Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ, ITTIBA' | PERBANDINGAN MADZHAB


Agama Islam yang mempunyai sumber hukum yaitu Alquran dan hadis. Selain sumber hukum yang pertama ini terdapat sumber hukum setelahnya yaitu ijma', qiyas, istihsan, istihsab, dan lain sebagainya. Dalam Alquran dan hadis di dalamnya sudah dijelaskan tentang aturan-aturan dalam agama Islam. 

Alquran menjelaskan tentang hukum-hukum atau aturan dalam Islam tidak semuanya dijelaskan secara jelas maknanya. Makan dalam hal ini perlu adanya penalaran dan penjelasan atau penafsiran sehingga mudah dipahami. Kadang kala juga terdapat hukum tidak dapat ditemukan dari apa yang tersurat dalam firman Alloh secara jelas namun dapt dipahami melalui pemahaman akan maksud sebuah lafal. Oleh karena itu, hukum tersebut "tersirat" dibalik lafal tersebut. 

Hukum yang tersirat tetapi maknanya terdapat dibalik lafal yang tersurat ini tidak hanya satu tempat saja dalam Alquran. Contoh diantaranya tentang hukum memukul orang tua tidak terdapat dalam Alquran, namun dapat dipahami melalui pemahaman akan larangan berkata kasar kepada orang tua. Alasannya bahwa berkata kasar saja sudah dilarang apalagi memukul. Tetapi kata memukul sendiri tidak tersurat jelas dalam Al quran. 

Meskipun demikian harus yakin bahwa jawabannya dalam Alquran. Sehingga untuk mendapatkan pemahaman dan penjelasan tentang ayat tersebut perlu daya nalar yang maksimal. Sehingga para sahabat terdahulu sepakat melakukan penafsiran ataupun mencari makna tersurat dari tersirat. Sehingga dalam makalah ini akan menjelaskan tentang ijtihad, taklid, talfiq dan Ittiba' yang merupakan daya nalar dari penjelasan yang tersurat dalam Alquran. Selain itu juga akan menjelaskan mengapa harus bermadzhab.


Ijtihad 


Kata Ijtihad menurut etimologi diambil dari Bahasa arab (جَهَدَ) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.[1] Sedangkan secara istilah, definisi ijtihad adalah sebagai berikut: 

1. Imam Al-syaukani dalam kitabnya Irsyad al-fuhuli memberikan definisi tentang ijtihad itu mengenai cara menemukan hukum syar'i yaitu melalui istinbath yang berarti memungut atau mengeluarkan sesuatu dari kandungan lafal. Sehingga ijtihad dapat diartikan sebagai usaha memahami lafaz dan mengeluarkan hukum dari lafaz tersebut. 

2. Ibnu Subki memberikan definisi tentang ijtihad adalah bahwa orang yang mengerahkan kemampuan berijtihad itu bukanlah sembarang orang tetapi orang yang telahemcapai derajat tertentu yang disebut faqih . Jadi usaha yang dilakukan oleh orang awam yang tidak mempunyai pengetahuan tentang fiqh bukan ijtihad. 

3. Saifudin al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam, menyempurnakan dua definisi diatas sebagai berikut: 

a. Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal. 
b. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah memcapai derajat tertentu di bidang keilmuan yang disebut faqih. 
c. Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara'.[2] 

Baca Juga :

Hukum Berijtihad 


Yang dimaksud dengan hukum berijtihad disini ialah hukum dari orang yang melakukan ijtihad, baik dari tujuan hukum taklifi, maupun hukum wadh'i. Karena yang berwenang melakukan ijtihad itu adalah orang yang telah mencapai tingkat faqih, maka mahkum 'alaihnya (objek atau orang yang dikenai oleh hukum) disini adalah orang yang faqih. Hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari dua segi yaitu: 

a. Pertama, dari segi hasil ijtihadnya, itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri. Seperti menentukan arah kiblat pada waktu akan melakukan shalat. 
b. Kedua, dari swgi bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh umat dan pengikutnya. 

Jadi, secara umum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara' dalam hal-hal yang syara' sendiri tidak memetapkannya secara jelas dan pasti. 
Perkembangan Ijtihad 

Membicarakan awal berlakunya ijtihad tentu kita akan menengok ke masa paling dini dari keberadaan hukum islam, yaitu semenjak masa hidupnya Nabi. Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah ijtihad telah berlaku pada masa Nabi. Hal ini karena secara umum diketahui bahwa ijtihad itu pada waktu tidak menemukan petunjuk Alloh secara jelas tentang suatu masalah dan tidak ditemukan pula petunjuk dari Nabi. Sedangkan selama Nabi masih hidup tidak mungkin petunjuk secara nash tidak ada lagi, karena ayat Al-quran masih turun dan Nabi maaih dapat menyampaikan petunjuknya. Tetapi di sisi lain, dalam banyak kasus banyak ditemulan bahwa Nabi sendiri dalam menghadapi suatu masalah sering menggunalan daya nalarnyaswbagaimama yang lazim dilakukan dalam menghadapi masalah hukum.

Ijtihad Pada Masa Nabi 

Pembicaraan mengenai ijtihad pada masa nabi mengandung beberapa pembahasan, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh nabi dan ijtihad yang dilakukan sahabat pada masa nabi. Kemudian, kedua bahasan ini ditinjau dari segi kedudukanya sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri. Para ulama pernah berbeda pendapat tentang apakah nabi pernah melakukan ijtihad, dan apakah nabi boleh berijtihad. 
Jumhur ulama berpendapat bahwa nabi boleh dan mungkin melakukan ijtihad. Mereka berarguen berdasarkan dalil al-quran, Sunnah dan akal atau logika. Diantara dali al-quran yang mereka kemukakan adalah firman Allah dalam surat al- hasyr ayat 2: 

فَاعْتَبِرُوْا يَاأُوْلِى الْلاَبْصَارِ 

“Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. 

Para ulama memahami ayat ini sebagai dalil melakukan ijtihad. Perintah melakukan ijtihad pada ayat ini berlaku secara umum yang berlaku untuk umat juga untuk nabi. 
Golongan ulama kalam al- Asy’ariyah dan kebanyakan muktazilah, Abu Ali al jubbai dan anaknya hasyim berpendapat bahwa tidak boleh dan tidak pernah nabi SAW. Melakukan ijtihad dalam bidang hukum syara’. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut: 

1) Firman Allah pada surat an-najm ayat 3-4 

وَمَايَنْطِقُ الْهَوَى إِنْ هُوَإِلاَّوَحْيٌ يُوْحَى 

“dan tiada ia bicara dan hawa nafsunya, tetapi tidak lain dari wahyu yang diwahyukan”. 

Ayat ini menunjukan bahwa segala yang diucapkan nabi itu adalah wahyu yang diwahyukan Allah dan bukan hasil ijtihadnya.[3]

2) Ijtihad itu adalah karya akal dan kemunginan sekali untuk salah, sedangkan nabi adalah orang yang ma’sum (terpelihara atau terhidar dari kesalahan). 

Diantara pendapat ulama yang mengatakan boleh dan yang mengatakan tidak boleh nabi berijtihad, ada segolongan ulama yang mengambil jalan tengah. Mereka berpendapat bahwa nabi dapat dan pernah melakukan ijtihd dalam urusan keduniaan terutama dalam masalah perang, tetapi tidak berijtihad dalam urusan syara'. Alasanya, karena hal itu sering terjadi. 

Ijtihad pada masa Tabi'in 

Periode ini terjadi kurang lebih pada abad II H. setelah menjadi masa shahabat, menjadi masa Tabi'in. Generasi tabi'in ini terdiri atas murid-murid para shahabat. Mereka mendasarkan mereka kepada para para shahabat. Seperti besar, para tabi'in melakukan ijtihad dengan dua cara: 

1. Mereka mengutamakan seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan terkadang mengutamakan seorang tabi'in dari pendapat seorang shahabat. Hal itu jika pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan Al-Qur'an dan Sunnah. 

2. Mereka sendiri berijtihad. Oleh Ahmad Hasan, yang merupakan badan hukum Islam yang sesungguhnya dimulai pada periode tabi'in ini. 

Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin meningkat. Para sejarawan bahkan memanggil dengan periode ijtihad dan masa keemasan fiqih Islam. Setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan dukungan pada perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan. Di Mekah muncul tokoh seperti Atha bin Abi Rabah, di Madinah muncul Sa'id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, di Bashrah muncul Muslim bin Yasar, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain. catatan kaki tarbiyah 

Ijtihad Pada Masa Imam Mazhab 

Ijtihad mengalami masa perkembangan yang paling pesat pada abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah. Masa itu dikenal dengan periode pembukuan sunah serta fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid terkemuka yang kemudian dikenal sebagai imam-imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali). 

a. Imam Hanafi 

Imam Hanafi atau Imam Abu Hanifah dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, kaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad. 

Yang menjadi pedoman Ijtihad dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut. 

b. Imam Hanbali 

Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits dan atsar dari pada menggunakan ra’yu (ijtihad). Beliau lebih menyukai berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furu’iyah daripada menggunakan Qiyas. 

c. Imam Syafi'i 

Dalam berijtihad menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma’ tidak juga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi ‘i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara’. 

d. Imam Malik 

Dasar Ijtihad Imam Malik adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, ‘Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki). Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’, dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari’ah, Istihsan, ‘Urf; dan Istishab. Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.catatan kaki sartika 

Taqlid 

Kata taklid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”, yuqallidu’, “taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya. Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah : 

قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ لاَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ . 

“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan perkataannya itu.” 

Selain definisi tersebut, masih banyak lagi definisi yang diberikan oleh para ulama, yang kesemuanya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas. Dari semua itu dapat di simpulkan bahwa, taqlid adalah menerima atau mengambil perkataan orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur'an Hadis, Ijma' dan Qiyas[4]. 

1. Hukum Taqlid 

para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu: 

a) Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunah, taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada pendapat seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat orang itu salah. 
b) Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang 
bersangkutan selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. 
c) Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan hujjah, yaitu Rasulullah saw. 

Pendapat Para Ulama Mengenai Taqlid 

Muhammad Rasyid Ridha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat Islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang yang diianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut. 
Ittiba'

Kata Ittibba' berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi'il Ittaba'a, Yattbi'u Ittiba'an, yang artinya adalah mengikut atau menurut. Ittiba' yang dimaksud di sini adalah: 

قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ . 

“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.” 

Di samping ada juga yang memberi definisi : 

قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ بِدَلِيْلٍ رَاجِحٍ . 

“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.

Jika digabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba' adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat dengan jalan membanding.[5]

1. Hukum Ittiba'

Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba' bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi’”. 

Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah, sebagaimana firmannya: 

اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف) : ۳

Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (QS. Al-A’raf:3). 

Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya. Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi: 

(عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِى ـ (رواه ابو داود

Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku. (HR.Abu Daud). 

2. Pendapat Ulama Mengenai Ittiba’ 

Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba' diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti. Ittiba' dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu : 

a. Ittiba' kepada Allah dan Rasul-Nya, 
b. Ittiba kepada selain Allah dan Rasul-Nya. 
c.Ittiba' kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A'raf [7]: 3 

اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . الأعرف : ۳

“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. 

Mengenai ittiba' kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba' kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba' kepada ulama yang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya: Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. 

Yang dimaksud dengan orang-orang yang punya ilmu pengetahuan (ahl al-dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan-penyimpanagn dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Alquran. Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba' kepadanya. 

Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi' tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berititba'. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan. 

Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama diragukan kebenarannya, maka muttabi' yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan kepada beberapa orang mujtahid ayau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah lai mengikuti ulama. 

Talfiq 

Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai dan lain sebagainya. Adapun “Talfiq” yang dimaksudkan dalam pembahasan ilmu ushul fiqh adalah: 

اَلْعَمَلُ بِحُكْمِ مُؤَلَّفٍ بَيْنَ مَذْهَبَيْنِ أَوْ أَكْثَر 

“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih.” 

Maksudnya adalah, seperti seseorang mengikuti pendapat Syafi'iy dalam masalah iddah wanita yang ditalak, karena balasannya lebih kuat dari mazhab lain umpamanya. Sedang dalam hal tidak adanya wali mujbir dalam perkawinan, ia mengikut pendapat hanafi, karena merasa alasannya lebih kuat. Yang demikian dinamakan Talfiq dalam masalah yang berlainan.[6]

Di samping itu, juga termasuk dalam ketegori talfiq, seseorang ber-talfiq dalam satu masalah, seperti dalam masalah wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafy. Tapi dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena mengikuti mazhab Maliki misalnya. 

Hukum Talfiq 

Para ulama mutaqaddimin tidak membuat larangan terhadap talfiq, atau seseorang bertalfiq, bahkan pada banyak tempat mereka menganjurkan untuk meneliti fatwa-fatwa mereka.dan juga mengatakan bahwa tidaklah halal memfatwakanfatwa merekabila tidak diketahui alasan-alasannya. Nereka juga memfatwakan supaya melemparkan jauh-jauh fatwa mereka bila ternyata bertentangan dengan Nash. 

Anjuran atau larangan di atas dapat dipahami bahwa, semua itu menghendaki agar semua orang muslim supaya menjauhi diri dari “taqlid”, dan dengan sendirinya menghendaki supaya melakukan ijtihad, atau sekurang-kurangnya ber-ittba’, hal yang demiikian kemungkinan besar akan membawa kepada talfiq. 

Setelah dilakukan penelaahan atau penelitian memang diperbolehkan talfiq adalah dalam perselisihan para ulama, atau lebih jelasnya adalah para fuqaha muta’akhirin, adapun mereka yang fanatik pada mazhab, berfatwa bahwa para qadhi berhak menghukum (yakni hukum ta’zir) terhadap orang yang berpindah mazhab. 

Bila kita lakukan perbandingan tentang hal tersebut, maka pendapat muta’akhirin yang terkuat adalah pendapat yang membolehkan talfiq atau ber-talfiq. Sedang perbedaan pendapat antara mereka adalah sebagai berikut: 

a) Madzhab Syafi’iy tidak membenarkan seseorang berpindah mazhab, baik secara keseluruhan masalah, yakni dalam masalah berlainan, maupun dalam satu bidang masalah saja. 

b) Madzhab hanafy membolehkan talfiq dengan syarat bahwa, masalah yang di talfiqkan itu bukan dalam satu bidang masalah atau qadiah. Sebagai contoh misalnya, berwudhu menurut mazhab syafi’i, sedang pembatalannya menurut mazhab Hanafy. Atau menyapu muka daloam berwudhu menurut mazhab Syafi’iy, sedang mengusap rambut dalam hal berwudhu juga menurut mazhab Maliki. 
Sebab seseorang harus bermadzhab 

Kita harus bermadzhab karena dengan kita bermadzhab akan memudahkan kita dalam mendekatkan diri kepada Allah dan bermu’amalah dengan manusia. Selain itu bermadzhab merupakan sarana untuk mempelajari syari’at Islam yang disimpulkan dari dalil Al-Qur’an dan Sunnah secara terstruktur dan sistematis. Oleh karena itu, manakala suatu pendapat madzhab jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka kita wajib meninggalkannya. Karena kita hanya diperintahkan untuk mengikuti Allah dan Rasul-Nya bukan mengikuti madzhab siapa pun. 

Jadi, kita diharuskan untuk mengikuti madzhab yang pendapatnya lebih mendekati kepada kebenaran bukan taklid terhadap satu madzhab saja dan tidak mau mengambil pendapat yang lain. Karena setiap madzhab memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga kita mengambil pendapat mereka yang lebih mendekati kebenaran. Al Qur’an jauh- jauh hari telah menjawab, pertanyaan ini. 

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ . الأنبياء [21]: 7

Artinya: “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 7) 

Sebenarnya, madzhab yang boleh diikuti tidak terbatas pada empat saja. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyid Alawi bin Ahmad as-Seggaf dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah:”Sebenarnya yang boleh diikuti itu tidak hanya terbatas pada empat madzhab saja. Bahkan masih banyak madzhab ulama (selain madzhab empat) yang boleh diikuti, seperti madzhab Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Ishaq bin Rahawaih, Daud azh-Zhahiri dan al-Auza’i [Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah). 

Namun mengapa yang diakui serta diamalkan oleh golongan kami, yaitu “Ahlussunnah wal-jamaah” hanya empat madzhab saja? Sebenarnya, yang menjadi salah satu faktor adalah tidak lepas dari murid beliau-beliau yang kreatif, yang membukukan pendapat-pendapat imam mereka sehingga semua pendapat imam tersebut dapat terkodifikasi dengan baik, akhirnya validitas dari pendapat-pendapat tersebut tidak diragukan lagi. Selain pendapat Sayyid ‘Alawi bin Ahmad as-Seggaf dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah diatas, Ulama sebelumnya juga telah membahas tentang perlu-nya, bermadzhab, yaitu Syeh Muhammad Amin Alkurdy Annaqsyabandy, dalam kitab beliau Tanwiru Al Qulub mengatakan; 

وَمَنْ لَمْ يُقَلِّدُ وَاحِدًا مِنْهُمْ، وَقَالَ أَنَا أَعْمَلُ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مُدَعِّيًا فَهْمَ الْأَحْكَامِ مِنْهُمَا فَلَا يُسَلِّمُ لَهُ، بَلْ هُوَ مُخْطِئٌ، ضَالٌّ مُضِلٌّ سِيَّمَا فِي هَذَا الزَّمَانِ، اَلَّذِيْ عَمَّ فِيْهِ الْفُسُقُ وَكَثُرَتْ الدَّعْوَى الْبَاطِلَةَ لِأَنَّهُ اسْتَظَهَرَ عَلَى أَئِمَّةِ الدِّيْنِ وَهُوَ دُوْنَهُمْ فِي الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ وَالْعَدَالَةِ وَاْلإِطْلَاعِ. 

Artinya: "Dan barangsiapa yang tidak mengikuti salah satu dari mereka (Imam madzhab) dan berkata "saya beramal berdasarkan alQuran dan hadits", dan mengaku telah memahami hukum-hukum alquran dan hadits maka orang tersebut tidak dapat diterima, bahkan termasuk orang yang bersalah, sesat dan menyesatkan terutama pada masa sekarang ini dimana kefasikan merajalela dan banyak tersebar dakwah-dakwah yang salah, karena ia ingin mengungguli para pemimpin agama padahal ia di bawah mereka dalam ilmu, amal, keadilan dan analisa". [Tanwiir Al Qulub 74-75]


        [1] Amir syarif, ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 237.
        [2]Amir syarifudin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana, 2000), hlm. 227.
        [3] Ibid, hlm. 246.
        [4] Amir syarifudin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana, 2000), hlm. 230.
        [5] Ibid, hlm. 232.
        [6] A. Basiq Djalil, “Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua” vol. 8No. 2, juli-desember2015.1.

Post a Comment for "IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ, ITTIBA' | PERBANDINGAN MADZHAB"