Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Istihsan | Ushul Fikih


Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sumber ajaran Islam yang pertama adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan atas dasar inilah Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul dimasyarakat Islam ketika itu. 

Ternyata tidak semua persoalan yang ada dalam masyarakat Islam kala itu dapat diselesaikan dengan wahyu Allah. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan pemikiran, pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Dan inilah yang kemudian dikenal sebagai Sunnah Rasul. Memang Al qur’an memuat prinsip-prinsip dasar dan tidak menjelaskan sesuatu dengan terperinci. 

Dengan demikian persoalan yang belum ada dalam nash Al-qur’an dan Hadits, para ulama’ mencoba menberikan solusi atau diistinbatkannya suatu hukum dengan berbagai metode, walaupun metode dalam berijtihad itu berbeda antara satu dengan yang lain. Misal metode berijtihad dengan cara Istihsan, Istishab, Isti'dhal, mashlahah mursalah dan lain-lain.

Baca Juga :
Pengertian Istihsan 

Istihsan adalah salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum islam. Berbeda dengan Al-qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas yang kedudukanya sudah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum islam, istihsan adalah salah satu cara atas metodologi yang hanya digunakan oleh sebagian orang saja. 

Menurut Bahasa, istihsan berarti menganggap baik sesuatu yang meyakininya. Menurut istilah ulama ushul fiqih, istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan hokum yang dikehendaki qiyas jalli (jelas) kepada ketentuan hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) ke hukum istisna’ ( pengecualian), karena ada dalil yang menentukan demikian.[1]

Macam-macam istihsan 

1. Istihsan dengan qiyas khafi 

Penerapan istihsan dengan qiyas khafi adalah pencetusan hukum melalui perenungan serta penelitian mendalam karena dalam satu kasus terdapat dua dalil yaitu qiyas jalli dan qiyas khafi yang masing-masing mempunyai konsekuensi hukum sendiri-sendiri. Kemudian pada penetapan hukum dilakukan pengunggulan pada dalil yang dianggap lebih sesuai dengan permasalahan. 

Contohnya: air sisa minuman burung buas seperti burung elang, rajawali, dan lain sebagainya. Dalam menentukan status kesucian air air tersebut terdapat pertentangan antara qiyas dan istihsan. Dengan metode qiyas disimpulkan bahwa air tersebut najis karena diqiyaskan dengan air sisa minuman binatang buas. Karena fokus penetapan status kesucian air sisa minuman adalah daging tubuhnya, sedangkan daging burung buas dan binatang buas adalah haram, karena itu air sisa minumanya dihukumi najis karena bercampurnya air liur yang keluar dari tubuh yang najis. 

Dengan metode istihsan disimpulkan bahwa air sisa minuman burung buas diqiyaskan dengan air sisa minuman manusia dengan illat keduanya sama-sama tidak boleh dimakan dagingnya.[2]

2. Istihsan dengan nash 

Maksudnya adalah meninggalkan ketentuan nash yang umum beralih ke hukum nash yang khusus. Contoh dari istihsan dengan al-qur’an: diperbolehkanya wasiat. Secara qiyas (kaidah umum) pelaksanaan wasiat tidak diperbolehkan karena menyalahi kaidah umum yaitu dalam wasiat terdapat pengalihan hak milik setelah status kepemilikanya hilang, yaitu dengan meninggalnya pemilik hak. Namun kaidah ini mengalami pengecualian dengan adanya dalil atau nash dari al-qur’an 

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْدَيْنٍ 

“pembagian-pembagian tersebut diatas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya. (Q.S. AN-NISA ayat 11) . 

Contoh istihsan dengan Sunnah: diperbolehkanya akad salam (pemesanan). Kaidah umum mengqiyaskan pelaranganya, karena ia adalah sebagian dari bentuk transaksi penjualan barang yang belum wujud. Namun akad salam dikecualikan dari penerapan kaidah tersebut berdasarkan hadis yang secara khusus memperbolehkanya yaitu, 

(مَنْ أَسْلَفَ فِى ثَمَرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ (متفق عليه

“ barang siapa melakukan akad pemesanan buah, maka pesanlah dengan kadar takaran yang jelas, dan batas waktu yang jelas juga” (HR Bukhari muslim).[3]

3. Istihsan dengan ijma’ 

Yang dimaksud disini ialah: meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma’. 

Contohnya adalah penggunaan kamar mandi umum tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidak jelasan dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar istihsan pada ijma’ yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut. [4]

4. Istihsan dengan ‘urf 

Maksudnya adalah berpindah dari penerapan qiyas atau kaidah umum dengan memandang tradisi yang berlaku. Contoh diperbolehkanya jasa toilet umum tanpa ada kepastian berapa lama dan banyaknya air yang digunakan dengan imbalan jasa pembayaran tariff yang telah ditentukan. Menurut kaidah umum tidak diperbolehkan karena ma’qud alaihnya tidak jelas begitu pula batas waktunya. Tetapi secara istihsan diperbolehkan karena sudah secara adat sudah dilakukan.[5]

5. Istihsan dengan mashlahah 

Yaitu apabila qiyas atau kaidah umum diterapkan akan mengakibatkan kerugian atau tidak tercapainya mashlahah yang dituju. Kemudian istihsan diberlakukan untuk dapat mewujudkan kemaslahatan. 

Contoh: fatwa Abu Hanifah yang memperbolehkan pemberian zakat pada Bani Hasyim keturunan Rasulullah karena pertimbangan situasi masa itu. Ini bertentangan dengan kaidah umum yang menyatakan bahwa keluarga dan keturunan nabi tidak berhak mendapatkan zakat. Namun dengan istihsan diperbolehkan karena ada beberapa pertimbangan pada saat itu dimana keluarga rasul kerap mengalami penganiayan dari rezim penguasa. 

Kehujjahan istihsan menurut para madzhab 

Para ulama’ berpendapat mengenai dijadikanya istihsan sebagai sumber hukum. Menurut ulama’ Hanafi, Maliki dan Hanbali istihsan bias dijadikan sebagai sumber hukum. Alasan mereka istihsan adalah meninggalkan perkara yang sulit beralih keperkara yang mudah dimana hal itu merupakan dasar dari agama[6] sebagaimana firman Allah: 

يُرِيْدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَى وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَى 

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (QS. Al Baqarah:185).” 

Dan hadis nabi SAW: 

(مَارَاهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ (رواه أحمد

“ Apa yang dipandang baik oleh orang-orang islam, maka ia adalah baik disisi Allah” (HR. Ahmad). 

Menurut ulama’ Syafi’i, muktazilah dan syiah berpendapt bahwa istihsan tidak bias dijadikan sebagai sumber hukum, mereka beralasan: 

1. Bahwa rasulullah tidak pernah meminta para sahabat melakukan istihsan. 
2. Sandaran yang digunakan dalam melakukan istihsan adalah akal sehingga tidak ada bedanya dengan orang alim dan bodoh, keduanya sama-sama bias melakukan istihsan. Jika semua orang diperbolehkan melakukan istihsan maka masing-masing orang akan membuat syariat baru[7]. Imam syafi’i berkata: 
مَنْ اِسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ 

“barang siapa yang melakukan istihsan maka ia telah membuat syariat”. 

[1] Amin ma’ruf, fikih (Jakarta: kementrian agama, 2016), hlm.87. 
[2] Ibid,. hlm.88. 
[3]opcit,. hlm.89. 
[4] Imam, “istihsan dengan ijma’ “, http://imam140697.blogspot.com/2016/02/macam-macam-istihsan.html (diakses pada 7 oktober 2018). 
[5] Amin ma’ruf, fikih (Jakarta: kementrian agama, 2016), hlm.90. 
[6]Ibid, hlm.90. 
[7] Opcit.,hlm. 91.

Untuk penjelassn Istishab, Isti'dhal, mashlahah mursalah dan lain-lain dapat kami jelaskan pada lain kesempatan. Terima kasih.

Post a Comment for "Istihsan | Ushul Fikih"