Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Laskar Santri dalam Perjuangan Kemerdekaan

  

Jauh sebelum Jam’iyah NU berdiri pada tahun 1926 sebagai organisasi para kiai dan santri, seorang ulama muda yang bernama Wahab Hasbullah telah memprakarsai sebuah organisasi muslim yang diberi nama Syubhanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi yang berdiri pada tahun 1924 itu beranggotakan para guru yang mengajar di Nahdlatul Wathan. Nahdlatul Wathan, menurut Martin Van Bruinessen, bukanlah pesantren atau madrasah, melainkan lembaga pendidikan sekolah yang bercorak nasionalisme moderat (Bruinessen, 1994: 35). Akan tetapi, menurut H. Umar Burhan, sebagaimana dikutip oleh Andree Feillard, menyebut Nahdlatul Wathan sebagai madrasah, “pada tahun 1916 KH A. Wahab Hasbullah mendirikan sebuah madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), dengan gedung yang besar dan bertingkat di Surabaya” (Feillard, 2008: 8).

Syubbanul Wathan merupakan perkumpulan para pemuda santri yang berasal dari pesantren senusantara. Para pemuda santri tersebut dengan kesadaran tinggi membentuk wadah perkumpulan sebagai ikhtiar turut serta dalam upaya mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Dari perkumpulan inilah lahir cikal bakal berdirinya organisasi yang diberi nama Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang menyatu dengan pasukan non-regular Hizbullah di bawah komando para kiai, serta berada di garda depan perjuangan merebut kembali kemerdekaan Indonesia. Hal ini menjadi bukti bahwa peranan kiai dan santri dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.

Sejarah perjuangan Laskar Santri di dalam gerakan kemerdekaan Indonesia senantiasa mengalami pengaburan. Fakta sejarah tersebut membuktikan bahwa kaum tradisionalis pesantren atau yang tergabung dalam Jam’iyah NU memiliki kesadaran nasionalisme kebangsaan lebih awal daripada kelompok organisasi lain, baik yang organisasi yang berbasis kedaerahan maupun keagamaan. Karena itu, tidak berlebihan jika ruh kebangsaan untuk membela tanah air itu telah dikatakan tertanam kuat dalam sanubari para santri (Gugun, 2010: 8).       

Semangat gerakan nasionalisme merupakan bagian terpenting yang tidak bisa dipisahkan dalam diri para santri. Semangat itulah yang men- dorong dan sebagai kekuatan berdirinya organisasi Nahdlatul Wathan. Organisasi Nahdlatul Wathan yang didirikan oleh KH A. Wahab Hasbullahmerupakan organisasi yang hadir, tumbuh, dan berkembang dari semangat patriotisme tinggi anak bangsa. Nasionalisme yang tumbuh subur di kalangan santri menjadi kekuatan tersendiri, sebagaimana syair lagu ciptaan KH A. Wahab Hasbullah yang menggugah semangat kejuangan para santri. Syair itu senantiasa dinyanyikan oleh para murid di sekolah Nahdlatul Wathan dengan tujuan menghadirkan fanatisme kebangsaan, loyalitas yang kukuh, dan karakter diri yang rela mentasarrufkan kehidupannya demi keberlangsungan kemerdekaan bangsa Indonesia. Adapun lirik syair yang diciptakan oleh KH A. Wahab Hasbullah dan terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:


Syair Karya KH A. Wahab Hasbullah 

“Ya ahlal wathan ya ahlal wathan (Wahai bangsaku)
Hubbul wathan minan iman (Cinta tanah air sebagian dari iman)
Hubbul wathan ya ahlal wathan (Cintailah tanah airmu)
Wa la takun ahlal hirman (Janganlah kalian jadi jajahan)
Innal kamala bil a’mal (Semua itu menuntut perbuatan)
Wa laisa dzalika bil aqwal (Tidak cukup hanya dengan perbuatan)
Fa’mal tanal ma fil amal (Berbuatlah demi cita-cita)
Wa la takun mahdhal qawal (Janganlah cuma bicara)
Dunyakumu ma li maqar (Dunia ini bukan tempat menetap)
Wa innama hiya lil mamar (Hanya tempat lewat)
Fa’mal bi mal maula amar (Bertindaklah karena perintah Tuhan)
Wa la takun baqaraz zimar (Jangan seperti sapi tunggangan)
Lam ta’lamun man dawwaru (Kalian tidak tahu siapa yang bikin ulah)
Lam ta’qilu ma ghayyaru (Juga kalian tak berpikir sesuatu bakal berubah)
Aina intiha’I ma sayyaru (Kapan perjalanan macam ini berhenti)
Kaifa intihai ma shayaru (Juga bagaimana suatu peristiwa akan usai)
Am humu fihi saqakum (Adakah mereka memberimu minum)
Ila al-madzabikhi dzabkhukum (Juga kepada ternakmu)
Am I’taqukum uqbakum (Adakah mereka membebaskan kamu dari beban)
Am yudimu a’bakum (Atau membiarkanmu tertimbun beban)
Ya ahlal ‘uqulis salimah (Wahai bangsaku yang berpikir jernih)
Wa ahlal qulubil ‘azimah (Berperasaan halus)
Kunu bi himmati ‘aliyah (Kobarkanlah semangatmu)
Wa la takun kas saimah (Jangan jadi pembosan)”

Syair yang diciptakan oleh KH A. Wahab Hasbullah senantiasa men jadi nyanyian wajib bagi para laskar santri untuk menumbuhkan semangat kejuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh Slamet Efendi Yusuf bahwa NU dalam melakukan gerakan perjuangannya senantiasa mengarah pada dua sasaran, yaitu: Pertama, NU senantiasa mengarahkan perjuangannya pada upaya memperkuat serta mengembangkan amal ibadah dan akidah yang diserang oleh kaum “pembaharu”. Sementara itu, di dalam diri NU secara aktif mengembangkan persepsi keagamaan yang baru terutama dalam kaitannya dengan amal-amal sosial, pendidikan, dan ekonomi. Perubahan-perubahan yang terjadi di NU bukan tidak pernah terjadi, melainkan sudah menjadi khas NU bahwa perubahan yang dilakuan selalu diharmonikan dengan kearifan sistem budaya yang dimiliki bangsa Indonesia.  

Kedua, perjuangan NU diarahkan untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Pola perjuangan yang dipakai sangat jelas dengan menggunakan pola gerakankultural. Misalnya, dalam hal menggunakan dasi dan pantalon, NU mengeluarkan kata putus untuk keharaman dasi dan pantalon. Dalam hal lain, penolakan terhadap model pendidikan Belanda. Bagi mereka yang ingin kembali kepada Al- Qur’an dan hadis sulit menemukan hukum haram pada penggunaan dasi dan pantolan. Akan tetapi, bagi mereka yang memahami metode peng- ambilan hukum (istinbath) di kalangan ulama NU maka sikap tersebut bisa dipahami. Di saat NU menggunakan landasan hadis “Man tasyabbaha bi qaumin fahua minhum (Siapa yang menyerupai suatu golongan, tentu dia merupakan bagian dari mereka), seseorang harus memahami siapa Belanda dalam pandangan kaum muslimin. (Yusuf, 1983: 34).

Perlawanan yang dilakukan oleh NU secara kultural terhadap pemerintahan Belanda telah berhasil membentuk kiai dan santri-santrinya menjadi lapisan masyarakat Indonesia yang sangat anti terhadap penjajah.Pada gilirannya sikap anti penjajah ini akan memberikan sumbangsih yang besar terhadap perjuangan menuju kemerdekaan. Perjuangan kultural NU dalam menghadapi kaum kolonialisme akhirnya menjadi watak dan karakter gerakan perjuangan NU dengan gerakan-gerakan anti penjajah lainnya. 

Perlawanan fisik secara terbuka juga dilakukan oleh para kiai dan san tri di zaman Jepang, seperti yang pernah dimotori oleh KH Zaenal Mustafa pada 18 Februari 1944. Dalam hal ini, Belanda menyatakan bahwa ketidakpuasan kalangan petani telah berlangsung beberapa bulan. Hal ini dikarenakan Jepang meminta beras petani dengan cara paksa. Atas peristiwa tersebut, KH Zaenal Musthafa tampil memimpin perlawanan bersenjata melawan bala tentara “Matahari Terbit, Jepang ” (Zuhri, 2008: 20). Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dari para penjajah, para kiai telah mengeluarkan fatwa “perang suci“ atau yang terkenal dengan Resolusi Jihad. Fatwa inilah yang mampu menggelorakan semangat juang para pejuang nusantara, khususnya perjuangan arek-arek Surabaya. Resolusi Jihad, menurut Brunessen, merupakan fatwa perlawanan kiai dan santri yang memiliki dampak besar dalam perjuangan pertempuran 10 November di Surabaya. Akan tetapi, keberadaan fatwa Resolusi Jihad tersebut tidak mendapatkan perhatian yang layak dari para sejarawan dan pemerintahan Indonesia saat ini.

Peranan kiai dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak bisa disepelekan. Sebagaimana peran kiai dan santri di dalam membentuk laskar-laskar perjuangan atau barisan tentara yang terkenal dengan sebutan “Tentara Allah“ (Hizbullah), laskar “Jalan Allah“ (Sabilillah), dan laskar Mujahidin. Laskar-laskar tersebut merupakan barisan pejuang yang siap mentasarrufkan seluruh hidupnya demi tercapainya kemerdekaan. Setiap laskar tersebut memiliki semboyan masing-masing guna sebagai pengobar semangat. Laskar Hizbullah yang beranggotakanpara pemuda memiliki semboyan perjuangan “Ala inna Hizbullahi Hum al-Ghalibun” (Wahai sesungguhnya golongan Allahlah golongan yang menang). Laskar Sabilillah yang pendiriannya juga diprakarsai oleh para kiai memiliki semboyan “Waman yujahid fi sabilillah“ (mereka yang berjuang di jalan Allah). Sedangkan, Laskar Mujahidin atau lebih dikenal dengan pasukan berani mati menggunakan semboyan “Walladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana“ (Mereka berjuang di jalan-Ku, Aku akan tunjukkan mereka jalan-jalan-Ku).

Post a Comment for "Laskar Santri dalam Perjuangan Kemerdekaan"