Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadist Tentang Islam, Iman, dan Ihsan Serta Hari Kiamat


HAKIKAT manusia diciptakan oleh Allah SWT adalah semata-mata untuk ta’abbudi yaitu penghambaan yang penuh dengan cara beribadah hanya karena Allah SWT. Beribadah tanpa ilmu tiada guna dan akan sia-sia. Ada tiga komponen yang saling berkaitan satu sama lain dan sangat urgen untuk dijaga dan diamalkan oleh seorang hamba. Tiga komponen dasar yang menjadikan sempurnanya predikat hamba disisi tuhannya. Tiga komponen tersebut adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Seseorang dikatakan beriman jika mereka meyakini dan membenarkan adanya Allah ta’ala tuhan yang maha Esa, adanya Malaikat Allah, adanya Rasul, Kitab-kitab samawi, hari Kiamat serta adanya Qadla’ dan Qadar. Sedangkan seseorang dikatakan muslim ketika ia melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan agama dan dikatakan muhsin ketika seseorang dapat merasakan manisnya beribadah serta selalu merasa diawasi oleh Allah SWT, pada ujungnya segala yang diperbuat lillahita’ala hanya karena-Nya. Maka dari itu, mengingat betapa pentingnya tiga komponen tersebut, makalah ini disusun untuk menjelaskan hadist tentang iman, islam, ihsan dan hari kiamat.

A. Hadist Tentang Iman, Islam, Ihsan, dan Hari Kiamat

Berikut adalah hadist tentang iman, islam, dan hari kiamat:

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ :

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ:

يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ،

قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ .وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟

قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ .

[رواه مسلم]

Dari Umar radhiyallahu `anhu juga dia berkata: Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada lututnya (Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam) seraya berkata, “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?”, Maka bersabdalah Rasulullah Sallallahu`alaihi wa sallam: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu“, kemudian dia berkata, “anda benar“. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang Iman“. Lalu beliau bersabda, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasulrasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“, kemudia dia berkata, “anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan“. Lalu beliau bersabda, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakanakan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”. Kemudian dia berkata, “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya". Dia berkata,“Beritahukan aku tentang tanda-tandanya“, beliau bersabda, “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin lagi penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya“, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam) bertanya,“ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui“. Beliau bersabda,“Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian“. (Riwayat Muslim).[1]

B. Takhrij Hadits

Hadits ini Shohih, secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 8, dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (I/27,28,51,52), Abu Dawud (no. 4695), at Tirmidzi (no.2610), an Nasaa-i (VIII/97), Ibnu Majah (no. 63), Ibnu Mandah dalam al Iman (1,14), ath Thoyalisi (no. 21), Ibnu Hibban (168,173), al Aajurri dalam asy Syari’ah (II/no.205, 206, 207, 208), Abu Ya’la (242), al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.2), al Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat (no.363-367), ‘Abdullah bin Ahmad dalam as Sunnah (no.901,908), al Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (190), Ibnu Khuzaimah (no.2504) dari sahabat Ibnu ‘Umar dari bapaknya ‘Umar bin Khaththab.[2]

Hadits ini mempunyai syawahid (penguat) dari lima orang sahabat. Mereka disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Baari (I/115-116), yaitu:

a) Abu Dzar al Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i).
b) Ibnu ‘Umar (HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim).
c) Anas (HR Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad).
d) Jarir bin ‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah).
e) Ibnu ‘Abbas dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan)

C. Kedudukan Hadits

Materi hadits ke-2 ini sangat penting sehingga sebagian ulama menyebutnya sebagai “Induk sunnah”, karena seluruh sunnah berpulang kepada hadits ini. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Hadits ini mencakup penjelasan seluruh amal ibadah, baik yang zhahir maupun yang bathin. Diantaranya adalah ikatan iman, pekerjaan anggota badan, keikhlasan dan menjaga diri dari perusak-perusak amal. Bahkan ilmu-ilmu syari’at semuanya kembali kepada hadits ini dan merupakan cabangnya”

Imam An-Nawawi berkata: “Ketahuilah, bahwa hadits ini menghimpun berbagai macam ilmu, pengetahuan, adab dan kelemah-lembutan. Bahkan hadits ini merupakan pokoknya Islam sebagaimana yang telah kami riwayatkan dari Al-Qadhi ‘Iyadh”

Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata “Hadits ini seakan menjadi induk bagi sunnah, sebagaimana Al-Fatihah dinamakan Ummul Qur’an karena ia mencakup seluruh nilai-nilai yang ada di dalam Al-Qur’an”. Imam Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini merupakan hadits yang agung mencakup seluruh penjelasan agama. Karenanya, Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda di akhir hadits: ‘Sesungguhnya ia adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan tentang agama kalian,’ setelah menjelaskan kedudukan Islam, kedudukan Iman, dan kedudukan Ihsan. Dan menjadikan semua itu agama”.

D. Riwayat Perawi

Perawi hadist diatas yaitu Abdulloh ibn Umar dengan nama lengkap: Abu ‘Abdurrohman ‘Abdulloh ibn Umar al Kahttab al Quraisyi al Adawy. Beliau merupakan, seorang sahabat Rosululloh yang terkemuka dalam lapangan ilmu dan amal.

‘Abdulloh ibn Umar dilahirkan di Makkah pada tahun 10 H/680 M dan wafat di Makkah pada 73 H/693M. Beliau berhijrah ke Madinah beserta ayahnya ketika berusia 13 tahun. Beliau adalah saudara kandung dari Hafshah, permaisuri Rosul. Abdillah dapat menyaksikan peperangan Khandak, Bai’atur Ridhwan, dan peperangan-peperangan setelahnya. Beliau merupakan salah seorang dari empat ‘Abdillah

Abdulloh meriwayatkan sejumlah 2630 hadist. Sejumlah 1700 diantaranya disepakati oleh imam Bukhori dan Muslim. Bukhori sendiri meriwayatkan 81 dan Muslim sendiri meriwayatkan 31 hadist. Beliau menerima hadist dari nabi sendiri dan dari para sahabat, diantararanya ialah ayahnya sendiri Umar, Pamanya Zaid, saudara kandungnya Hafshah, Abu Bakar, Ustman, Ali, Bilal, ibn Masud, Abu Dzar dan Mu’adz.[3]

Hadist-hadistnya banyak diriwayatkan oleh sahabat lain dan tab’in. Di antaranya para sahabat ialah Jabir dan Ibnu Abbas, putra-putra beliau sendiri yaitu salim, ‘Abdulloh, Hamzah, Bilal, dan Zaid. Di antara Tabi’in ialah Nafi’, Sa’id ibn al Musaiyab, Alqomah ibn Waqqosh al Laitsy, Abu Abdurrohman al Qohry Masruq, Abdurrohman ibn Abi Laila, Mus’ab ibn Sa’ad ibn Abi Waqqosh dan Urwah ibn az Zubair. Di antara para Mawaly ialah ‘Abdulloh ibn Dinar al Adawy, Musa ibn ‘Uqbah, Atha’ ibn Abi Rabbah, Thoriq ibn ‘Amral Amawy, Mujahid ibn Ja’far, ibn Sirrin, Muhammad Abu Bakar al Bishry, Shafwan ibn Sulaiman dan az Zuhry.

Ibn al Bakar mengatakan, “ Ibn Umar menghafal semua yang didengar dari Rosul dan bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majlis-majlis Rosul tentang tutur dan perbuatan Rosul.” Dalam kalangan sahabat beliau dikeal sebagai orang yang sangat meneladani segala gerak-gerik Rosul.

E. Kandungan Hadist

Dari penjelasan tentang urgensi hadits ini, kita dapat mengambil faidah di antaranya :
1. Etika bertanya.

Seorang muslim akan menanyakan sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya. Dia tidak akan menanyakan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat. Bagi orang yang menghadiri sebuah majelis ilmu, lalu ia melihat orang-orang yang hadir disitu ingin mengetahui satu hal, dan ternyata masalah tersebut belum ada yang menanyakan, maka sepatutnya ia menanyakan, meskipun ia sudah mengetahuinya agar orang-orang yang hadir bisa mengambil manfaat dari jawaban yang diberikan.

Orang yang ditanya tentang suatu hal, dan ia tidak mengetahui jawabannya, hendaklah ia mengakui ketidaktahuannya, agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak ia ketahui.

2. Metode tanya-jawab.

Pendidikan modern pun mengakui, bahwa metode tanya-jawab merupakan metode pendidikan yang relatif berhasil, karena memberikan tambahan semangat pada diri pendengar untuk mengetahui jawaban yang diberikan. Metode ini sering dipergunakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendidik generasi sahabat Radhiyallahu ‘anhum.

3. Ahlus sunnah mengimani tentang adanya Malaikat.
Bahwasanya malaikat diciptakan dari cahaya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

Malaikat diciptakan dari cahaya, diciptakan jin dari api yang menyala-nyala, dan diciptakan Adam dari apa yang disifatkan kepada kalian. [HR Muslim, no. 2996, 60].

Malaikat mempunyai sayap, sebagaimana Allah berfirman di awal surat Faathir. Dan jumlah malaikat sangat banyak, tidak ada yang mengetahui kecuali hanya Allah. Ada hadits yang menyatakan, bahwa Baitul Ma’mur di langit yang ke tujuh dimasuki setiap hari oleh 70.000 malaikat. Bila mereka keluar tidak kembali lagi ke situ. [HR Bukhari, no.3207 dan Muslim, no. 259].

Malaikat mendapat tugas bermacam-macam dari Allah. Mereka adalah makhluk yang tidak pernah berbuat maksiat kepada Allah, dan mereka selalu bertasbih kepada Allah.

Sifat-sifat Malaikat Jibril, Dia adalah ar Ruh al Amin, sebagaimana firman Allah:

نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ

“Dia dibawa turun oleh ar Ruh al Amin (Jibril)”. [asy Syu’araa: 193]

Allah mensifatinya dengan sifat amanah dan suci sebagai rekomendasi yang agung dari Rabb Azza wa Jalla. Allah mensifatinya sebagai makhluk yang baik atau berakhlak mulia, memiliki keindahan bentuk, mempunyai kedudukan di sisi Allah. Dia adalah pemimpin para malaikat yang ditaati perintahnya di langit.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Malaikat Jibril dalam bentuk aslinya dua kali. Yang pertama pada tiga tahun setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, dan yang kedua pada malam Isra’ dan Mi’raj.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati Malaikat Jibril dengan kebesaran penciptaannya (bentuknya). Disebutkan, dari Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Jibril dengan bentuk aslinya. Dia memiliki enam ratus sayap. Setiap satu sayap darinya dapat menutup ufuk, lalu berjatuhan dari sayapnya macam-macam warna dari mutiara dan yaqut”.[4]

4. Ahlus Sunnah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul Nya.

Sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kitab-kitab Taurat, Injil, Zabur, Shuhuf Ibrahim dan Musa serta al Qur`an tersebut diturunkan oleh Allah dengan benar dan bukan makhluk.

Keistimewaan al Qur`an dari kitab-kitab lainnya:

a) Kita wajib mengimaninya secara rinci, membenarkan semua berita yang terdapat di dalamnya, melaksanakan perintahNya, menjauhkan laranganNya dan beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah.

b) Al Qur`an adalah mu’jizat yang abadi. Tidak ada seorang pun jin dan manusia yang mampu untuk membuat satu surat saja seperti al Qur’an [al Israa` : 88].

c) Allah menjamin untuk menjaga al Qur`an [al Hijr : 9].

d) Al Qur`an sebagai tolak ukur dari kitab-kitab sebelumnya. Dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dari al Qur`an.

e) Al Qur`an adalah kalamullah bukan makhluk, berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan kembali kepadaNya; dan bahwasanya Allah berbicara secara hakiki.

5. Iman kepada rasul-rasul Allah.

Ahlus Sunnah beriman kepada rasul-rasul yang diutus Allah kepada setiap kaumnya. Yang dimaksud rasul adalah, orang yang diberi wahyu untuk disampaikan kepada umat. Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh, dan yang terakhir Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap umat tidak pernah kosong dari nabi utusan Allah yang membawa syari’at khusus untuk kaumnya, atau dengan membawa syari’at sebelumnya yang diperbaharui.

Para rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai sedikit pun keistimewaan rububiyah maupun uluhiyah. Mereka juga tidak mengetahui perkara yang ghaib. Allah berfirman tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin para rasul dan paling tinggi derajatnya di sisi Allah.

قُل لَّا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. [al A’raaf : 188].

Iman kepada Rasul mengandung empat unsur :

a) Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah. Barangsiapa mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang, maka menurut pendapat seluruh ulama, ia dikatakan kafir, sebagaimana firman Allah dalam surat Asy Syu’araa’ ayat 105.

b) Mengimani nama-nama rasul yang sudah kita kenali, yang Allah sebutkan di dalam al Qur`an dan as Sunnah yang shahih. Jumlah nabi dan rasul sangat banyak. Menurut riwayat, jumlah nabi ada 124.000 dan jumlah rasul ada 315. Adapun yang terkenal adalah 25 rasul.[5]

Allah menyebutkan tentang para nabi dan rasul di dalam al Qur`an ada 25. Yaitu Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Syu’aib, Ayyub, Dzulkifli, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa dan Muhammad. Lihat surat al Imran ayat 33, Hud ayat 50, 61, 84, al Anbiya ayat 85, al An’aam ayat 83-86 dan al Fath ayat 29.
Adapun para rasul yang tidak diketahui namanya, maka wajib bagi kita mengimani secara global. Allah berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ مِنْهُم مَّن قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُم مَّن لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ

Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu, dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu… [al Mu’min : 78]

c) Membenarkan berita-berita mereka yang shahih riwayatnya.
d) Mengamalkan syari’at Rasul yang diutus kepada kita. Beliau adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus Allah kepada seluruh manusia dan penutup para nabi. Allah berfirman :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabb-mu, maka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya. [an Nisaa`: 65].

6. Iman kepada Yaumul Akhir (hari kiamat).

Yaitu mengimani yang dikabarkan atau disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang yang terjadi setelah kematian. Di antaranya: fitnah kubur, adzab kubur, nikmat kubur, dikumpulkannya manusia di Padang Mahsyar, ditegakkannya timbangan, dibukanya catatan-catatan amal, adanya hisab, al Haudh (telaga), shirath (jembatan), syafa’at, Surga dan Neraka. Firman Allah :

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ ۚ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. [Ibrahim : 27].

Allah berfirman tentang adanya adzab kubur :

النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا ۖ وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ

Kepada mereka dinampakkan Neraka pada pagi dan petang dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada Malaikat) : “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya kepada adzab yang sangat keras”. [al Mu’min : 46].

Allah menciptakan kejadian-kejadian saat Kiamat datang menjelang. Salah satunya, Allah menyuruh Malaikat Israfil meniup sangkakala, sebagaimana firman Nya:

وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن فِي الْأَرْضِ إِلَّا مَن شَاءَ اللَّهُ ۖ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَىٰ فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنظُرُونَ

“Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).” [az Zumar : 68].

Ruh-ruh ketika itu akan dikembalikan kepada jasadnya masing-masing. Maka bangkitlah manusia dari liang kuburnya untuk menghadap Allah, Rabb semesta alam. Mereka bangkit dengan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan tidak berkhitan. Matahari dekat dengan mereka dan peluh (keringat) bercucuran membasahi tubuh. Kemudian ditegakkan timbangan, dibukakan catatan-catatan amal, serta adanya hisab, sebagaimana firman Allah dalam surat al Mu’minun ayat 102-104.

Kita mengimani al Haudh (telaga) bagi Rasulullah. Airnya lebih putih daripada susu, lebih manis dari madu, lebih harum dari minyak kesturi, panjang dan lebarnya sejauh perjalanan satu bulan, bejana-bejananya seindah dan sebanyak bintang di langit. Maka kaum Mukminin dari umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan meminum dari haudh tersebut. Siapa yang minum seteguk air darinya, maka dia tidak akan merasa haus lagi sesudah itu.[6]

Kita mengimani ash shirath (jembatan). Yaitu jembatan yang direntangkan di atas Neraka Jahanam yang akan dilewati umat manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka. Yang pertama kali melewatinya seperti kilat, kemudian seperti angin, seperti burung terbang, seperti orang berlari, seperti orang berjalan, dan ada pula yang merangkak. Mereka dibawa oleh amal perbuatannya. Ketika itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas jembatan dan berdoa : “Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah”. Pada kedua sisi jembatan itu ada kait-kait yang digantungkan, diperintahkan untuk mengait siapa yang telah diperintahkan kepadanya. Sehingga ada yang terkoyak tetapi selamat, dan ada pula yang tercampakkan ke dalam api Neraka.[7] Umat yang pertama kali masuk Surga adalah umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pada hari Kiamat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai tiga syafa’at: :

a) Syafa’at pertama, yaitu syafa’at `uzhma (yang agung). Diberikan kepada umat manusia di Mauqif. Yaitu saat manusia dikumpulkan Allah di Padang Mahsyar, untuk diberi keputusan.[8]

b) Syafa’at kedua, yaitu syafa’at yang diberikan kepada para ahli surga untuk memasuki Surga.
(Kedua syafa’at di atas khusus bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).

c) Syafa’at ketiga, yaitu syafa’at yang diberikan kepada orang-orang yang berhak masuk Neraka. Syafa’at ini bersifat umum, yaitu bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi, serta para shiddiqin dan yang lain dari kalangan kaum Muslimin.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberikan syafa’at kepada orang yang semestinya masuk Neraka untuk tidak masuk Neraka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi syafa’at kepada orang yang sudah masuk Neraka untuk dikeluarkan dari api Neraka, serta syafa’at Rasul untuk pelaku dosa besar dari umat Islam, seperti sabda Rasulullah dari sahabat Anas bin Malik: “Syafa’atku akan diberikan bagi pelaku dosa besar dari umatku”. (HR Tirmidzi, no. 2435; Hakim I/69. Tirmidzi berkata, bahwa hadits ini hasan shahih). Dan Allah mengeluarkan dari api Neraka beberapa kaum, tanpa melalui syafa’at, akan tetapi berkat karunia dan rahmat Nya.[9]

Sesungguhnya Surga dan Neraka sudah diciptakan Allah. Keduanya adalah makhluk yang kekal abadi. Surga adalah balasan bagi wali-wali Allah, sedangkan Neraka sebagai tempat hukuman bagi orang yang bermaksiat kepada Nya, kecuali yang mendapatkan rahmatNya. Adapun orang-orang kafir, mereka tetap kekal di dalam Neraka selama-lamanya.

Tanda-Tanda Hari Kiamat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini menyebutkan dua tanda. Di antara tanda-tanda telah dekatnya hari Kiamat, yaitu:

1) Apabila budak wanita melahirkan tuannya. 

Para ulama memiliki beberapa penafsiran terhadap pengertian ini, antara lain:
  • Ada yang berpendapat, banyaknya anak yang durhaka. Yaitu seorang anak memperlakukan ibunya sebagaimana perlakuan tuan terhadap budak wanitanya. Pendapat inilah yang dipegang oleh Ibnu Hajar.
  • Ibnu Rajab berkata,”Ini sebagai isyarat atas pembukaan negeri (kaum Mukminin mengalahkan negeri-negeri kafir) dan banyaknya perbudakan, sehingga banyak budak wanita yang dijadikan gundik dan anak mereka pun menjadi banyak. Maka jadilah budak wanita sebagai budak pemiliknya, dan anak tuannya dari budak wanita itu berkedudukan seperti tuannya. Karena anak majikan berkedudukan sebagai majikan”.
  • Sebagian ulama mengambil pendapat yang mengatakan bahwa ibu si anak itu dapat merdeka dengan kematian tuannya. Seolah-olah, anaknyalah yang memerdekakannya, maka pembebasan itu dinisbatkan kepada anak tersebut. Dengan hal tersebut, jadilah si anak seolah-olah sebagai majikannya.
2) Sehingga engkau melihat orang yang fakir, telanjang badan dan kaki sebagai penggembala kambing berlomba-lomba untuk meninggikan bangunan.

Maksudnya, orang-orang dari kalangan rakyat jelata (orang bodoh) menjadi para pemimpin. Harta mereka pun banyak. Mereka mendirikan bangunan yang tinggi sebagai kebanggaan dan kesombongan tehadap hamba-hamba Allah.

7. Iman kepada Qadh dan Qadar.

Qadha adalah hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala yang azali (telah ada) sebelum diciptakannya sesuatu atau ketiadaannya. Qadar adalah penciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segala sesuatu dengan suatu cara, dan di waktu yang khusus. Dan terkadang keduanya dimutlakkan kepada yang lainnya.

Bahwasanya ilmu Allah mendahului apa yang diperbuat oleh para hamba Nya, berupa kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan sebelum mereka diciptakan. Dan Allah telah mencatat semuanya itu di dalam Lauhil Mahfuzh.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah menulis takdir seluruh makhluk Nya lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ

“Dan ‘ArsyNya berada di atas air.”

Seluruh amal perbuatan mereka pasti sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan berjalan menurut apa yang telah diketahui oleh ilmu Nya. Firqah Qadariyyah yang ekstrim telah menafikan hal ini (ilmu Allah). Di antara tokohnya, yaitu : Ma’bad al Juhani, Amr bin Ubaid dan selain mereka. Mereka telah menyelisihi pendapat Salaful Ummah, sehingga mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.

Imam Ahmad, asy Syafi’i dan selain mereka berpendapat tentang kafirnya orang-orang yang mengingkari ilmu Allah yang qadim (terdahulu).

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menciptakan seluruh perbuatan hamba Nya berupa berkurangnya iman, ketaatan dan kemaksiatan, dan menutupkannya di antara mereka dengan kehendaknya.”

Iman kepada qadha dan qadar ada empat tingkatan:

a) Al Ilmu.Yaitu, mengimani bahwa Allah dengan ilmu Nya, yang merupakan sifat Nya yang azali dan abadi, telah mengetahui segala amal perbuatan makhluk Nya, serta mengetahui segala ihwal mereka, seperti taat, maksiat, rizki, ajal, bahagia, dan celaka.

b) Al Kitaabah. Bahwa Allah telah mencatat di Lauh Mahfuz seluruh takdir makhluk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أوّلُ مَا خَلَقَ اللهُ القَلَمَ قَالَ لَهُ اُكْتُبْ قَالَ:مَا أَكْتُبُ ؟ قَالَ : اُكْتُبْ مَاهُوَ كَائِنٌ إِلَى يَومِ القِيامَةِ

Pertama kali yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya: “Tulislah,” (maka) ia menjawab,”Apa yang harus aku tulis?” Allah berfirman,”Tulislah semua yang terjadi sampai hari Kiamat!” [HR Ibnu Ashim di dalam as Sunnah, no. 103; Ahmad V/317][10]

Sebagaimana juga Allah berfirman:

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. [al Hajj : 70].

c) Al Masyi’ah. Yaitu, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Sebaliknya, apa yang tidak dikehendaki Nya, tidak akan terjadi. Semua gerak-gerik yang terjadi di langit dan di bumi hanyalah dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam kerajaanNya apa yang tidak diinginkan Nya.

d) Al Khalq. Yaitu, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, baik yang ada maupun yang belum ada. Karena itu, tidak ada satupun makhluk di bumi atau di langit, melainkan Allah-lah yang menciptakannya, tiada pencipta selain Dia, tiada Ilah melainkan hanya Allah saja. Sebagaimana firman Nya:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. [az Zumar : 62].

Dengan demikian, hendaknya bagi orang yang membahas nash-nash tentang qadha dan qadar agar memperhatikan hal-hal berikut, sehingga selamat dari penyimpangan terhadap rukun ini:

a. Membedakan antara sifat Allah dengan sifat makhluk Nya.
Pembedaan antara ilmu Allah Azza wa Jalla dan ilmu manusia haruslah dilakukan. Sifat ini harus ditetapkan untuk Allah dengan bentuk yang paling sempurna. Seluruh sifat Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah sempurna, tidak dicampuri kelemahan, kekurangan, tidak juga keterpaksaan. Sebagaimana yang menimpa pada kekuasaan dan kehendak makhluk, yakni kehendak makhluk memiliki keterbatasan, serba kurang, dan dikuasai.

b. Mensucikan Allah Azza wa Jalla dari berbagai sifat yang kurang.
Wajib bagi para hamba untuk mensucikan Rabb dari kesia-siaan, kejahilan, kezhaliman dan selainnya dari berbagai kekurangan.

c. Penelitian atau pembahasan yang menyeluruh terhadap nash-nash al Kitab dan as Sunnah, serta keluar dengan satu hukum setelahnya. Hal ini sudah seharusnya dilakukan pada setiap permasalahan agama, mengumpulkan nash-nash tentang suatu permasalahan, kemudian bersungguh-sungguh dalam memahaminya, sesudah itu baru kemudian mengeluarkan satu hukum.

d. Allah Azza wa Jalla tidak ditanya tentang apa yang dilakukan Nya.
Sebagaiman firman Nya :
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. [al Anbiyaa` : 23]

e. Hendaklah memiliki pengetahuan, bahwasanya seorang hamba diberi beban untuk melakukan berbagai sebab. Adapun hasilnya berada di tangan Allah.

Tidak semua orang yang melakukan suatu sebab tertentu dan dilakukan oleh orang lain yang semisalnya, keduanya memperoleh rizki yang sama. Terkadang seorang manusia berusaha sungguh-sungguh, tetapi tidak mendapatkan rizki yang banyak. Sedangkan yang lain berusaha dengan kesungguhan yang minim, akan tetapi ia memperoleh harta yang banyak.

Bersama kesungguhan mereka, mereka juga memperoleh akibat yang buruk. Maka berbagai hasil berada di tangan Allah. Dia-lah yang mempersiapkan balasan dalam berbagai usaha sebagai bentuk keadilan dan kebijaksanaan Nya.

8. Definisi ihsan.

Ihsan adalah ikhlas dan penuh perhatian. Artinya, sepenuhnya ikhlas untuk beribadah hanya kepada Allah dengan penuh perhatian, sehingga seolah-olah engkau melihat Nya. Jika engkau tidak mampu seperti itu, maka ingatlah bahwa Allah senantiasa melihatmu dan mengetahui apapun yang ada pada dirimu.

Sabda Rasulullah ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan kata ihsan “engkau menyembah Allah seolah-olah melihat Nya dan seterusnya” mengisyaratkan, bahwa seorang hamba menyembah Allah dalam keadaan seperti itu. Berarti, ia merasakan kedekatan Allah dan ia berada di depan Allah seolah-olah melihat Nya. Hal ini menimbulkan rasa takut, segan dan mengagungkan Allah, seperti dalam riwayat Abu Hurairah: “Hendaknya engkau takut kepada Allah seolah-olah engkau melihat Nya”.[11]

Ibadah seperti ini juga menghasilkan ketulusan dalam beribadah, dan berusaha keras untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.

Tentang sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam “Jika engkau tidak dapat melihat Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”, ada yang mengatakan, sabda tersebut merupakan penjelasanan bagi sabda sebelumnya. Bahwa jika seorang hamba diperintahkan merasa diawasi Allah dalam ibadah dan merasakan kedekatan Allah dengan hamba Nya hingga hamba tersebut seolah-olah melihat Nya, maka bisa jadi hal tersebut baginya. Untuk itu, hamba tersebut menggunakan imannya, bahwa Allah melihat dirinya, mengetahui rahasianya, mengetahui yang diperlihatkannya, batinnya, luarnya, dan tidak ada sedikit pun dari dirinya yang tidak diketahui Nya. Jika hamba tersebut menempatkan diri dengan posisi seperti ini, maka mudah bagi hamba tersebut untuk beranjak ke posisi kedua, yaitu terus-menerus melihat kedekatan Allah dengan hamba Nya dan kebersamaan Allah dengan hamba Nya, hingga hamba tersebut seperti melihat Nya.
_____________________
[1] Abdulloh Haidhir, Terjemah Arba’in Nawawi (ar Riyadh , 2010), hlm. 9-11
[2] Yazid Jawas, https://almanhaj.or.id/2972-syarah-hadits-jibril-tentang-islam-iman-dan-ihsan-2.html (diakses pada: 30/09/18, pukul 14.00 WIB).
[3] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 283-284
[4] HR Ahmad (I/412, 460). Dishahihkan oleh Ahmad Muhammad Syakir di dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad, no. 3915 dan 4396.
[5] Ahmad (V/178,179), Ibnu Hibban (no. 94) dan al Hakim (II/262). Lihat Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khiril ‘Ibaad (I/43-44) dan Silsilah al Ahaadits ash Shahiihah, no. 2668.
[6] Lihat hadits tentang haudh Nabi n di hadits riwayat Bukhari dalam kitab ar Riqaq, Bab 53; Muslim, Kitabul Fadhail, bab Itsbat Hudli Nabiyyina n wa Sifatihi, Juz 4/173-1800.
[7] HR Muslim, no.183 dan Bukhari (7439) dari Abu Sa’id al Khudri. Lihat Aqidah al Wasithiyah dan Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam.
[8] HR Bukhari (4712) dan Muslim (194).
[9] HR Muslim, no. 2849, 38 dari sahabat Anas bin Malik.
[10] Dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah. Dia rawi lemah karena jelek hafalannya. Akan tetapi ada jalan lain yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (5/317); Ibnu Abi Syaiban (14/144); Ibnu Abi ‘Ashim no.107; al Ajurri fi asy Syari’ah, hlm. 177 dari Walid bin ‘Ubadah dari ayahnya. Sanad hadits ini hasan. (Lihat at Tanbihaat al Lathifah).
[11] Sirojuddin Abbas. I’tiqod Ahlussunah Wal Jama’ah (Pustaka Tarbiyah Baru 2016), hlm. 75-77

Post a Comment for "Hadist Tentang Islam, Iman, dan Ihsan Serta Hari Kiamat"