Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Syirkah dan Ju'alah Fiqih Muammalah

SYIRKAH DAN JU'ALAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Islam sebagai agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi tentang segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan umat-Nya menuju terbentuknya komunitas manusia yang mampu melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah dimuka planet bumi. Khalifatullah bukanlah suatu tugas ringan yang bisa dengan sendirinya terlaksana tanpa adanya kreasi dan inovasi yang dinamis untuk menggali semua potensi yang telah disediakan oleh Allah. Guna menggali untuk memanfaatkan potensi alam secara maksimal inilah manusia kemudian perlu mengadakan interaksi dengan sesamanya yang tidak mustahil terjadi kesenjangan dan perbenturan kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk berlaku tolong-menolong dengan sesamanya.
Agama islam telah mengatur prilaku para pengikutnya dalam segala hal, salah satunya yaitu tentang hubungan dengan sesama manusia, segala hal tentang masalah tersebut telah dijelaskan dalam ilmu fiqih mualamah. Dalam hubungan sesama manusia, kita pasti sudah mengetahui bahwa terdapat akad syirkah dan ji’alah.
Dalam masyarakat Arab jahiliyah sudah dikenak dengna adanya kerjasama dalam lapangan ekonomi, baik kerjasama yang bersifat produktif maupun berbentuk kerjasama dalam pemilikan sesuatu secara bersama oleh dua orang atau beberapa orang. Sebagian contoh untuk jenis yang disebut terakhir ialah pemilikan sebuah rumah atau kebun oleh dua orang atau lebih di mana milik masing-masing belum dipisah. Dengan demikian, pemilikan atas benda tersebut masih dalam bentuk pemilikan antara pihak-pihak yang ikut berkongsi di dalamnya.
Bagaimana kalau salah seorang dari anggota itu ingin menjual haknya kepada pihak lain yang juga ikut dalam persekutuan itu? Bolehkah salah seorang dari mereka menjual haknya yang belum dibagi itu kepada pihak luar yang belum dibagi itu kepada pihak luar yang tidak termasuk dalam perkongsian/syirkah tersebut?
Menurut ketentiuan agama, pihak-pihak yang termasuk dalam persekutuan itu tidak boleh menjual haknya kepada oaring luar secara sendiri-sendiri tanpa persetujuan para anggota persekutuan. Sekiranya salah seorang menjual haknya kepada pihak yang tidak berserikat dalam pamilikan itu, maka anggota yang lain dalam persekutuan itu  dapat meminta secara paksa kepada pihak pembeli supaya menjual kembali harta itu kepadanya sesuai dengan jumlah harta yang dia beli. Hal inilah yang dikenal dengan istilah syirkah.
Akad ji’alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia berhak mendapat hadiah atau upah. Secara harfiah ji’alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan.
Dari paparan di atas, penulis merasa tertarik untuk lebih dalam lagi membahas tentang apa itu sebenarnya akad syikah dan ji’alah yang telah ada sejak zaman dahulu ini. 
B.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian syirkah dan ji’alah?
2.    Apa saja rukun serta syarat syirkah dan ji’alah?
3.    Apa saja jenis-jenis syirkah serta penerapanya?
4.    Bagaimana pelaksanaan dan pembatalan ji’alah?
5.    Apa saja hikmah-hikmah ji’alah?
C.       Tujuan Makalah
1.    Memahami pengertian syirkah dan ji’alah.
2.    Untuk mengetahui rukun serta syarat syirkah dan ji’alah.
3.    Untuk mengetahui jenis-jenis syirkah dan penerapanya pada lembaga bisnis.
4.    Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan dan pembatalan ji’alah.
5.    Untuk mengetagui apa saja hikmah-hikmah ji’alah.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Syirkah dan Ji’alah
1.    Pengertian Syirkah
Syirkah (  شركة) dalam arti bahasa adalah:
الإختلا ط أي خلت أحد الما لين با الاخر بحيث لا يمتزا ن عن بعضهم
Bercampur yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan yang lainnya, sehingga tidak dapat dibedakan antara keduanya.([1]) Menurut istilah, yang dimaksud dengan syirkah para fuqaha berbeda pendapat sebagai berikut:
a)    Menurut Hanafiayah
الشركة هي عبا رة عن عقد بين المتشا ركين في رأس المال و الربح
Syirkah adalah sesuatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang berserikat di dalam modal dan keuntungan.
b)   Menurut Malikiyah
الشركة هي اذن في التصرف لهما مع أنفسهما أي أن يأذن كل واحد من الشريكين لصاحبه في أن يتصرف في مال لهما مع ابقاء حق التصرف لكل منهما
Syirkah adalah persetujuan untuk melakukan tasarruf bagi keduanya beserta diri mereka, yakni setiap orang yang berserikat memberikan persetujuan kepada teman serikatnya untuk melakukan tasarruf terhadap harta keduanya di samping masih tetapnya hak tasarruf bagi masing-masing peserta.
c)    Menurut Syafi’iyah
ثبوت الحق علي جهة الشيوع في شيئ واحد لاثنين فأكثر
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama.)[2](
d)   Menurut Hanabilah
الشركة هي الاجتماع في استحقاق أو تصرف
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atau hak atau tasarruf.
Setelah diketahui definisi-definisi di atas, maka yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.([3])
Adapun yang dijadikan dasar hukum syirkah oleh para ulama adalah:
·      Surah An-Nisa ayat 12
فان كانوا أكثر من ذلك فهم شركاء في الثلث
Tetapi jika saudara-saudara seibu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.
·      Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah dari Nabi Saw.
عن أبي هريرة رفعه قال : ان الله يقول : أنا ثا لث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه فاذا خانه خرجت من بينهما
Dari Abu Hurairah, ia merafa’kannya kepada nabi, beliau bersabda: Saya adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selagi salah satunya tidak mengkhianati temannya. Apabila ia berkhianat kepada temannya, maka saya akan keluar dari antara keduanya. (HR. Abu Dawud)[4]
Dari  Al-Qur’an dan Sunnah tersebut, jelaslah bahwa syirkah merupakan akad yang dibolehkan oleh syara’.[5]
2.    Pengertian Al-Jialah
Pengupahan (ju’alah) menurut bahasa ialah apa yang diberikan kepada seseorang karena sesuatu yang dikerjakannya, sedangkan pengupahan (ju’alah) menurut syariah, Al-Jazairi (2005:525-526) menyebutkan hadiah atau pemberian seseorang dalam jumlah tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak diketahui. Misalnya, seseorang bisa berkata,” Barangsiapa membangun tembok ini untukku, ia berhak mendapatkan uang sekian”. Maka, orang yang membangun tembok untuknya berhak atas hadiah(upah) yang ia sediakan, banyak atau sedikit. Istilah lain dalam pengupahan adalah ijarah. Penggunaan kedua istilah ini sesuai dengan teks dan konteksnya.([6])
Ji’alah adalah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan. Misalnya, seseorang kehilangan kuda, dia berkata,”Barang siapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian”.
Al-ju’l ialah pemberian upah (hadiah) atas suatu manfaat yang diduga bakal terwujud, seperti mempersyaratkan kesembuhan dari seorang dokter, atau kepandaian dari seorang guru, atau pencari/penemu hamba yang lari.
Kata jialah secara bahasa artinya mengupah. Secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq :
عقد على منفعة يظن حصوله
Artinya : “sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh”.

Istilah jialah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fukaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan air atau seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, jialah bukan hanya terbatas pada barang yang hilang namun dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.
Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam ji'alah berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan atau perbuatan tertentu.([7])
B.       Rukun Serta Syarat Syirkah dan Ju’alah
1.    Rukun dan Syarat Syirkah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun syirkah ada dua, yaitu ijab dan kabul sebab ijab kabul (akad) yang menentukan adanya syirkah.([8])  Sedangkan menurut Syafi’iyyah, rukun syirkah ada lima (5) Yaitu dua orang yang melakukan akad, dua buah barang yang dicampurkan, dan Shighot (bentuk akad). Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat:
a)    Sesuatu yang bertalian dengan sebuah bentuk syirkah baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu yang pertama yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, yang kedua adalah yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
b)   Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi yaitu yang pertama, bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran, seperti rupiah, yang kedua adalah yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun bebeda.
c)    Sesuatu yang bertalian dengan syarikat mufawadhah, bahwa dalam mufawadhah disyaratkan yang pertama yaitu modal (pokok harta) dalam syirkah muwafadhah harus sama, yang kedua bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah, yang ketiga adalah bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
d)   Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-syarat syirkah mufawadhah.
Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Dan menurut Syafi’iyah berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal.
2.    Rukun dan Syarat Ji’alah
Rukun pengupahan (ju’alah) adalah sebagai berikut: ([9])
a)    Lafal (akad). Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak ditentukan waktunya. Jika mengerjakan jialah tanpa seizin orang yang menyuruh (punya barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.
Ada 2 orang yang berakad dalam jialah yaitu :
·      Ja'il yaitu orang yang mengadakan sayembara. Disyaratkan bagi ja'il itu orang yang mukallaf dalam arti baligh, berakal, dan cerdas
·      'Amil adalah orang yang melakukan sayembara. Tidak disyaratkan 'amil itu orang-orang tertentu (bebas).
b)   Orang yang menjanjikan memberikan upah. Dapat berupa orang yang kehilangan barang atau orang lain.
c)    Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta dalam sayembara tersebut).
d)   Upah harus jelas, telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan pekerjaan (menemukan barang)
Sedangkan syarat-syarat ji’alah adalah sebagai berikut:
a)    Pihak-pihak yang berji'alah wajib memiliki kecakapan bermu'amalah (ahliyyah al-tasharruf), yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak sedang dalam perwalian). Jadi ji'alah tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
b)   upah (ja’il) yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika upahnya tidak jelas, maka akad ji’alah batal adanya, karena ketidak pastian kompensasi. Seperti, barang siapa yang menemukan mobil saya yang hilang, maka ia berhak mendapatkan baju. Selain itu, upah yang diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman keras.
c)    Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktivitas yang mubah, bukan yang haramdan diperbolehkan secara syar’i. Tidak diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin, praktek sihir, atau praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap asset yang boleh dijadikan sebagai obyek transaksi dalam akad ji’alah
d)   Kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya (ma'lum), di samping tentunya harus halal.([10])
Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum,” Siapa yang memndapatkan barangku akan ku beri uang sekian,”. Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi berserikat antara keduanya.
C.       Macam-macam Jenis Syirkah Serta Penerapanya
Macam-macam syirkah antara lain:
1.    Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).
Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).
2.    Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk). Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151). 
3.    Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong). Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152). Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).
4.    Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154). Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154). Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154). Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).
5.    Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156). Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
D.      Pelaksanaan dan Pembatalan Ji’alah
1.    Pelaksanaan Jialah
Teknis pelaksanaan jialah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
a)    Ditentukan oleh orangnya.
Misalnya : si Budi dengan sendirinya mencari barang yang hilang.
b)   Secara umum, artinya orang yang diberi pekerjaan mencari barang bukan satu orang, tetapi bersifat umum yaitu siapa saja.
Misalnya : seseorang berkata “Siapa saja yang dapat mengembalikan barangku yang hilang maka akan aku beri upah sekian”.
2.    Pembatalan Jialah
Madzab Malikiyah menyatakan, akad ji’alah boleh dibatalkan ketika pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja (‘amil). Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alah boleh dibatalkan kapanpun, sebagaimana akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan diselesaikan secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya kontrak, maka hal itu tidak masalah, karena tujuan akad belum tercapai. Jika akad dibatalkan setelah dilaksanakannya pekerjaan, maka ’amil boleh mendapatkan upah sesuai yang dikerjakan.
Pembatalan jialah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan jialah atau orang yang mencari barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja. Tetapi, jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang telah dilakukan.([11])
Syirkah, dalam dunia perbankan aplikasinya  ialah  pada  SBIS (sertifikat Bank  Indonesia Syariah). Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)(“PBI 10/11/2008”).SBIS adalah adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (Pasal 1 angka 4 PBI 10/11/2008). SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ju’alah (Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan).  Sesuai dengan  FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 64/DSN-MUI/XII/2007  tentang SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH JU’ALAH ( SBIS JU’ALAH ) menetapkan bahwa Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah (SBIS Ju’alah) adalah SBIS yang menggunakan Akad Ju’alah, dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI no. 62/DSNMUI/XII/2007 tentang Akad Ju’alah. Dalam SBIS Ju’alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja’il (pemberi pekerjaan); Bank Syariah bertindak sebagai maj’ullah (penerima pekerjaan); dan objek/underlyingJu’alah (mahall al-‘aqd) adalah partisipasi Bank Syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.
E.       Hikmah Ji’alah
Hikmah Ji’alah antara lain sebagai berikut:
1.    Memacu prestasi dalam suatu bidang yang disayembarakan (dilombakan)
2.    Menumbuhkan sikap saling tolong menolong antar sesama manusia.
3.    Adanya penghargaan terhadap suatu prestasi dari pekerjaan yang dilaksanakan.


BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
Dari pengertian-pengertian diatas dapat di tarik kesimpulan, bahwa syirkah adalah persekutuan dalam urusan harta oleh dua orang atau lebih yang melakukan akad untuk urusan harta, yang modalnya bisa dibagi dua atau berdasarkan keputusan bersama dengan rukun dan syarat tertentu. Biasanya syirkah dilakukan di perusahaan, yang mana dari mereka ada yang mempunyai saham dan ada yang menjalankan saham.
Pengupahan (ju’alah) menurut bahasa ialah apa yang diberikan kepada seseorang karena sesuatu yang dikerjakannya sesuai dengan rukun dan syarat tertentu, sedangkan pengupahan (ju’alah) menurut Al-Jazairi (2005:525-526) menyebutkan hadiah atau pemberian seseorang dalam jumlah tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak diketahui.
Ji’alah juga dapat dilaksanakan dan juga pula dapat dibatalkan sesuai dengan keadaan tertentu yang telah dipaparkan. Hikmah Ji’alah antara lain; Memacu prestasi dalam suatu bidang yang disayembarakan (dilombakan), menumbuhkan sikap saling tolong menolong antar sesama manusia, adanya penghargaan terhadap suatu prestasi dari pekerjaan yang dilaksanakan.
B.       Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan  atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca  memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini  dan penulisan makalah di kesempatan–kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly, H. Abdul Rahman, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010
Hendi, Suhendi. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,  2007
Nawawi, H. Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Galia Indonesia, 2012.




[1] Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, juz 4 (Dar Al-Fikr, Damaskus) cet. III, 1989, hlm. 792.
[2] Muhammad Nawawi Al Jawi, 2002. Qut Al-Habib Al-Ghorib Tasyih Ala Ibni Al-Qosyim, (Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah Jakarta). Hlm., 297
[3] Suhendi Hendi, 2007. Fiqih Muamalah, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta), hlm. 127.
[4] Abu Dawud, 2003. Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sajstani, Sunan Abu Dawud, Juz 3 (Dar Al-Fikr, Beirut), hlm., 256.
[5] Ibid., Fiqih Muamalah, hlm. 343
[6] H. Ismail Nawawi, 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Galia Indonesia, Bogor 20), hlm.188-189.
[7] http://www.perencana.info/2013/03/sistem-nisbah-bagi-hasil-bank-syariah.html, diakses pada 10 februari 2018, pada pukul 14.00 wib.
[8] Suhendi Hendi, 2007. Fiqih Muamalah, (PT RajaGrafindo Persada, Jakarta), hlm. 127.
[9] H. Abdul Rahman Ghazaly, 2010. Fiqh Muamalah (Kencana Prenada Media Grup, Jakarta), hlm., 141.
[10] H. Abdul Rahman Ghazaly, 2010. Fiqh Muamalah (Kencana Prenada Media Grup, Jakarta), hlm., 143
[11] Ibid, Fiqh Muamalah. Hlm., 143

Post a Comment for "Syirkah dan Ju'alah Fiqih Muammalah"