematika fiqh kontemporer, maka para ulama melihat ijtihad kolektif merupakan terobosan yang paling efektif untuk mengantisipasinya, dimana kelompok ahli hukum Islam di samping penasehat ilmu lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, mereka meninjau masalah tersebut dari segala segi untuk menetapkan solusi hukumnya. Ini tidak menutup pintu ijtihad individual, karena ijtihad fardi merupakan jembatan menuju ijtihad jama’i. Seorang mujtahid menetapkan hukum suatu masalah dengan terlebih dahulu mengkaji seluruh disiplin ilmu yang berkaitan dengan melakukan klarifikasi kepada ahlinya. 

Tingkatan Mujtahid 

Berdasarkan ijtihad yang dilakukan, ulama’ mengelompokkan mujtahid dalam beberapa tingkatan. Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul al-Fiqh menyebut ada enam tingkatan mujtahid, yaitu : 

1. Mujtahid Mustaqill, 

yaitu mujtahid yang mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan sunnah, melakukan kias, berfatwa dan beristihsan. Atau mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun, disebut juga Mujtahid mutlaq. 

2. Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang mempunyai syarat-syarat untuk berijtihad, tetapi ia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh imam madzhab tersebut. Atau mujtahid yang memilih perkataan-perkataan seorang Imam pada hal-hal yang bersifat mendasar dan berbeda pendapat dengan mereka dalam hal-hal furu’ (cabang) walaupun pada akhirnya ia akan sampai pada hasil yang serupa dengan yang telah dicapai imam tersebut. 

3. Mujtahid fil Madzhab, yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat Imam Madzhab,baik dalam hal-hal ushul maupun furu’. Usahanya hanya terbatas dalam menyimpulkan hukum-hukum persoalan yang belum ditemui hukumnya dalam pendapat imam madzhab. 

4. Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang meng-isthinbat-kan hukum-hukum yang tidak diijtihadkan oleh para ulama’ sebelumnya. Sebenarnya mujtahid pada tingkatan ini hanya mencari pendapat imam madzhab yang lebih kuat. 

5. Mujtahid Muhafidh, yaitu mujtahid yang mengetahui hukum-hukum yang telah ditarjih oleh para ulama’ sebelumnya. 

6. Mujtahid Muqallid, yaitu mujtahid yang hanya sanggup memahami pendapat-pendapat mujtahid lain, tidak mampu melakukan tarjih. 

Post a Comment for "Urgensi Ijtihad, Macam-Macam Ijtihad dan Syarat-Syarat Mujtahid"