Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kemunculan Resolusi Jihad Kaum Santri nderek Kyai

Kemunculan Resolusi Jihad


       Secara etimologi (bahasa), kata jihad berasal dari kata al-juhd, yaitu upaya dan kesungguhan. Juga bisa berarti kesulitan, sebagaimana dijelaskan pada kalimat “jahadtu jihadan”, yang memiliki arti “saya mendapati kesukaran” (Munawwir, 1997: 217). Di samping itu, akar kata jihad juga bisa berasal dari kata jahada yang artinya “(dia) mengerahkan upaya” atau “(dia) berusaha”. Dengan demikian, jihad memiliki makna berjuang dengan sungguh-sungguh dan dapat dipahami sebagai upaya ikhtiar secara maksimal seseorang untuk melakukan perlawanan pada sesuatu yang salah.  
 Selanjutnya, pengertian jihad secara terminologis (istilah) adalah mengerahkan segala upaya dan kemampuan guna melakukan perlawanan dalam menghadapi musuh, baik yang tampak maupun yang tidak tampak.Jihad di dalam Al-Qur’an memiliki beberapa cakupan, sebagaimana di jelaskan oleh ar-Raghib al-Asfahani yang dikutip oleh Nasaruddin Umar yaitu: Pertama, berjuang sungguh-sungguh melawan musuh untuk me negakkan agama Allah SWT. Kedua, berjuang sungguh-sungguh melawan setan yang selalu menyebabkan munculnya kejahatan. Ketiga, berjuang sungguh-sungguh melawan hawa nafsu yang selalu mengajak pada kemunkaran dan kemaksiatan (Umar, 2008: 101). 
      Secara umum pengertian jihad adalah segala bentuk usaha maksimal untuk menerapkan ajaran Islam dan pemberantasan kejahatan serta kezaliman, baik terhadap diri pribadi maupun masyarakat. Jihad dalam pengertian umum inilah yang banyak disebut dalam Al-Qur’an dan hadis.Dengan demikian, pemahaman jihad tidak hanya terbatas pada aspek pertempuran, peperangan, dan ekspedisi militer, tetapi mencakup segala bentuk kegiatan dan usaha yang maksimal dalam rangka dakwah Islam, al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahyi ‘an al-munkar (perintah berbuat kebaikan dan menjauhi perbuatan keji (Gugun, 2010: 59). 
      Pengertian jihad tersebut bersumber dari hasil keputusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto 1946. Keputusan Muktamar NU ini terjadi setelah Resolusi Jihad NU yang membangkitkan peristiwa 10 November di Surabaya. Keputusan tersebut merupakan sebagai penegas kembali kewajiban jihad guna melakukan perlawanan dan pengusiran terhadap kolonialis yang masih berkeinginan menjajah Indonesia. Dalam muktamar tersebut muncul pertanyaan dari utusan Jombang, bagaimana hukum berperang melawan penjajah yang telah menginjakkan kakinya di tanah air kita, sebagaimana yang telah terjadi sekarang? Kemudian, jawaban pertanyaan tersebut sekaligus sebagai keputusan muktamar yang memiliki empat poin, yaitu: Pertama, perang menolak penjajah dan para pembantunya adalah wajib ‘ain atas tiap-tiap jiwa, baik laki-laki maupun perempuan, juga anak-anak, yang semuanya berada di satu tempat yang dimasuki oleh mereka (penjajah dan pembantuya).
     Kedua, wajib ‘ain pula atas tiap-tiap jiwa yang berada dalam tempat yang jaraknya kurang dari 94 km dari tempat yang dimasuki mereka (penjajah). Ketiga, wajib kifayah atas segenap orang yang berada di tempat-tempat yang jaraknya 94 km dari tempat tersebut. Keempat, jika jiwa-jiwa tersebut dalam nomor 1 dan 2 di atas tidak mencukupi untuk melawannya maka jiwa yang tersebut di dalam nomor 3 wajib membantu sampai cukup. Keputusan tersebut didasarkan pada keterangan-keterangan yang ada dalam kitab Bujairimi Fathul Wahhab jilid 4, halaman 251, kitab Asnal Mathalib Syarah Ar-Raudh Juz IV, halaman 178, serta kitab Fathul Qarib (LTN NU, 2005: 207). 
 Fenomena Resolusi Jihad bermula dari penyerahan kekuasaan Jepang kepada sekutu yang dilakukan oleh Komando Asia Tenggara (South East Asia Command atau SEAC) yang dikomandani oleh Laksamana Lord Louis Mounbatten. Sedangankan, pasukan sekutu yang bertugas di Indonesia adalah Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) di bawah komando Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Keberadaan AFNEI merupakan bagian dari komando bawahan dari SEAC. AFNEI di Indonesia memiliki beberapa tugas: Pertama, menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang. Kedua, membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu. Ketiga, melucuti pasukan Jepang dan memulangkan ke negaranya. Keempat, menjaga keamanan dan ketertiban. Kelima, mencari dan menghimpun keterangan serta melakukan penyelidikan pada pihak-pihak yang dianggap sebagai penjahat perang. 
   Keberadaan Sekutu di Indonesia pada mulanya disambut dengan senang. Namun, kesenangan itu menjadi luntur dan berubah geram ketika di ketahui NICA turut serta di dalam rombongan tersebut. Keberadaan NICA yang membonceng pasukan Sekutu ke Indonesia didorong oleh keinginan yang kuat untuk menegakkan kembali Hindia Belanda dan menancapkan kekuasaan dan jajahannya di Indonesia. Kehadiran kembali NICA menjadikan rakyat Indonesia geram sehingga melakukan perlawanan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah di poklamasikan pada 17 Agustus 1945. 
      Pada tanggal 10 Oktober 1945 Belanda dan sekutunya melakukan penyerangan. Kemudian terjadilah pertempuran yang sengit di berbagai daerah, misalnya di Medan, Padang, Palembang, dan Bandung. Pada akhirnya, kota-kota tersebut dapat dikuasai dan diduduki oleh Belanda dan sekutunya. Menyusul kemudian Kota Semarang pada tanggal 19 Oktober 1945. Setelah itu, pertempuran melawan tentara Sekutu yang diboncengi oleh NICA terjadi di mana-mana. Pun di Surabaya, pada bulan September 1945 kedatangan Belanda di Surabaya yang menggunakan kapal perang Inggris “Cumberland” mendapatkan sambutan hangat dari para pemuda dan arek-erek Suroboyo dengan melakukan pertempuran dan bentrokan fisik.
   Melihat kondisi yang demikian, Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia segera melakukan konsolidasi dan mengutus utusan untuk sowan kepada KH Hasyim Asy’ari. Presiden Soekarno sendiri dikenal cukup baik oleh KH Hasyim Asy’ari sebab ia pernah nyantri di PP. Tebuireng, melaksanakan amalan-amalan, dan berpuasa selama empat puluh hari di bawah asuhan KH Hasyim Asy’ari. Presiden Soekarno melalui utusannya bertanya kepada KH Hasyim Asy’ari, “apa hukumnya membela tanah air? Bukan membela Allah, membela Islam, atau membela Al-Qur’an. Sekali lagi, membela tanah air?” (Anam, 2009). 
    Jawaban atas pertanyaan tersebut pada dasarnya sudah ada dalam sejarah pesantren. Sebagaimana dijelaskan pada zaman perjuangan Demak me lawan Portugis yang dipimpin oleh Adipati Yunus, baik di Ambon, Malaka, maupun Sunda Kelapa bahwa semua perjuangan dan pertempuran itu senantiasa didukung kuat oleh kalangan pesantren. Dijelaskan pula, perang besar di Jawa yang dikomandani oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830) merupakan peperangan terbesar dalam upaya melakukan perlawanan terhadap penjajah di bumi nusantara yang tidak digerakkan oleh kerajaan, tetapi dari Tegalrejo, Magelang Jawa Tengah. 
      Apabila diamati, keberadaan pesantren pada abad ke-18 sampai abad ke-20 tidak jauh dari pabrik-pabrik gula milik Belanda. Hal ini membuktikan bahwa pesantren senantiasa menjadi oposisi langsung terhadap kolonialisme. Pesantren juga dijadikan sebagai tempat pembentukkan dan pengemblengan para pejuang, para santri kelana yang nantinya menjadipemimpin garda depan dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan.Kehadiran utusan Presiden Soekarno hanya bermaksud agar KH Hasyim Asy’ari bersama keluarga besar pesantren turut serta dalam melakukan perlawanan terhadap Sekutu dan Belanda yang telah menginjakkan kaki lagi di bumi pertiwi ini.
     Melihat situasi dan kondisi yang sangat membahayakan bagi keberlangsungan kemerdekan dan kedaulatan Indonesia maka PBNU dengan cepat melakukan konsolidasi dan membuat undangan kepada seluruh konsul NU di seluruh Jawa dan Madura. Kemudian KH Hasyim Asy’ari memanggil KH A. Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, dan para kiai lainnya untuk mengumpulkan para kiai se-jawa dan Madura, atau utusan cabang NU untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jl. Bubutan VI/2. Bukan di kantor PBNU yang saat itu berada di jalan Sasak Nomor 23 Surabaya (Gugun, 2010: 72). 
 Sebagaimana di dalam tradisi setiap menghadapi permasalahan, NUsenantiasa mengedepankan musyawarah. Begitu juga halnya dengan kedatangan NICA yang membonceng pasukan Sekutu. Musyawarah untuk menyikapi kondisi kedaulatan NKRI yang mengalami ancaman dari Sekutu dan NICA tersebut diadakan pada tanggal 21 Oktober 1945. Sebelum acara dimulai KH Hasyim Asy’ari meminta agar sabar sesaat guna menunggu beberapa kiai yang datang dari Jawa Barat, yaitu KH Abbas Buntet, KH Satori Arjawinangun, KH Amin Babagan Ciwaringin, dan KH Suja’i dari Indramayu. 
      Setelah rapat darurat yang dipimpin oleh KH A. Wahab Hasbullah pada tanggal 23 Oktober 1945, Hadhratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari atas nama HB (Pengurus Besar) organisasi NU mendeklarasikan seruan jihad dalam melakukan perlawanan dan mempertahankan kedaulatan Indonesia yang dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad. 
     Keputusan rapat para konsul NU se-Jawa dan Madura tersebut berbunyi: 
1. Kemerdekaan Indonesia yang telah   diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
2. Republik Indonesia sebagai satu-satunyapemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan, meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa 
3. Musuh-musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tugas-tugas tentara Sekutu (Amerika-Inggris) dalam hal tawanan perang bangsa Jepang, tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. 
4. Umat Islam, terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
    Kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban bagi tiap- tiap orang Islam (fardu ‘ain) yang berada dalam jarak 94 km (yakni jarak di mana umat Islam boleh melakukan shalat jama’ dan qasar). Adapun bagi mereka yang berada di luar jarak tersebut, berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 94 km tersebut (Moesa, 2007: 116).

1 comment for "Kemunculan Resolusi Jihad Kaum Santri nderek Kyai "

Blog27999 February 29, 2020 at 3:14 PM Delete Comment
As claimed by Stanford Medical, It's in fact the ONLY reason this country's women live 10 years longer and weigh an average of 42 pounds less than us.

(By the way, it has NOTHING to do with genetics or some hard exercise and absolutely EVERYTHING about "how" they eat.)

BTW, What I said is "HOW", not "WHAT"...

Tap this link to reveal if this brief test can help you decipher your true weight loss potential