SEJARAH ILMU HADIST
Dalam kitab Mabahits Ulumil Hadis, Syekh Manna Al-Qaththani menyimpulkan bahwa yang mendasari lahir dan berkembangnya Ilmu Hadis ada 2 (dua) hal pokok, yaitu adanya: (1)dorongan agama, dan (2)dorongan sejarah.
Pertama: Dorongan Agama
Bahwasanya umat manusia memperhatikan warisan pemikiran yang dapat menyentuh dan membangkitkan kehidupan mereka, memenuhi kecintaan hati mereka, menjadi pijakan kebangkitan mereka, lalu mereka terdorong untuk menanamkannya pada anak-anak mereka agar menjadi orang yang memahaminya, hingga warisan itu selalu hadir di hadapan mereka, membimbing langkah dan jalan mereka. Jika umat lain begitu perhatian terhadap warisan pemikiran mereka, maka umat Islam yang mengikuti risalah Nabi Muhammad SAW juga tidak kalah dalam memelihara warisan yang didapatkan dari Nabi SAW dengan cara periwayatan, menukil, hafalan, dan menyampaikannya, serta mengamalkan isinya, karena itu bagian dari eksistensinya, dan hidup umat ini tiada berarti tanpa dengan agama. Oleh karenanya Allah mewajibkan dalam agama untuk mengikuti dan menaati Rasul-Nya, menjalani semua apa yang dibawa beliau, dan meneladani kehidupannya.
Kedua : Dorongan Sejarah
Dalam sejarah, umat manusia banyak dihadapkan pada pertentangan dan halangan sehingga mendorong untuk menjaga warisan mereka dari penyusupan yang menyebabkan terjadinya fitnah dan saling bermusuhan serta tipu muslihat. Umat Islam yang telah merobohkan pilar kemusyrikan, dan mendobrak benteng Romawi dan Persia, menghadapi musuh-musuh bebuyutan, tahu benar bahwa kekuatan umat ini terletak pada kekuatan agamanya, dan tidak dapat dihancurkan kecuali dari agama itu sendiri, dan salah satu jalannya adalah pemalsuan terhadap hadis, sedangkan hadis merupakan salah satu khazanah/warisan terbesar yang dimiliki umat Islam setelah Alquran . Dari sini, kaum muslimin mendapat dorongan yang kuat untuk meneliti dan menyelidiki periwayatan hadis, dan mengikuti aturan-aturan periwayatan yang benar, agar mereka dapat menjaga warisan yang agung ini dari penyelewengan dan penyusupan terhadapnya sehingga tetap bersih, tidak dikotori oleh aib maupun oleh keraguan. Secara umum sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis bisa dikelompokkan menjadi menjadi tiga periodisasi, mulai awal lahirnya ilmu hadis sampai pada masa kekinian yaitu meliputi: 1) masa Nabi saw, 2) masa sahabat dan 3) masa tabiin.
1. Masa Nabi saw
Masa Klasik (Masa Nabi SAW) Hadis-hadis Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadis yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu. Apa yang telah diterima oleh sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka menyampaikannya kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga sampai kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi hadis.
Pada masa nabi Muhammad saw. ada suatu masalah yang sangat mengganjal, yaitu tentang penulisan hadsist. Dalam masalah ini sebenarnya rosululloh melarang akan penulisan hadist, tapi juga ada hadist yang memperbolehkannya penulisan hadist.contoh yang melarang
لا تكتبوا عني شيئا سوى القرآن من كتب عني شيئا سوى القرآن فليمحه
Selain hadist diatas ada juga haqdist yang memperbolehkan penulisan hadist. Seperti hadist nabi yg berbunyi
إِنَّ اللَّهَ حَبَسَ عَنْ مَكَّةَ الْفِيلَ وَسَلَّطَ عَلَيْهَا رَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ أَلاَ وَإِنَّهَا لَمْ تَحِلَّ لأَحَدٍ قَبْلِى وَلَنْ تَحِلَّ لأَحَدٍ بَعْدِى أَلاَ وَإِنَّهَا أُحِلَّتْ لِى سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ أَلاَ وَإِنَّهَا سَاعَتِى هَذِهِ حَرَامٌ لاَ يُخْتَلَى شَوْكُهَا وَلاَ يُعْضَدُ شَجَرُهَا وَلاَ يَلْتَقِطُ سَاقِطَتَهَا إِلاَّ مُنْشِدٌ وَمَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُعْطَى الدِّيَةَ وَإِمَّا أَنْ يُقَادَ أَهْلُ الْقَتِيلِ ». قَالَ : فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ يُقَالُ لَهُ أَبُو شَاهٍ فَقَالَ : اكْتُبْ لِى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اكْتُبُوا لأَبِى شَاهٍ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ إِلاَّ الإِذْخِرَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنَّا نَجْعَلُهُ فِى بُيُوتِنَا وَقُبُورِنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« إِلاَّ الإِذْخِرَ ». رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ فِى الصَّحِيحِ عَنْ أَبِى نُعَيْمٍ عَنْ شَيْبَانَ إِلاَّ أَنَّهُ قَالَ : « إِمَّا أَنْ يُودَى وَإِمَّا أَنْ يُقَادَ » ثُمَّ قَالَ وَقَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ :« إِمَّا أَنْ يُقَادَ أَهْلُ الْقَتِيلِ ». وَرَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ مَنْصُورٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ.
Dari hadist-hadist diatas seakan-akan terjadi ta’arud antara kedua hadist tsb tapi pada dasarnya hadist tersebut sama sekali tidak bertentangan. Kita bisa ambil kesimpulan itu dengan dua logika yang mungkin terjadi. Yaitu:
- Ketika hadist yang melarang penulisan hadist lebih dulu daripada hadist yng membolehkan maka bisa di ketahui bahwa penulisan hadist diperbolehkan seperti pada qoidah ushul fiqihnya
- Ketika yang didahulukan yang diperbolehkan maka sebenarnya ketidak bolehannya terletak paada potensi terjadinya iltibas antara alquran dan hadist.
Dari situ kita ketahui bahwasanya masalah tersebut tidak terjadi selamanya yang menjadikan hukumnya bias berubah ketika ilatnya juga sudahtidak ada. Yang berarti menulis hadist-hadist diperbolehkan.[1]
2. Masa Sahabat
Setelah Rasulullah SAW wafat, estafet ajaran Islam dilanjutkan oleh para sahabat. Mereka menyebar ke berbagai daerah untuk mengajarkan Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Sebagian besar ajaran itu disampaikan secara oral dari seorang sahabat ke sahabat yang lain dan dari satu tabi‘in ke tabi‘in yang lain.
Sebuah gebrakan baru dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar. Setelah bermusyawarah dengan Umar dan beberapa sahabat lainnya, ia mengambil kebijakan untuk membukukan Al-Qur’an. Hal itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiran akan lenyapnya Al-Qur’an karena para penghafalnya banyak yang sudah meninggal dunia.[2]
Berbeda halnya dengan Al-Qur’an, hadits tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Ia tetap saja disebarkan secara oral dari mulut ke mulut. Pembukuannya dirasa belum diperlukan karena para sahabat masih banyak dan kejujuran pada saat itu masih dijunjung tinggi.
Apabila seorang sahabat membutuhkan keterangan terkait sebuah persoalan misalnya, mereka cukup bertanya kepada sahabat yang lain. Lalu sahabat yang ditanya akan menjelaskannya sesuai dengan apa yang ia dengar dari Nabi ataupun sahabat-sahabat yang lain. Hadits tersebar secara natural tanpa ada kecurigaan akan adanya kebohongan ataupun kemunafikan dari para penuturnya.
Seiring perjalanan waktu, kehidupan sahabat tidak lagi diselimuti oleh ketenteraman seperti masa-masa awal dahulu. Pergolakan politik serta banyaknya berita-berita bohong yang tersebar telah membuat hilangnya kepercayaan antara satu sama lain. Di saat yang sama, para pelaku bid’ah juga merajalela. Mereka dengan mudahnya menisbatkan sebuah perkataan kepada Nabi demi untuk mendukung ide-ide bohong mereka. Sejak saat itu, para sahabatpun mulai selektif dalam menerima hadits. Mereka sangat berhati-hati dalam menerima ataupun menyampaikan sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Terkait dengan hal ini, Imam Muslim (261 H) dalam Shahih-nya mengutip perkataan Ibnu Sirin (110 H) sebagai berikut.
لم يكونوا يسألون عن الإسناد، فلما وقعت الفتنة قالوا :سموا لنا رجالكم، فينظر إلى أهل السنة فيؤخذ حديثهم وينظر إلى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم
Artinya, “Para sahabat (awalnya) tidak pernah menanyakan tentang isnad (silsilah berita). Ketika fitnah mulai tersebar, merekapun berkata (kepada setiap pembawa berita), “Sebutkan kepada kami silsilah keilmuan kalian! Lalu mereka memilah informasi dari ahli sunah dan ahli bid’ah. Hadits yang disampaikan oleh para ahli sunah mereka terima. Sementara itu hadits yang bersumber dari ahli bid’ah (yang suka berbohong) mereka tolak.”
Karena sebuah berita tidak bisa diterima kecuali setelah mengetahui silsilah pembawanya (sanadnya), maka pada masa-masa selanjutnya mulailah berkembang ilmu al-jarah wat ta’dil, yaitu ilmu untuk mengetahui kredibilitas pembawa berita. Begitu juga berkembang ilmu tentang asal-usul pembawa berita (ilmu rijal) dan ilmu sanad untuk membuktikan apakah silsilah sebuah berita bersambung hingga kepada Nabi atau terputus dan ilmu tentang sebab-sebab tertolaknya sebuah berita atau yang disebut juga dengan ilmu ilalul hadits dan lain sebagainya.
3. Masa tabiin dan setelahnya
Dilanjutkan dengan fase selanjutnya yaitu masa tabi’in dan selanjutnya . pada masa ini pembahasan tentaang ilmu-ilmu yang berkitan dengan hadist seperti ilmu tentang kedhabitan rawi, tatacara memperolehdan menyampaikan. Hingga pada abad 4 hijriyah tepatnya pada tahun 360 H seorang tokoh yang menyatukan ilmu hadist Al-Qadhi Ar-Ramahurmuzi mengarang sebuah kitab yang berjudul Al-Muhadditsul Fashil baynar Rawi wal Wa’i ,yang berisi tentang seluk beluk pembahasan ilmu hadist.
[1] Manhal Al-Latif fi ushul al-Hadist.hal18-19.
[2] Tarikh at-Tasyri’ al-Islamyah. Hal 71. Dar al-kutub al-islamiyah.
Post a Comment for "SEJARAH ILMU HADIST "
komentar di sini
Post a Comment