Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu' | Perbandingan Madzhab

Wudhu adalah syari’at (tatanan) agama yang mempunyai makna bersih, baik bersih dari kotoran, najis, dosa atau lainya. Dengan melakukan wudhu seseorang diperbolehkan melakukan ibadah yang asalnya dilarang sebab hadats kecil. Disyari’atkanya wudhu bersamaan disyari’atkanya sholat lima waktu, yaitu ketika nabi Muhammad SAW melakukan isro’ mi’roj. 


Namun sebenarnya Nabi sudah pernah melakukan wudhu sebelum isro’ mi’roj, yaitu ketika permulaan Nabi SAW diutus menjadi Nabi, kemudian beliau didatangi malaikat jibril untuk diajri wudhu yang kemudian beliau diajak untuk melakukan sholat dua roka’at (shalat sunnah dua roka’at). Wudhu merupakan syari’at Nabi Muhammad SAW dan para nabi sebelumnya, namun tata caranya berbeda, seperti memperluas basuhan muka dan memperpanjang basuhan tangan pada ajaran nabi kita. 

Dengan melakukan wudhu sesuai dengan criteria yang ada di salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali) berarti penghalang ma’nawi yang melarang melakukan hal yang disyari’atkan suci telah sirna, sehingga diperbolehkan melaksanakan sholat, thawaf, atau yang lainya dari hal-hal yang dilarang sebab hadats kecil. Penghalang ma’nawi dapat kembali sebab melakukan hal-hal yang membatalkan wudhu, diantaranya mengeluarkan sesuatu dari salah satu dua jalan (depan dan belakang), namun beragam perbedaan dikalangan madzhab al-arba’ah mengenai hal-hal yang termasuk kategori membatalkan wudhu. 


Hal-hal yang Membatalkan Wudhu 


1. Keluar sesuatu dari kubul atau dubur 

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yaitu ; “...atau kembali dari tempat buang air (kakus)...” (al-Ma’idah [5]: 6). 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ 



Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. 


Ayat ini merupakan metaforis yang menunaikan hajat. Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda: 

لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ. قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمُوْتَ: مَا اْلحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: فُسَاءٌ أَوْضُرَطٌ 

Artinya: “Shalat orang yang dalam keadaan hadats tidak diterima kecuali dia berwudhu. Seorang laki-laki dari hadramaut bertanya kepada Abu Hurairah, ‘apakah yang dimaksud hadats dalam hadits ini?’ Abu Hurairah menjawab, ‘kentut.’” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Baca Juga :
Akan tetapi ada pengecualian dari hukum hadits diatas, yaitu bagi orang yang selalu hadats tanpa henti seperti orang yang beser dan sering kentut, aturan baagi orang-orang yang seperti itu sama dengan aturan bagi wanita yang keluar darah istihadhah. Menurut Imam Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam Hambali, keluarnya ulat, batu kecil, darah, dan nanah, maka ia dapat membatalkan wudhu. Tetapi menurut Imam Maliki, tidak sampai membatalkan wudhu, kalau semuanya itu tumbuh didalam perut, tapi kalau tidak tumbuh didalamnya, seperti orang yang sengaja menelan batu kecil, lalu batu tersebut keluar dari dubur, maka ia dapat membatalkan wudhu. 

2. Keluar air mani (sperma), madi dan wadi 

Air mani dapat membatalkan wudhu, Menurut Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali, tetapi menurut Imam Syafi’i, ia tidak dapat membatalkan wudhu. Sedangkan menurut Imamiyah: mani itu hanya diwajibkan mandi bukan diwajibkan wudhu. 

Ibnu Abbas r.a. berkata: “Tentang air mani (sperma), madi dan wadi, air mani mengharuskan mandi wajib, sedangkan tentang wadi dan madi, Rosulullah bersabda: ‘Basuhlah kemaluanmu kemudian berwudhulah sebagaimana wudhu'mu untuk shalat.”(HR. Baihaqi). 

3. Tidur 

Para imam madzhab sepakat bahwa tidur sambil berbaring dan bersandar dapat membatalkan wudhu. Namun mereka berbeda pendapat tentang orang yang tidur dalam shalat, Misalnya ketika rukuk. 

Imam Hanafi : hal itu tidak membatalkan wudhu meskipun tidurnya lama. Namun jika ia rebah ke depan atau kebelakang maka wudunya batal. 

Imam Malik : tidur ketika rukuk dan sujud jika lama, membatalkan wudhu. Namun jika tidurnya ketika berdiri atau duduk maka wudhunya tidak batal. 

Imam Syafi’I dalam qaul jaded : jika tidurnya di tempat duduknya maka wudhunya tidak batal. Namun jika tidak wudhunya batal. Sedangkan dalam qoul qodim, beliau berpendapat bahwa tidur dalam keadaan apapun di dalam sholat tidak membatalkan wudhu. Tidak ada perbedaan antara tidur lama dan tidur singkat, meskipun ia bermimpi, selama pantatnya tetap melekat pada tempat duduknya, sebab tidur itu sendiri bukanlah hadats, melainkan dimungkinkan timbulnya hadats. 

Imam Hambali : jika tidurnya ketika berdiri, duduk, rukuk, dan sujud itu lama maka wudhunya batal. Menurut Al-khaththabi inilah pendapat paling shahih dari dua riwayat Imam Hambali. 

4. Hilang kesadaran akibat mabuk, pingsan atau gila 

Kondisi ini bisa membatalkan wudhu secara mutlak berdasarkan kesepakatan para ulama. Alasannya adalah karena hilangnya kesadaran pada tiga kondisi itu lebih hebat daripada hilangnya kesadaran karena tidur. 

5. Menyentuh kemaluan tanpa ada batas 

(أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَا لَ: مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلَا يُصَلِّ حَتَّى يَتَوَضَّأَ (رواه الخسة وصحح الترمذى

Nabi Saw, bersabda: “Siapa yang menyentuh kemaluannya, maka janganlah ia shalat sampai ia wudhu lebih daluhu.” (HR. Berlima dan dinyatakan sah oleh Turmudzi). 

Menurut Bukhori, hadits ini merupakan yang paling sah tentang soal ini. Juga diriwayatkan oleh Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad dan lain-lain. 

6. Bersentuhan 

Bersentuhan antara kulit lelaki dan perempuan yang bukan muhrim dan masing-masing sudah baligh. Para ulama madzhab Syafi’i (sebagaimana dirawikan dari Ibnu Mas’ud, Umar bin Khattab dan lain-lain) berpendapat bahwa persentuhan kulit antara laki-laki dewasa dan wanita dewasa (termasuk istri) membatalkan wudhu, walaupun tanpa dibarengi rangsangan syahwat. 

Pendapat Para Imam Madzhab Mengenai Batalnya Wudhu 

Masalah batalnya wudhu dengan khususnya bersentuhannya laki-laki dan perempuan bukan muhrim, memang saat ini masih menjadi khilafiyah. Oleh sebab itu, pendapat para ulama terkemuka dalam madzhab yang empat mengenai masalah ini pun berbeda-beda, yaitu: 

1. Pendapat Madzhab Maliki 

Madzhab Maliki lebih kondisional dalam menyikapi hal ini, yakni bersentuhan antara lelaki dan perempuan itu membatalkan wudhu apabila: 

a)  Lelaki yang menyentuh perempuan itu sudah baligh 
b) Sentuhan itu bermaksud untuk mendapatkan kenikmatan, atau tidak bermaksud begitu, tapi ternyata merasa nikmat 
c)  Perempuan yang disentuh kulitnya terbuka atau berpakaian tapi dengan kain yang tipis. Jadi kalau kain penutup itu tebal, maka tidak batal wudhuya, kecuali bila persentuhan itu dengan cara memegang salah satu anggota tubuh yang bertujuan untuk mendapat kenikmatan atau ternyata merasa nikmat meski awalnya tidak bermaksud demikian 
d)  Orang yang disentuh tergolong perempuan yang sudah dapat membangkitkan syahwat lelaki 

Kriteria bersentuhan kulit yang membatalkan wudhu yaitu: terjadi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom dan disertai dengan merasakan nikmat, walaupun terdapat penghalang yang tipis. Pijakan beliau terhadap ketentuan “harus disertai rasa nikmat” adalah sebuah hadits yang diriwayatkan imam Muslim dari Aisyah: 

Artinya : “saya tidur didekat Rasuluallah dan kakiku berada di hadapanya, ketika sujud beliau menekan (kaki) ku, kemudian aku menarik kakiku, kejadian ini ketika rumah dalam keadaan gelap dan tidak ada lampunya“. (HR. Muslim). 

Dari redaksi hadits diatas imam Malik mengklaim bahwa memegang perempuan dapat membatalkan wudhu jika disertai rasa nikmat, karena ketika Nabi menyentuh Aisyah dalam keadaan sholat, beliau tidak membatalkan sholat-Nya, yang berarti secara logika wudhunya tidak batal. 

2. Pendapat Madzhab Hanafi 

Para ulama madzhab Hanafi mengatakan bahwa sekedar bersentuhan antara lelaki dan perempuan tidaklah membatalkan wudhu, kecuali bila yang dimaksud adalah sentuhan yang penuh semangat, dimana kemaluan mereka masing-masing saling menempel dengan syahwat tanpa dihalangi oleh sesuatu apapun yang dapat mencegah terasanya panas tubuh masing-masing oleh kedua belah pihak. Jika terjadi sentuhan yang sedemikian rupa antara lelaki dan perempuan maka wudhu mereka benar-benar batal. 

3. Pendapat Madzhab Syafi’i 

Menurut para ulama madzhab Syafi’i persentuhan antara seorang perempuan dengan lelaki yang bukan muhrim mutlak membatalkan wudhu. Sekalipun tidak menimbulkan rasa nikmat dan meski si lelaki sudah tua dan perempuan sudah nenek-nenek, apabila tidak ada sesuatu yang menghalangi antara kulit mereka. Dalam hal ini, persentuhan antara sesama perempuan atau sesama banci tidaklah membatalkan wudhu, meski pada masing-masing timbul syahwat. 

Menurut madzhab ini, persentuhan antara lelaki dan perempuan yang membatalkan wudhu disini adalah bila masing-masing pihak telah mencapai umur dewasa yang pada umumnya mulai timbul syahwat terhadap sesamanya. Namun demikian, tidak termasuk rambut, gigi, dan kuku dalam anggota tubuh yang membatalkan bila disentuh. Tetapi jika saudara wanita maka wudhunya tidak batal. 

Sebagian ulama mengajukan pendapat bahwa orang yang menyentuh wanita dengan tangannya, dan meraba tanpa pelapis, maka ia wajib wudhu. Demikian halnya dengan seorang yang mencium wanita, terlepas dari merasakan atau tidak, karena berciuman, bagi sebagian ulama ini dinilai sebagai sentuhan juga. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan para pengikutnya. Ia berpendapat bahwa yang menyentuh atau yang disentuh diperlakukan sama yakni harus wudhu. Dalil yang menjadi dasarnya adalah : 

جَآءَ اَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ اْلغَآئِطِ اَوْ لَا مَسْتُمُ النِّسآءَ (المئدة):٦

Artinya : apabila kamu semua dalam keadaan sakit atau bepergian atau setelah buang hajat atau menyentuh perempuan…..” (Al-Maidah : 6) 

4. Pendapat Madzhab Hambali 

Menurut madzhab Hambali dengan tegas menetapkan bahwa sentuhan antara lelaki dan perempuan jelas membatalkan wudhu. Apabila sentuhan itu terjadi dengan syahwat tanpa ada penghalang. Tidak peduli apakah yang bersentuhan itu masih muhrim atau bukan, dan apakah yang disentuh itu masih hidup atau sudah mati, masih muda atau sudah tua, telah dewasa maupun masih kecil, asal telah mencapai umur yang biasanya sudah dapat menimbulkan syahwat. Madzhab ini menitik beratkan pada timbulnya syahwat atau tidak, jika sentuhannya timbul syahwat maka batal. Dalil yang menjadi pijakan beliau adalah ; 

Artinya : “apabila kamu semua dalam keadaan sakit atau bepergian atau setelah buang hajat atau menyentuh perempuan…”(Al-maidah :6) dan hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Abu Dawud

Sedangkan hukum perempuan yang menyentuh laki-laki juga terjadi perbedaan pendapat dikalangan Ulama’ Hambali, yaitu tidak membatalkan wudhu, karena yang tertera pada ayat Al-qur’an hanya menyatakan bahwa orang laki-laki yang menyentuh perempuan wudhunya batal, ayat ini tidak bisa disimpulkan bahwa wudhunya perempuan juga batal dengan menyentuhnya laki-laki.

Post a Comment for "Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu' | Perbandingan Madzhab"