Syirkah dan Ju'alah Fiqih Muammalah
SYIRKAH DAN JU'ALAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam sebagai agama terakhir yang
telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi tentang segala aturan hukum
dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan umat-Nya menuju terbentuknya
komunitas manusia yang mampu melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah
dimuka planet bumi. Khalifatullah bukanlah suatu tugas ringan yang bisa dengan
sendirinya terlaksana tanpa adanya kreasi dan inovasi yang dinamis untuk
menggali semua potensi yang telah disediakan oleh Allah. Guna menggali untuk
memanfaatkan potensi alam secara maksimal inilah manusia kemudian perlu
mengadakan interaksi dengan sesamanya yang tidak mustahil terjadi kesenjangan
dan perbenturan kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu,
Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk berlaku tolong-menolong dengan
sesamanya.
Agama islam telah mengatur prilaku
para pengikutnya dalam segala hal, salah satunya yaitu tentang hubungan dengan
sesama manusia, segala hal tentang masalah tersebut telah dijelaskan dalam ilmu
fiqih mualamah. Dalam hubungan sesama manusia, kita pasti sudah mengetahui
bahwa terdapat akad syirkah dan ji’alah.
Dalam masyarakat Arab jahiliyah
sudah dikenak dengna adanya kerjasama dalam lapangan ekonomi, baik kerjasama
yang bersifat produktif maupun berbentuk kerjasama dalam pemilikan sesuatu
secara bersama oleh dua orang atau beberapa orang. Sebagian contoh untuk
jenis yang disebut terakhir ialah pemilikan sebuah rumah atau kebun oleh dua
orang atau lebih di mana milik masing-masing belum dipisah. Dengan demikian,
pemilikan atas benda tersebut masih dalam bentuk pemilikan antara pihak-pihak
yang ikut berkongsi di dalamnya.
Bagaimana kalau salah seorang dari
anggota itu ingin menjual haknya kepada pihak lain yang juga ikut dalam persekutuan
itu? Bolehkah salah seorang dari mereka menjual haknya yang belum dibagi itu
kepada pihak luar yang belum dibagi itu kepada pihak luar yang tidak termasuk
dalam perkongsian/syirkah tersebut?
Menurut ketentiuan agama,
pihak-pihak yang termasuk dalam persekutuan itu tidak boleh menjual haknya
kepada oaring luar secara sendiri-sendiri tanpa persetujuan para anggota
persekutuan. Sekiranya salah seorang menjual haknya kepada pihak yang tidak
berserikat dalam pamilikan itu, maka anggota yang lain dalam persekutuan
itu dapat meminta secara paksa kepada pihak pembeli supaya menjual
kembali harta itu kepadanya sesuai dengan jumlah harta yang dia beli. Hal
inilah yang dikenal dengan istilah syirkah.
Akad ji’alah identik dengan
sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat
diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia berhak mendapat hadiah
atau upah. Secara harfiah ji’alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang
lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk
dijalankan.
Dari paparan di atas, penulis merasa
tertarik untuk lebih dalam lagi membahas tentang apa itu sebenarnya akad syikah
dan ji’alah yang telah ada sejak zaman dahulu ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian syirkah dan ji’alah?
2.
Apa
saja rukun serta syarat syirkah dan ji’alah?
3.
Apa
saja jenis-jenis syirkah serta penerapanya?
4.
Bagaimana
pelaksanaan dan pembatalan ji’alah?
5.
Apa
saja hikmah-hikmah ji’alah?
C.
Tujuan
Makalah
1.
Memahami
pengertian syirkah dan ji’alah.
2.
Untuk
mengetahui rukun serta syarat syirkah dan ji’alah.
3.
Untuk
mengetahui jenis-jenis syirkah dan penerapanya pada lembaga bisnis.
4.
Untuk
mengetahui bagaimana pelaksanaan dan pembatalan ji’alah.
5.
Untuk
mengetagui apa saja hikmah-hikmah ji’alah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Syirkah dan Ji’alah
1.
Pengertian
Syirkah
Syirkah ( شركة) dalam arti bahasa adalah:
الإختلا ط أي
خلت أحد الما لين با الاخر بحيث لا يمتزا ن عن بعضهم
Bercampur yakni bercampurnya salah
satu dari dua harta dengan yang lainnya, sehingga tidak dapat dibedakan antara keduanya.([1]) Menurut
istilah, yang dimaksud dengan syirkah para fuqaha berbeda pendapat sebagai
berikut:
a)
Menurut
Hanafiayah
الشركة هي عبا رة عن عقد بين المتشا ركين في رأس المال و الربح
Syirkah adalah sesuatu ungkapan
tentang akad (perjanjian) antara dua orang berserikat di dalam modal dan
keuntungan.
b)
Menurut
Malikiyah
الشركة هي اذن في التصرف لهما مع أنفسهما أي أن يأذن كل واحد من
الشريكين لصاحبه في أن يتصرف في مال لهما مع ابقاء حق التصرف لكل منهما
Syirkah adalah persetujuan untuk
melakukan tasarruf bagi keduanya beserta diri mereka, yakni setiap orang yang
berserikat memberikan persetujuan kepada teman serikatnya untuk melakukan
tasarruf terhadap harta keduanya di samping masih tetapnya hak tasarruf bagi
masing-masing peserta.
c)
Menurut
Syafi’iyah
ثبوت الحق علي
جهة الشيوع في شيئ واحد لاثنين فأكثر
Syirkah adalah suatu ungkapan
tentang tetapnya hak atas suatu barang bagi dua orang atau lebih secara
bersama-sama.)[2](
d)
Menurut
Hanabilah
الشركة هي الاجتماع في استحقاق أو تصرف
Syirkah adalah
berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atau hak atau tasarruf.
Setelah diketahui definisi-definisi
di atas, maka yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang
atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.([3])
Adapun
yang dijadikan dasar hukum syirkah oleh para ulama adalah:
· Surah An-Nisa ayat 12
فان كانوا أكثر
من ذلك فهم شركاء في الثلث
Tetapi jika saudara-saudara seibu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.
· Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah dari Nabi
Saw.
عن أبي هريرة
رفعه قال : ان الله يقول : أنا ثا لث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه فاذا خانه
خرجت من بينهما
Dari Abu Hurairah, ia merafa’kannya
kepada nabi, beliau bersabda: Saya adalah pihak ketiga dari dua orang yang
berserikat, selagi salah satunya tidak mengkhianati temannya. Apabila ia
berkhianat kepada temannya, maka saya akan keluar dari antara keduanya. (HR.
Abu Dawud)[4]
Dari Al-Qur’an dan Sunnah
tersebut, jelaslah bahwa syirkah merupakan akad yang dibolehkan oleh syara’.[5]
2.
Pengertian
Al-Jialah
Pengupahan (ju’alah) menurut bahasa
ialah apa yang diberikan kepada seseorang karena sesuatu yang dikerjakannya,
sedangkan pengupahan (ju’alah) menurut syariah, Al-Jazairi (2005:525-526)
menyebutkan hadiah atau pemberian seseorang dalam jumlah tertentu kepada orang
yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak diketahui. Misalnya,
seseorang bisa berkata,” Barangsiapa membangun tembok ini untukku, ia berhak
mendapatkan uang sekian”. Maka, orang yang membangun tembok untuknya berhak
atas hadiah(upah) yang ia sediakan, banyak atau sedikit. Istilah lain dalam
pengupahan adalah ijarah. Penggunaan kedua istilah ini sesuai dengan teks dan
konteksnya.([6])
Ji’alah adalah meminta agar
mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan. Misalnya,
seseorang kehilangan kuda, dia berkata,”Barang siapa yang mendapatkan kudaku
dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian”.
Al-ju’l ialah pemberian upah
(hadiah) atas suatu manfaat yang diduga bakal terwujud, seperti mempersyaratkan
kesembuhan dari seorang dokter, atau kepandaian dari seorang guru, atau
pencari/penemu hamba yang lari.
Kata jialah secara bahasa artinya
mengupah. Secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq :
عقد على منفعة
يظن حصوله
Artinya : “sebuah akad untuk
mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh”.
Istilah jialah dalam kehidupan
sehari-hari diartikan oleh fukaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang
dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau
menggali sumur sampai memancarkan air atau seseorang menang dalam sebuah
kompetisi. Jadi, jialah bukan hanya terbatas pada barang yang hilang namun
dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.
Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam
ji'alah berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang
tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan atau perbuatan tertentu.([7])
B.
Rukun
Serta Syarat Syirkah dan Ju’alah
1.
Rukun
dan Syarat Syirkah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun
syirkah ada dua, yaitu ijab dan kabul sebab ijab kabul (akad) yang menentukan
adanya syirkah.([8])
Sedangkan menurut Syafi’iyyah, rukun syirkah ada lima (5) Yaitu dua
orang yang melakukan akad, dua buah barang yang dicampurkan, dan Shighot
(bentuk akad). Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah
dibagi menjadi empat:
a)
Sesuatu
yang bertalian dengan sebuah bentuk syirkah baik dengan harta maupun dengan
yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu yang pertama yang
berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai
perwakilan, yang kedua adalah yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian
keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
b)
Sesuatu
yang bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal ini terdapat dua perkara
yang harus dipenuhi yaitu yang pertama, bahwa modal yang dijadikan objek akad
syirkah adalah dari alat pembayaran, seperti rupiah, yang kedua adalah yang
dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya
sama maupun bebeda.
c)
Sesuatu
yang bertalian dengan syarikat mufawadhah, bahwa dalam mufawadhah disyaratkan
yang pertama yaitu modal (pokok harta) dalam syirkah muwafadhah harus sama,
yang kedua bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah, yang ketiga adalah bagi
yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umum, yakni pada semua macam jual
beli atau perdagangan.
d)
Adapun
syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-syarat syirkah
mufawadhah.
Menurut Malikiyah
syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka,
baligh, dan pintar (rusyd). Dan menurut Syafi’iyah berpendapat bahwa
syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang
lainnya batal.
2.
Rukun
dan Syarat Ji’alah
Rukun pengupahan (ju’alah) adalah sebagai berikut: ([9])
a)
Lafal
(akad). Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak
ditentukan waktunya. Jika mengerjakan jialah tanpa seizin orang yang menyuruh
(punya barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu
ditemukan.
Ada 2 orang
yang berakad dalam jialah yaitu :
· Ja'il yaitu orang yang mengadakan sayembara. Disyaratkan bagi ja'il
itu orang yang mukallaf dalam arti baligh, berakal, dan cerdas
· 'Amil adalah orang yang melakukan sayembara. Tidak disyaratkan
'amil itu orang-orang tertentu (bebas).
b)
Orang
yang menjanjikan memberikan upah. Dapat berupa orang yang kehilangan barang
atau orang lain.
c)
Pekerjaan
(sesuatu yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta dalam sayembara
tersebut).
d)
Upah
harus jelas, telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan
pekerjaan (menemukan barang)
Sedangkan
syarat-syarat ji’alah adalah sebagai berikut:
a)
Pihak-pihak
yang berji'alah wajib memiliki kecakapan bermu'amalah (ahliyyah al-tasharruf),
yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak sedang dalam perwalian). Jadi ji'alah
tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
b)
upah
(ja’il) yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika upahnya
tidak jelas, maka akad ji’alah batal adanya, karena ketidak pastian kompensasi.
Seperti, barang siapa yang menemukan mobil saya yang hilang, maka ia berhak
mendapatkan baju. Selain itu, upah yang diperjanjikan itu bukanlah barang
haram, seperti minuman keras.
c)
Aktivitas
yang akan diberi kompensasi wajib aktivitas yang mubah, bukan yang haramdan
diperbolehkan secara syar’i. Tidak diperbolehkan menyewa tenaga paranormal
untuk mengeluarkan jin, praktek sihir, atau praktek haram lainnya. Kaidahnya
adalah, setiap asset yang boleh dijadikan sebagai obyek transaksi dalam akad
ji’alah
d)
Kompensasi
(materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya (ma'lum), di
samping tentunya harus halal.([10])
Kalau orang
yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum,” Siapa yang memndapatkan
barangku akan ku beri uang sekian,”. Kemudian dua orang bekerja mencari barang
itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang
dijanjikan tadi berserikat antara keduanya.
C.
Macam-macam
Jenis Syirkah Serta Penerapanya
Macam-macam
syirkah antara lain:
1.
Syirkah
Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).
Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).
Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).
2.
Syirkah
‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara
dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja
(‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa
kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik
(seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya)
(An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri,
1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan,
bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika
memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A
mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk). Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk). Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
3.
Syirkah
Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi
kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl)
(An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan
ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836).
Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar
Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib)
dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong). Ada dua bentuk lain
sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B)
sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C)
memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan
konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya
memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini
masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152). Hukum syirkah
mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi
Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam
syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola
(mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun
demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika
ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola
modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam
mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak
menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya
(An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian,
jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar
syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî
asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).
4.
Syirkah
Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah
‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah,
2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau
keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah
antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja
(‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal
(mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam
ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku
ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154). Bentuk
kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah
dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang
kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani,
1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B
ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya
C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang
yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi
dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah
wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan
prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh
masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki,
bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk
dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154). Hukum kedua bentuk syirkah di
atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah
mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah
dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam
(An-Nabhani, 1990: 154). Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa
ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan
finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka
dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang
menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi
janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh
seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki
kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan
tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).
5.
Syirkah
Mufâwadhah
Syirkah
mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua
jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh)
(An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam
pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah
yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis
syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156). Keuntungan yang diperoleh dibagi
sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis
syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa
syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah),
atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
D.
Pelaksanaan
dan Pembatalan Ji’alah
1.
Pelaksanaan
Jialah
Teknis
pelaksanaan jialah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
a)
Ditentukan
oleh orangnya.
Misalnya : si Budi dengan sendirinya
mencari barang yang hilang.
b)
Secara
umum, artinya orang yang diberi pekerjaan mencari barang bukan satu orang,
tetapi bersifat umum yaitu siapa saja.
Misalnya : seseorang berkata “Siapa saja yang dapat mengembalikan
barangku yang hilang maka akan aku beri upah sekian”.
2.
Pembatalan
Jialah
Madzab Malikiyah menyatakan, akad
ji’alah boleh dibatalkan ketika pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja
(‘amil). Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alah boleh
dibatalkan kapanpun, sebagaimana akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah,
sebelum pekerjaan diselesaikan secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal,
atau di tengah berlangsungnya kontrak, maka hal itu tidak masalah, karena
tujuan akad belum tercapai. Jika akad dibatalkan setelah dilaksanakannya
pekerjaan, maka ’amil boleh mendapatkan upah sesuai yang dikerjakan.
Pembatalan jialah dapat dilakukan
oleh kedua belah pihak (orang yang kehilangan barang dengan orang yang
dijanjikan jialah atau orang yang mencari barang) sebelum bekerja. Jika
pembatalan datang dari orang yang bekerja mencari barang, maka ia tidak
mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja. Tetapi, jika yang membatalkannya
itu pihak yang menjanjikan upah maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak
pekerjaan yang telah dilakukan.([11])
Syirkah, dalam dunia perbankan aplikasinya ialah pada SBIS
(sertifikat Bank Indonesia Syariah). Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS)(“PBI 10/11/2008”).SBIS adalah adalah surat berharga
berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia (Pasal 1 angka 4 PBI 10/11/2008). SBIS yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ju’alah (Akad ju’alah adalah
janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l)
atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu
pekerjaan). Sesuai dengan FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 64/DSN-MUI/XII/2007 tentang SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH
JU’ALAH ( SBIS JU’ALAH ) menetapkan bahwa Sertifikat Bank Indonesia Syariah
Ju’alah (SBIS Ju’alah) adalah SBIS yang menggunakan Akad Ju’alah, dengan
memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI no. 62/DSNMUI/XII/2007 tentang Akad
Ju’alah. Dalam SBIS Ju’alah, Bank Indonesia bertindak
sebagai ja’il (pemberi pekerjaan); Bank Syariah bertindak
sebagai maj’ullah (penerima pekerjaan); dan
objek/underlyingJu’alah (mahall al-‘aqd) adalah partisipasi Bank Syariah
untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter melalui
penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia
dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.
E.
Hikmah
Ji’alah
Hikmah
Ji’alah antara lain sebagai berikut:
1.
Memacu
prestasi dalam suatu bidang yang disayembarakan (dilombakan)
2.
Menumbuhkan
sikap saling tolong menolong antar sesama manusia.
3.
Adanya
penghargaan terhadap suatu prestasi dari pekerjaan yang dilaksanakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari
pengertian-pengertian diatas dapat di tarik kesimpulan, bahwa syirkah adalah
persekutuan dalam urusan harta oleh dua orang atau lebih yang melakukan akad
untuk urusan harta, yang modalnya bisa dibagi dua atau berdasarkan keputusan
bersama dengan rukun dan syarat tertentu. Biasanya syirkah dilakukan di
perusahaan, yang mana dari mereka ada yang mempunyai saham dan ada yang
menjalankan saham.
Pengupahan (ju’alah) menurut bahasa ialah apa yang diberikan
kepada seseorang karena sesuatu yang dikerjakannya sesuai dengan rukun dan
syarat tertentu, sedangkan pengupahan (ju’alah) menurut Al-Jazairi
(2005:525-526) menyebutkan hadiah atau pemberian seseorang dalam jumlah
tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak
diketahui.
Ji’alah
juga dapat dilaksanakan dan juga pula dapat dibatalkan sesuai dengan keadaan
tertentu yang telah dipaparkan. Hikmah
Ji’alah antara lain; Memacu prestasi dalam suatu bidang yang disayembarakan
(dilombakan), menumbuhkan sikap saling tolong menolong antar sesama manusia, adanya
penghargaan terhadap suatu prestasi dari pekerjaan yang dilaksanakan.
B.
Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai
materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak
kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di
kesempatan–kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis
pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ghazaly, H. Abdul Rahman, Fiqh
Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010
Hendi, Suhendi. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007
Nawawi, H. Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan
Kontemporer, Bogor: Galia Indonesia, 2012.
[1]
Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, juz 4 (Dar Al-Fikr,
Damaskus) cet. III, 1989, hlm. 792.
[2]
Muhammad Nawawi Al Jawi, 2002. Qut Al-Habib Al-Ghorib Tasyih Ala Ibni
Al-Qosyim, (Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah Jakarta). Hlm., 297
[3]
Suhendi Hendi, 2007. Fiqih Muamalah, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta),
hlm. 127.
[4]
Abu Dawud, 2003. Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sajstani, Sunan Abu Dawud,
Juz 3 (Dar Al-Fikr, Beirut), hlm., 256.
[5]
Ibid., Fiqih Muamalah, hlm. 343
[6] H. Ismail Nawawi, 2012. Fikih
Muamalah Klasik dan Kontemporer (Galia Indonesia, Bogor 20), hlm.188-189.
[7]
http://www.perencana.info/2013/03/sistem-nisbah-bagi-hasil-bank-syariah.html, diakses pada 10 februari 2018, pada pukul 14.00 wib.
[8]
Suhendi Hendi, 2007. Fiqih Muamalah, (PT RajaGrafindo Persada, Jakarta),
hlm. 127.
[9]
H. Abdul Rahman Ghazaly, 2010. Fiqh
Muamalah (Kencana Prenada Media Grup, Jakarta), hlm., 141.
[10]
H. Abdul Rahman Ghazaly, 2010. Fiqh
Muamalah (Kencana Prenada Media Grup, Jakarta), hlm., 143
Post a Comment for "Syirkah dan Ju'alah Fiqih Muammalah"
komentar di sini
Post a Comment