Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menjaga Pandangan dan Kehormatan


Menjaga pandangan dan kehormatan sangatlah perlu bagi setiap manusia yang diberikan hati dan akal, supaya dapat menjaga pandangan dan kehormatanya. Kali ini akan dibahas dalam makalah berikut ini.

A. Latar Belakang Masalah 

Menundukkan pandangan atau memelihara pandangan merupakan akhlak seorang mukmin dan mukminah yang sejati.Tujuan Islam ialah membangun masyarakat Islam yang bersih sesudah terbangun rumah tangga yang bersih.Setelah memahami perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, seorang Islam itu hanya mempunyai dua pilihan.Pertama, dia mengamalkan semua perintah-perintah dalam kehidupannya dan mensucikan dirinya, keluarganya dan masyarakat dari keruntuhan akhlak.Pilihan kedua, seorang Islam yang mempunyai beberapa kelemahan, akan melanggar satu atau dua perintah perintah Allah bahkan lebih. Sepatutnva dia hendaklah sadar bahwa dia telah melakukan dosa dan menghindarkan diri dari salah faham dengan menganggap perbuatannya sebagai satu perbuatan yang baik. 

Manusia laki-laki dan perempuan diberi hawa nafsu atau syahwat supayamereka tidak punah dan musnah dari muka bumi ini. Laki-laki memerlukan perempuan dan perempuan memerlukan laki-laki.Tetapi manusia diberi akal, dan akal sendiri menghendaki hubungan-hubungan yang teratur dan bersih.Syahwat adalah keperluan hidup. Tetapi jika syahwat tidak terkendali maka kebobrokan dan kekotoranlah yang akan timbul.Kekotoran dan kebobrokan yang amat sukar diselesaikan. 

Maka dari itu kepada laki-laki dan perempuan yang beriman, diperingatkan agar menjaga penglihatannya.Menahan penglihatan mata itu adalah menjamin kebersihandan ketentraman jiwa. 

B. Rumusan Masalah 

1. Bagaimana penjelasan Alquran berkaitan dengan menjaga pandangan dan kehormatan ? 
2. Mana sajakah batasan aurat laki-laki dan perempuan ? 
3. Bagaimanakah adab berpakaian sesuai dengan syariat islam? 

C. Tujuan 

1. Untuk mengetahui penjelasan Alquran berkaitan dengan menjaga pandangan dan kehormatan. 
2. Untuk mengetahui batasan aurat laki-laki dan perempuan. 
3. Untuk mengetahui adab berpakaian sesuai dengan syariat islam. 

Simak baik-baik pembahasanya sebagai berikut ini...


A. Penjelasan Ayat-Ayat Alquran Tentang Menjaga Pandangan dan Kehormatan 

Mata adalah sahabat sekaligus penuntun bagi hati. Mata mentransfer berita-berita yang dilihatnya ke hati sehingga membuat pikiran berkelana karenanya. Karena melihat secara bebas bisa menjadi faktor timbulnya keinginan dalam hati, maka syariat yang mulia ini telah memerintahkan kepada kita untuk menundukkan pandangan kita terhadap sesuatu yang dikhawatirkan menimbulkan akibat yang buruk. 

Berikut penjelasan tentang menjaga pandangan dan kehormatan dalam beberapa ayat Alquran: 

1. Q.S An Nur ayat 30-31 

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُو ٣٠وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٣١ 

Artinya: "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, "Agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung."[1]

a. Pengertian secara umum 

Dalam ayat-ayat terahulu, Allah telah melarang memasuki rumah, kecuali setelah meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Hal ini diamksudkan untuk menghindarkan terjadinya desas-desus buruk dan untuk tidak melihat-lihat aurat serta rahasia orang lain. Selanjutnya dalam ayat-ayat ini Allah menyuruh rasul-Nya agar memberi petunjuk kepada kaum mu’minin untuk menahan pandangannya dari melihat hal-hal yang diharamkan untuk dilihat karena alasan tersebut. Sebab barangkali hal itu dapat menjerumuskan ke dalam berbagai kerusakan dan merusak berbagai kesucian yang dilarang oleh agama.[2]

b. Penafsiran surat an Nur ayat 30 

Ayat ini merupakan perintah dari Allah Swt. ditujukan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka menahan pandangan matanya terhadap hal-hal yang diharamkan bagi mereka. Oleh karena itu janganlah mereka melihat kecuali kepada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat, dan hendaklah mereka menahan pandangannya dari wanita-wanita yang bukanmuhrim. Untuk itu apabila pandangan mata mereka melihat sesuatu yang diharamkan tanpa sengaja, hendaklah ia memalingkan pandangan matanya dengan segera darinya. 

Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui hadis Yunus ibnu Ubaid, dari Amr ibnu Sa'id, dari Abu Zar'ah ibnu Amr ibnu Jarir, dari kakeknya Jarir ibnu Abdullah Al-Bajali r.a. yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang pandangan spontan, maka beliau memerintahkan kepadanya agar menahan pandangan matanya, yakni memalingkannya ke arah lain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Hasyim, dari Yunus ibnu Ubaid dengan sanad yang sama. Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui jalur yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis hasan sahih. [3]

قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُوسَى الفَزَاري، حَدَّثَنَا شَريك، عَنْ أَبِي رَبِيعَةَ الْإِيَادِيِّ، عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدة، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَلِيٍّ: "يَا عَلِيُّ، لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النظرةَ، فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَ لَكَ الْآخِرَةُ" 

"Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isma'il ibnu Musa Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Abu Rabi'ah Al-Ayadi, dari Abdullah ibnu Buraidah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada sahabat Ali r.a.: Hai Ali, janganlah kamu mengikutkan suatu pandangan ke pandangan berikutnya, karena sesungguhnya engkau hanya diperbolehkan menatap pandangan yang pertama, sedangkan pandangan yang berikutnya tidak boleh lagi bagi kamu."[4]

Di dalam kitab sahih disebutkan melalui Abu Sa'id, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

"إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا، نَتَحَدَّثُ فِيهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنْ أَبَيْتُمْ، فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حقَّه". قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "غَضُّ الْبَصَرِ، وكَفُّ الْأَذَى، وَرَدُّ السَّلَامِ، وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ" 

"Janganlah kalian duduk-duduk di (pinggir-pinggir) jalan.” Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kami perlu tempat untuk ngobrol-ngobrol.” Rasulullah Saw. bersabda, "Jika kalian tetap ingin duduk-duduk di jalanan, maka berikanlah jalan akan haknya.” Mereka bertanya, "Apakah hak jalan itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw. bersabda, "Menahan pandangan mata, menahan diri untuk tidak mengganggu (orang yang lewat), menjawab salam, memerintahkan kepada kebajikan, dan mencegah kemungkaran.”[5]

قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الْبَغَوِيُّ: حَدَّثَنَا طَالُوتُ بْنُ عَبَّادٍ، حَدَّثَنَا فَضْلُ بْنُ جُبَيْرٍ: سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "اكْفُلُوا لِي بِستّ أَكْفُلْ لَكُمْ بِالْجَنَّةِ: إِذَا حدَّث أَحَدُكُمْ فَلَا يَكْذِبْ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ فَلَا يَخُن، وَإِذَا وَعَد فَلَا يُخْلِفْ. وغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ، وكُفُّوا أَيْدِيَكُمْ، وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ" 

"Abul Qasim Al-Bagawi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Talut ibnu Abbad, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Husain; ia pernah mendengar Abu Umamah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Berikanlah jaminan enam perkara untukku, niscaya aku jamin surga untuk kalian; apabila seseorang di antara kalian berbicara, janganlah berdusta; apabila dipercaya, janganlah berkhianat; apabila berjanji, jangan menyalahi; tahanlah pandangan mata kalian, cegahlah tangan kalian, dan peliharalah kemaluan kalian."[6]

Mengingat pandangan mata merupakan sumber bagi rusaknya kalbu, seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf, bahwa pandangan mata itu adalah panah beracun yang menembus hati. Maka Allah memerintahkan agar kemaluan dipelihara, sebagaimana Dia memerintahkan agar pandangan mata dipelihara, sebab pandangan mata merupakan jendelanya hati. 

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَتَّابٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، عَنْ عُبَيْد اللَّهِ بْنِ زَحْر، عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَزِيدَ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَنْظُرُ إِلَى مَحَاسِنِ امْرَأَةٍ [أَوَّلَ مَرّة] ثُمَّ يَغُضّ بَصَرَهُ، إِلَّا أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ عِبَادَةً يَجِدُ حَلَاوَتَهَا" 

"Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Attab, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub, dari Ubaidillah ibnu Zuhar, dari Ali ibnu Zaid, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tiada seorang lelaki muslim pun yang melihat kecantikan seorang wanita, kemudian ia menundukkan pandangan matanya, melainkan Allah akan menggantinya dengan (pahala) suatu ibadah yang ia rasakan kemanisannya (kenikmatannya)."[7]

c. Penafsiran surat an Nur ayat 31 

Ayat ini merupakan perintah dari Allah Swt., ditujukan kepada kaum wanita mukmin, sebagai pembelaan Allah buat suami-suami mereka yang terdiri dari hamba-hamba-Nya yang beriman, serta untuk membedakan wanita-wanita yang beriman dari ciri khas wanita Jahiliah dan perbuatan wanita-wanita musyrik.Disebutkan bahwa latar belakang turunnya ayat ini seperti yang disebutkan oleh Muqatil ibnu Hayyan, telah sampai kepada kami bahwa Jabir ibnu Abdullah Al-Ansari pernah menceritakan bahwa Asma binti Marsad mempunyai warung di perkampungan Bani Harisah, maka kaum wanita mondar-mandir memasuki warungnya tanpa memakai kain sarung sehingga perhiasan gelang kaki mereka kelihatan dan dada mereka serta rambut depan mereka kelihatan. Maka berkatalah Asma, "Alangkah buruknya pakaian ini." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An-Nur: 31), hingga akhir ayat.[8]

Maka janganlah mereka memandang aurat laki-laki dan aurat wanita yang mereka tidak dihalalkan memandangnya (antara pusar dan lutut). Demikian pula jika mereka memandang selain itu dengan dorongan syahwat, maka hukumnya haram, tetapi jika tanpa dorongan syahwat, maka tidak haram. Namun demikian, menahan pandangan terhadap laki-laki asing adalah lebih baik bagi mereka. Hal ini sesuai dengan riwayat Abu Daud dan Tirmizi dari Ummu Salamah : 

اَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُوْنَةَ اِذْ اَقْبَلَ ابْنُ اُمِّ مَكْتُوْمِ فَدَخَلَ بَعْدَ مَا اُمِرْنَا بِالحِجَابِ فَقَا لَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِحْتَجِبَا مِنْهُ , فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ اَلَيْسَ هُوَ اَعْمَى لاَ يُبْسِرُنَا وَلاَيَعْرِفُوْنَا ؟ فَقَا لَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَوْعُمْييَاوَيْنِ اَنْتُمَا ؟ اَوْلَسْتُمَا تُبْسِرَانِهِ 

Ketika dia (Ummu Salamah) dan Maimunah berada dekat Rasulullah saw., tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum datang dan menghadap beliau. Hal itu setelah menyuruh kami ( Ummu Salamah dan Maimunah) berhijab, Rasulullah saw bertitah, “Berhijablah darinya.” Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah dia seorang yang buta, tidak dapat melihat dan tidak mengenal kami ?” Rasulullah saw menjawab, “Apakah kalian buta ? Bukankah kalian dapat melihatnya ?”[9]

Hendaklah mereka tidak menampakkan sedikit pun dari perhiasannya kepada lelaki asing, kecuali apa yang biasa tampak dan tidak mungkin disembunyikan seperti cincin, celak mata dan lipstik. Maka, dalam hal ini mereka tidak akan mendapat siksaan. Lain halnya jika mereka menampakkan perhiasan yang yang harus disembunyikan seperti gelang tangan, glang kaki, kalung, mahkota, selempang dan anting-anting, karena semua perhiasan ini terletakpada bagian tubuh (hasta, betis, leher, kepala, dada dan telinga) yang tidak halal untuk dipandang, kecuali oleh orang-orang yang dikecualikan. 

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنّ 

Hendaklah mereka mengulurkan kudungnya kedada bagian atas di bawah leher, agar dengan demikian mereka dapat menutup rambut, leher, dan dadanya, sehingga tidak sedikit pun dari padanya yang terlihat. 

Sering wanita menutupkan sebagian kudungnya ke kepala dan sebagian lain diulurkannya ke punggung, sehingga tampak pangkal leher dan sebagian dadanya, seperti telah menjadi adat orang jahiliyah. Maka mereka dilarang berbuat demikian. 

وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ 

Katakanlah kepada wanita-wanit mu’minat : hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan yang tersembunyi ini, kecuali kepada suami mereka, karena sesungguhnya para suamilah yang dituju dengan prhiasan itu dan para istri diperintahkannya mengenakannya untuk kepentingan mereka, sehingga mereka berhak memukul mereeka jika para istri tidak mengenakannya, sebagaimana berhak melihat seluruh tubuhnya ; atau kepada bapak istri, atau bapak suami (mertua), atau putra mereka, atau putra suami, atau saudara perempuan mereka, atau putra saudara laki-laki, atau putra saudara perempuan, karena seringnya bergaul bersama mereka dan jarang terjadi fitnah (godaan) diantara mereka, juga karena tabiat yang sehat enggan untuk berbuat buruk terhadap kerabat, disamping mereka dibutuhkan untuk menjadi teman didalam perjalanan diwaktu naik maupun turun. Atau para wanita khusus didalam pergaulan dan pengabdian. 

Atau budak budak perempuan yang mereka miliki. Adapun budak laki-laki, ulama’ berselisih paham tentang mereka. Segolongan berpendapat, budak laki-laki yang dimiliki seseorang wanita adalah mahrom baginya, maka budak itu boleh masuk menghadapnya jika memang dia orang yyang menjaga kehormatannya, juga boleh melihat tubuh wanita itu, kecuali bagian antara pusar dengan lutut, sebagaimana halnya para mahrom. Pendapat ini diriwayatkan dari Aisyah dan Ummu Salamah. Diriwayatkan, bahwa ketika Aisyah menyisir rambutnya, budaknya yang laki-laki melihatnya. Segolongan lain berpendapat, budak laki-laki adalah ajnabi. Ini pendapat Ibnu Mas’ud, Hasan dan Ibnu Sirim. Karena itu mereka mengatakan, budak laki-laki tidak boleh melihat rambut nyonyanya. 

Atau para pembantu laki-laki yang sudah tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, yaitu orang-orang yang mengikuti suatu kaum untuk mendpat kelebihan makanan mereka semata, tidak mempunyai tujuan lain selain itu tidak pula mempunyai kebutuhan terhadap wanita baik karena mereka sudah berusia lanjut hingga syahwatnya hilang, maupun karena mereka dikebiri. 

Atau anak-anak yang belum baligh belum mempunyai syahwat dan belum mampu untuk mengguli wanita. 

Setelah melarang menampakan tempat perhiasan, selanjutnya Allah melarang menampakkan godaanperhiasan itu. Hendaklah mereka tidak memukulkan kakinya ketanah agar gelang kakinya bergemerincing, karena yang demikian itu dapat membangkitkan kecenderungan kaum lelaki kepada mereka. Kaum wanita mempunyai banyak seni dalam soal gelang kaki ini. Sedang dintara kaum lelaki ada yang tergugah syahwatnya oleh godaan perhiasan, lebih dari melihatnya.[10]

2. Q.S an Nur ayat 60 

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءاللاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًافَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ. وَاللَّهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ 

Artinya : "Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksan."[11]

a. Pengertian secara umum 

Dalam ayat ini Allah menjelaskan, bahwa para wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mempunyai keinginan untuk kawin lagi tidak berdosa untuk tidak menutup auratnya jika tidak menggunakan perhiasan, tetapi hendaklah mereka berusaha semampu mungkin untuk mensucikan dirinya.[12]

b. Penafsiran surat an Nur ayat 60 

Sa'id ibnu Jubair, Mu'qatil ibnu Hayyan, Ad-Dahhak, dan Qatadah telah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mereka adalah wanita-wanita yang tidak berhaid lagi dan sudah tidak beranak lagi.Yakni tiada larangan bagi mereka dalam masalah tersebut berbeda halnya dengan wanita lainnya. 

Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Marwazi, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Husain ibnu Waqid, dari ayahnya, dari Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya.”, hingga akhir ayat. Maka di-nasakh-lah, lalu dikecualikan dari hal ini wanita-wanita tua yang telah terhenti dari haid dan mengandung yang tiada ingin berkawin lagi.[13]

Abu Saleh mengatakan, diperbolehkan baginya berdiri di hadapan lelaki lain dengan memakai baju kurung dan memakai kerudung. 

Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya sesuai dengan qiraat Ibnu Mas'ud, "Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan sebagian dari pakaiannya." yaitu jilbab yang dipakai di luar kain kerudung. Maka tidak mengapa jika mereka menanggalkannya di hadapan lelaki lain atau lainnya sesudah ia memakai kain kerudung yang tebal. 

As-Saddi mengatakan bahwa dia pernah mempunyai seorang teman yang dikenal dengan nama Muslim. Muslim adalah maula (bekas budak) seorang wanita, dan wanita itu adalah istri Huzaifah ibnul Yaman. Pada suatu hari ia datang ke pasar, sedangkan di tangannya terdapat bekas pacar. Maka aku bertanya kepadanya tentang bekas pacar itu. Dia menjawab, bahwa itu adalah bekas pacar saat ia menyemir rambut bekas tuannya, yaitu istrinya Huzaifah. Maka aku mengingkari perbuatannya itu. Dia berkata kepadaku, "Jika kamu suka, aku akan membawamu menemuinya." Aku menjawab, "Ya." 

Muslim membawaku masuk menemui tuan wanitanya, dan ternyata tuan wanitanya itu adalah seorang wanita yang sudah tua. Maka aku bertanya kepadanya, "Sesungguhnya Muslim telah menceritakan kepadaku bahwa dia telah menyemir rambutmu." Istri Huzaifah menjawab, "Ya benar, hai anakku. Aku termasuk wanita yang sudah tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin berkawin lagi, sedangkan Allah Swt. telah berfirman sehubungan dengan masalah ini seperti yang kamu pernah dengar tentunya.'"[14]

3. Q. S al Ahzab ayat 59 

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا 

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[15]

a. Penjelasan secara umum 

Allah Swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya agar memerintahkan kepada kaum wanita yang beriman, khususnya istri-istri beliau dan anak-anak perempuannya —mengingat kemuliaan yang mereka miliki sebagai ahli bait Rasulullah Saw.— hendaknyalah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka agar mereka berbeda dengan kaum wanita Jahiliah dan budak-budak wanita. 

b. Penafsiran surat al Ahzab ayat 59 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepadaku Al-Lais, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Yazid yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Az-Zuhri, "Apakah budak perempuan diharuskan memakai kerudung, baik dia telah bersuami atau pun belum?" Az-Zuhri menjawab, "Jika ia telah kawin diharuskan memakai kerudung, dan dilarang baginya memakai jilbab, karena makruh baginya menyerupakan diri dengan wanita-wanita merdeka yang memelihara kehormatannya." 

Telah diriwayatkan dari Sufyan As-Sauri. Ia pernah mengatakan bahwa tidak mengapa melihat perhiasan kaum wanita kafir zimmi. Dan sesungguhnya hal tersebut dilarang hanyalah karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah, bukan karena mereka wanita yang terhormat. 

Yakni apabila mereka melakukan hal tersebut, maka mereka dapat dikenal sebagai wanita-wanita yang merdeka, bukan budak, bukan pula wanita tuna susila. 

As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Bahwa dahulu kaum lelaki yang fasik dari kalangan penduduk Madinah gemar keluar di malam hari bilamana hari telah gelap. Mereka gentayangan di jalan-jalan Madinah dan suka mengganggu wanita yang keluar malam. Saat itu rumah penduduk Madinah kecil-kecil. Bila hari telah malam, kaum wanita yang hendak menunaikan hajatnya keluar, dan hal ini dijadikan kesempatan oleh orang-orang fasik untuk mengganggunya. Tetapi apabila mereka melihat wanita yang keluar itu memakai jilbab, maka mereka berkata kepada teman-temannya, "Ini adalah wanita merdeka, jangan kalian ganggu." Dan apabila mereka melihat wanita yang tidak memakai jilbab, maka mereka berkata, "Ini adalah budak," lalu mereka mengganggunya.[16]

Mujahid mengatakan bahwa makna ayat ialah hendaklah mereka memakai jilbab agar dikenal bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka, sehingga tidak ada seorang fasik pun yang mengganggunya atau melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadapnya. 

B. Aurat Laki-Laki dan Perempuan 

Menurut Mazhab Syafi’i, aurat pada laki-laki terletak di antara pusat dan lutut, baik dalam shalat, thawaf, antara sesama jenis atau kepada wanita yang bukan mahramnya, hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Abi Sa'id Al Khudri; “Aurat seorang mukmin adalah antara pusar dan lututnya". (HR Baihaqi). Dalam hadist lain dikatakan; "Tutuplah pahamu karena paha termasuk aurat”. (HR Imam Malik). [17]

Batas aurat wanita termasuk seluruh badan kecuali muka dan dua tapak tangan di bagian atas dan bagian bawahnya. Dalil mazhab ini adalah firman Allah dalam surat an Nur ayat 31 yang artinya; “Janganlah orang-orang perempuan menampakkan perhiasannya, melainkan apa yang biasa tampak dari padanya” 

Jumhur (mayoritas) Ulama berpendapat bahwa aurat wanita di depan perempuan lain sama dengan auratnya laki-laki yaitu antara pusar sampai lutut. Di depan laki-laki yang bukan mahram aurat perempua seluruh tubuh wanita adalah aurat (harus ditutup) kecuali wajah, telapak tangan dan telapak kaki. Aurat wanita saat bersama dengan laki-laki yang ada hubungan mahram adalah antara pusar sampai lutut. Itu berarti sama dengan aurat wanita dengan sesama wanita. Namun perlu diingat bahwa kebolehan melihat bagi mahram adalah bukan untuk bersenang-senang dan memuaskan nafsu. Sedangkan kepada suami maka tidak ada batasan aurat sama sekali, baik suami maupun isteri boleh melihat seluruh tubuh pasangannya.[18]

Menutupi aurat ketika shalat adalah wajib dilakukan sejak awal sampai akhir shalat. Apabila a-urat terbuka di tengah solat tanpa sengaja, maka shalatnya tidak batal asalkan sedikit dan segera ditutup. Apabila terbukanya secara sengaja maka salatnya batal dan wajib mengulangi. Ketika shalat, seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan luar dan dalam menurut madzhab Syafi'i. 

Laki-laki sebagaimana perempuan diwajibkan menjaga auratnya. Menutupi anggota tubuh yang termasuk aurat adalah wajib dan tidak melakukannya adalah dosa. Aurat atau anggota tubuh yang wajib ditutupi bagi laki-laki dengan sesama laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Oleh karena itu, laki-laki tidak boleh membuka bagian tubuh yang termasuk aurat walaupun aman dari syahwat. Aurat laki-laki di depan perempuan adalah anggota tubuh yang berada di antara pusar dan lutut. Baik saat bersama dengan perempuan mahram atau wanita lain yang bukan mahram. 

C. Adab Berpakaian Dalam Syariat Islam 

Baik laki-laki maupun perempuan Islam wajib menggunakan pakaian takwa. Pakaian takwa yaitu pakaian yang sesuai dengan syarian Islam, yang menutup aurat. Bagi laki-laki hendaknya memakai pakaian yang baik, bersih, sopan, dan menutup aurat, tidak memakai emas dan sutra, tidak memakai pakaian wanita, dan tidak memakai pakaian yang menyerupai orang kafiir. Adapun bagi seorang perempuan hendaklah memakai pakaian yang menutup aurat seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, tidak menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak seperti cincin dan gelang, menampakkan perhiasan yang hanya dibolehkan bagi mahram dan suaminya, tidak boleh memakai pakaian yang terlalu ketat dan tipis, tidak berlebihan atau sengaja melebihkan lebar kainnya, tidak menyerupai pakaian laki-laki, serta tidak menyerupai pakaian orang kafir.[19]

DAFTAR PUSTAKA 

Al Maragi, Ahmad Mustofa. Terjemah Tafsir Al Maragi. Bahrun Abubakar. dkk., penerjemah. Semarang: Toha Putra. 19993. 

Ar-Rifa’, Muhammad Nasib i, Tafsir Ibnu Katsir jilid 3. Jakarta: Gema Insani.1999. 

Ajeng, “Berpakaian Menurut Syariat Islam”, ardhaoey.blogspot.com/2017/08/cara-berpakaian-menurut.html diakses pada tanggal 1 Oktober 2018. 

IbnuKatsironline, “Tafsir Ibnu Katsir al Ahzab ayat 59”, www.ibnukatsironline.com/2015/07/tafsir-surat-ahzab-ayat-59.html, diakses pada tanggal 1 Oktober 2018. 

Syafi’I, Yandri, “Aurat laki-laki dan Perempuan”, https://yandrisyafii.blogspot.com/2015/12/aurat-laki-laki-dan-perempuan.html, diakses pada tanggal 1 Oktober 2018. 
[1] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hal. 284 
[2] Ahmad Mustofa Al Maragi, Terjemah Tafsir Al Maragi, Terj. Bahrun Abubakar. dkk., (Semarang: Toha Putra, 19993), hal. 175. 
[3]IbnuKatsironline, “Tafsir Ibnu Katsir an-Nur ayat 30”, diakses dari www.ibnukatsironline.com/2015/07/tafsir-surat-nur-ayat-31.html, pada tanggal 1 Oktober 2018.
[4] Ibid. 
[5] Ibid 
[6] Ibid. 
[7] Ibid. 
[8] Ibid. 
[9] Ahmad Mustofa Al Maragi, op. cit. hlm. 179. 
[10] Ibid. hlm. 179-182. 
[11] Ibid. hlm. 233-234. 
[12] Ibid. hlm. 235. 
[13]IbnuKatsironline, “Tafsir Ibnu Katsir an Nur ayat 60”, diakses dari www.ibnukatsironline.com/2015/07/tafsir-surat-nur-ayat-60.html, pada tanggal 1 Oktober 2018. 
[14] Ibid. 
[15]IbnuKatsironline, “Tafsir Ibnu Katsir al Ahzab ayat 59”, diakses dari www.ibnukatsironline.com/2015/07/tafsir-surat-ahzab-ayat-59.html, pada tanggal 1 Oktober 2018. 
[16] Ibid. 
[17]Yandri Syafi’i, “Aurat laki-laki dan Perempuan”, diakses dari https://yandrisyafii.blogspot.com/2015/12/aurat-laki-laki-dan-perempuan.html, pada tanggal 1 Oktober 2018. 
[18] Ibid. 
[19] Ajeng, “Berpakaian Menurut Syariat Islam”, diakses dari ardhaoey.blogspot.com/2017/08/cara-berpakaian-menurut.html pada tanggal 1 oktober 2018. 

Post a Comment for "Menjaga Pandangan dan Kehormatan"